Minggu, 10 Februari 2008

Sertifikasi dan Kesejahteraan Guru

Sertifikasi dan Kesejahteraan Guru
Oleh: Mukodi, S.Pd. I*
Dimuat Koran Kedaulatan Rakyat

Sertifikasi adalah awal menuju pendidikan berkualitas, sekaligus menjadi penentu kesejahteraan guru yang selama ini terabaikan.
Bagi para guru dan dosen, saat ini mereka bisa sedikit tersenyum dan bermimpi akan kesejahteraan. Pasalnya, hadirnya UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 seolah membawa angin sejuk terwujudnya setitik asa. Asa itu adalah kesejahteraan, yang dulu masih dianggap sakral dan tabuh diperbincangkan. Pertanyaannya kemudian, apakah kehadiran UUGD tersebut bisa benar-benar memperbaiki benang kusut pendidikan? Apakah dengan sertifikasi guru benar-benar berdampak positif terhadap profesionalitas seorang guru? Mungkinkah sertifikasi bisa mengembalikan citra guru menjadi sosok digugu dan ditiru sekaligus meningkatkan kesejahteraannya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seakan menjadi kewajaran dan acapkali diperbincangkan banyak pakar, dan para guru. Apalagi, ditengah bergulirnya pergantian Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sungguh terwujudnya sertifikasi pendidik di semua jenjang pendidikan merupakan satu terobosan baru bagi dunia pendidikan. Terlebih sertifikasi juga diharapkan bisa meningkatkan kualitas para guru menjadi guru yang lebih profesional di tengah terpuruknya pendidikan nasional.
Menimbang Kebijakan Sertikasi
Tak dipungkiri, sertifkasi merupakan salah satu kebijakan populis pemerintah yang saat ini masih berbentuk wacana. Sehingga sebagian besar masyarakat, pemerhati pendidikan dan praktisi pendidikan, khususnya para guru dan dosen memberikan respon positif akan terlaksananya kebijakan ini. Walau demikian, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi terkait akan diberlakukannya kebijakan sertifikasi.
Pertama, implementasi pelaksanaan sertifikasi yang ditargetkan pemerintah selama 10 tahun disinyalir akan menuai kegagalan. Mengingat masih banyak tenaga pendidik yang sampai hari belum memenuhi standar kualifikasi akademik. Berdasarkan catatan Human Development Index (HDI) 2004, sekitar 50% guru di Indonesia tidak memiliki kualitas yang standar. Lebih lanjut, dari publikasi statistik HDI disebutkan setidaknya terdapat 60% guru SD, 40% SLTP, SMA 43%, SMK 34% dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Diperparah dengan adanya sebanyak 17,2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Fakta ini menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar.
Dengan demikian, secara kalkulatif negara Indonesia masih sulit untuk mencapai standar kualifikasi tenaga pendidik yang profesional. Hal ini berdampak pada sulitnya pemerintah untuk memenuhi target 10 tahun dalam menuntaskan sertifikasi pendidik. Efek dari gagalnya pemerintah memenuhi target sertifikasi pendidik menyebabkan kesejahteraan guru menjadi taruannya. Sehingga tunjangan kesejahteraan para guru pun masih sulit terealisasikan.
Terlebih uji sertifikasi bagi sebagian para guru rupanya hanya menjadi mimpi yang sulit diwujudkan. Mengingat sulit terpenuhinya sejumlah syarat yang ditawarkan oleh pemerintah. Misalnya untuk bisa mendaftar uji sertifikasi ditingkat SMP, seorang guru harus: mempunyai golongan IV a; masa kerja 20 tahun; memiliki jumlah jam 24 jam perminggu; pendidikan S1, dan usia maxsimum 55 tahun; dan diprioritaskan bagi guru yang berprestasi. (Baca, mass media). Kriteria tersebut memunculkan sejumlah pertayaan, bagaimana nasib guru-guru muda yang produktif tapi tidak cukup syarat? Bagaimana nasib guru-guru swasta yang sudah mengabdi selama berpuluh-puluh tahun?
Kedua, munculnya kecemburuan sosial diantara para guru akibat tidak meratanya quata pembagian sertifikasi. Pelbagai syarat atministratif dan terbatasnya jumlah guru yang mendapat jatah sertifikasi akan melahirkan problem baru. Problem terberat menurut hemat penulis adalah kecemburuan sosial yang terjadi antara guru yang mendapatkan hak mengikuti sertifikasi dengan para guru yang belum mendapatkan hak mengikuti sertifikasi. Akibatnya akan menyebabkan ketidakharmonisan diantara para tenaga pendidik. Dampak terburuknya adalah akan terjadi saling melempar tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik. Alhasil, peserta didik pun akhirnya akan menjadi korban dari pertikaian.
Sehingga proses Kegiatan Belajar Mengajar pun menjadi tidak maksimal dan kualitasnya bisa dipertanyakan. Sertifikasi yang awalnya bertujuan sebagai solusi untuk memperbaiki kualitas pendidik dalam KBM beralih fungsi menjadi bagian dari problem (part problem) dari proses KBM itu sendiri. Sehingga kualitas peningkatan mutu pendidikan di sekolah yang diharapkan lahir dari “rahim sertifikasi” pun akhirnya jauh dari harapan.
Berdasar dari dua permasalahan tersebut di atas, penulis menawarkan dua alternatif solusi. Pertama, untuk merealisasikan program pelaksanaan sertifikasi. Pemerintah perlu meninjau ulang kreteria status kepangkatan bagi PNS dan jumlah jam mengajar sebanyak 24 perminggu. Status kepangkatan PNS perlu ditinjau ulang, sebab kreteria ini akan menutup akses bagi para tenaga honorer swasta yang kompeten untuk mengikuti uji sertifikasi. Demikian pula dengan jumlah jam mengajar sebanyak 24 perminggu akan menjadikan guru menjadi semakin sulit hidupnya. Karena seperti kita ketahui bersama, kebanyakan para guru honorer dalam memenuhi kebutuhan kesehariannya, mereka acapkali mengajar dibeberapa sekolah atau harus ngobyek di mana-mana.
Kedua, munculnya kecemburuan sosial di antara para guru akibat tidak meratanya quata pembagian sertifikasi. Maka, pemerintah perlu melakukan pemerataan sertifikasi dengan model terbuka. Artinya para guru baik swasta, maupun negeri dibebaskan mengikuti uji sertifikasi asalkan mereka telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Dengan demikian, kecemburuan sosial diantara para pendidik menjadi berkurang. Sebab semua guru mendapat kesempatan untuk melakukan uji sertifikasi. Tinggal kompetensi dan kemampuan persoanallah yang menentukan, lulus atau tidaknya guru dalam mendapatkan sertifikasi pendidik.
Akhirnya, semoga kebijakan sertifikasi bagi tenaga edukatif merupakan awal dari kesejahteraan guru yang selama ini terlupakan. Bukankah kesejahteraan guru berdampak positif terhadap etos kerja dan kualitas pengajaran? Bukankah guru adalah guru bangsa yang butuh diperhatikan?
Penulis adalah Mahasiswa S2 UIN Su-Ka Yogyakarta.

Nasib Anak Di Hari Anak

Nasib Anak Di Hari Anak
Oleh: Mukodi*

Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat
Untuk melihat format masa depan, tidak perlu superkomputer untuk memproyeksikan masa depan kita, karena apa yang terjadi pada millennium yang akan datang dapat dengan mudah direfleksikan dari seberapa jauh perhatian kita pada anak-anak kita saat ini. Mungkin di era yang akan datang akan dipenuhi dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai macam tekhnologi mutakhir, tetapi lebih dari itu, semua itu sudah harus terbentuk dalam diri dan mental anak-anak kita saat ini. (Kofi Annan).
Dalam kaitannya dengan Hari Anak Nasional, ungkapan di atas, akan terlintas dalam benak kita bahwa masa depan bangsa ini terletak pada seberapa maksimalkah perhatian kita terhadap anak-anak kita? karena anak adalah aset orang tua, dan keluarga. Lebih dari itu, anak adalah aset bangsa yang kelak akan menjadi tokoh utama yang akan menjalankan lokomotif pembanguan dan kemajuannya.
Di sisi yang sama, masa depan bangsa dua sampai tiga puluh tahun yang akan datang akan sangat tergantung pada kualitas anak-anak yang kini berusia 0-18 tahun. Untuk tumbuh menjadi generasi yang berkualitas, anak-anak meniscayakan perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya, kesehatan serta kesejahteraannya, dengan tanpa diskriminasi. Dengan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Hal itulah yang menjadi salah satu pertimbangan disahkannya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun realitas berbicara lain, seperti diberitakan dipelbagai media massa bahwa nasib dan kondisi anak-anak bangsa kita sangatlah memperhatinkan. Betapa tidak, saat ini masih banyak ditemukan kasus yang menimpa anak-anak dibawah umur. Mulai dari kasus busung lapar, gizi buruk yang menimpa sejumlah daerah di Indonesia terutama daerah-daerah pedesaan, kasus muntaber yang merenggut banyak korban jiwa, kasus polio bahkan kasus bunuh diri anak. Kekerasan pada anak-anak jalanan, prostitusi yang melibatkan anak dibawah umur, jual beli anak untuk dipekerjakan atau untuk kepentingan lainnya sampai pada masalah pendidikan.
Lantas siapa yang paling bertanggungajawab mengemban tugas ini? Semua pihak selayaknya harus mempunyai tanggung jawab dan kesadaran terhadap masa depan anak. Sebab bagiamana pun juga, nasib bangsa dan negara terletak dipundak anak-anak kita saat ini. Orang tua, keluarga, pengajar, ormas-ormas, lembaga-lembaga pemerhati anak, media massa, partai politik, khususnya pemerintah harus memberikan perhatian penuh terhadap masa depan dan hak-hak anak Indonesia. Secara lebih tegas dapat dikatakan, semestinya lembaga-lembaga pemegang kebijakan publik haruslah mempunyai agenda khusus untuk mensejahterakan dan melindungi hak-hak anak.
Dengan begitu, barulah anak-anak kita bisa berkata "Aku Bangga Menjadi Anak Indonesia" karena mereka diperhatikan dan hak-hak mereka terpenuhi. Akhirnya, anak-anak kita lebih berpeluang menjadi sehat, cerdas, ceria, berprestasi, dan berbudi luhur. Bukankah anak adalah amanah yang harus dilindungi dan diperhatikan hak-haknya? Semoga kita semua bisa menjaganya.

* Penulis adalah praktisi pendidikan, sedang studi lanjut di S2 UIN Su-Ka Yogyakarta

Efektifitas Pemantau Independen UN

Efektifitas Pemantau Independen UN
Oleh: Mukodi*

Diposting dari Koran BanjamasinPost

Eksistensi Tim Pemantau Independen (TPI) UN merupakan suatu keniscayaan dalam proses evaluasi pendidikan.
Genderang Ujian Nasional (UN) telah ditabuh, terhitung mulai 17-19 April UN dilaksanakan secara serentak di tingkat SMA/MA/SMK, 24-26 April di tingkat SMP/MTs dan 8-10 Mei di tingkat SD/MI. Ada hal yang berbeda dalam pelaksanaan UN ditahun ini. Perbedaannya terletak pada proses pemantauan, kalau dulu pemantauan UN dilakukan oleh para pengawas yang dibentuk DIKNAS/DEPAG sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Tapi sekarang pemantauan UN diserahkan kepada Tim Pemantau Independen (TPI).
Sungguh pembentukan TPI UN 2007 oleh BSNP merupakan langkah maju pemerintah yang perlu didukung semua pihak. Dalam surat tertanggal 26, Desember 2006 Dirjen Dikti meminta agar pimpinan perguruan tinggi ikut membantu BSNP dalam proses pemantauan UN (Baca, Media) Pertanyaannya kemudian, sejauh mana efektifitas TPI UN? Mampukah TPI meminimalisir penyimpangan UN?
Kegelisahan-kegelisahan seperti ini seakan menjadi kewajaran ditengah banyaknya kasus penyimpangan dan pelanggaran dalam pelaksanaan UN. Terkait hal itu, upaya Dikti mengundang civitas akademisi perguruan tinggi dalam proses pemantauan UN merupakan iktikad baik (good will) pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sehingga kehadiran TPI UN ini diharapkan benar-benar bisa dijadikan sebagai media penjamin mutu pendidikan.
Di sisi yang sama, hadirnya TPI UN ini merupakan indikasi keseriusan pemerintah. Terlebih dalam menyikapi terpuruknya dunia pendidikan di mata internasional akhir-akhir ini. Sehingga pelaksanaan UN bisa menjadi lebih terkontrol dan bisa dipertanggung jawabkan validitasnya. Sebab bagaimana pun juga pembentukan TPI UN adalah modal awal pemerintah yang cukup efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pelbagai temuan yang dihasilkan oleh tim ini nantinya, bisa dijadikan acuan pemerintah dalam melaksanakan evaluasi pendidikan kearah yang lebih baik.
TPI Kontrol Kualitas
Tak dapat dipungkiri, kualitas pendidikan di negara kita seperti berjalan di tempat. Terlebih kalau membandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara tetangga, semisal Singapura, Brunei dan Malaysia. Pendidikan kita rasanya semakin jauh tertinggal--kalau tidak dikatakan “terbelakang”. Sehingga terbentuknya TPI UN ini menjadikan masyarakat bisa sedikit berharap akan terwujudnya kualitas pendidikan yang lebih baik. Tentunya tidak menutup mata atas pelbagai pandangan yang pro dan kontra akan efektifitas pelaksanaan UN.
Namun demikian, terlepas dari pro dan kontra UN, eksistensi TPI UN merupakan suatu keniscayaan dalam proses evaluasi pendidikan. Terlebih komposisi tim pemantau tersebut terdiri dari pelbagai kalangan yang secara akademik, mereka tak diragukan lagi kridibilitasnya. Persoalannya kemudian, siapkah kedua belah pihak (antara pemerintah dan tim pemantau) menjalin hubungan yang sinergi.
Di satu sisi, pemerintah memberi kewenangan secara proporsional kepada TPI UN untuk melaksanakan pemantauan dan pengawasan. Di sisi lainnya, pemerintah mau menerima secara legowo hasil temuan tim dan siap dikritik. Dengan begitu, keberadaan TPI UN ini menjadi sangat strategis sekaligus menjadi elan vital dari proses peningkatan kualitas pendidikan.
Disinilah urgensitas keberadaan TPI UN, di mana ia bereperan sebagai kontrol kualitas pendidikan kita. Dalam konteks ini, tujuannya hanyalah untuk meningkatkan pengawasan, yang berujung pada tingginya kualitas out put yang dihasilkan. Bukan malah berpretensi dalam politik praktis diwilayah kepentingan-kepentingan birokrasi pendidikan an-sich. Kontrol kualitas pendidikan melalui TPI UN merupakan langhkah nyata pemerintah untuk memeratakan kualitas pendidikan nasional.
Dengan demikian, kehadiran TPI UN 2007 setidaknya dapat meminimalisir pelbagai polemik penyimpangan dan pelanggaran UN. Sehingga kinerja TPI UN ini harus ditempatkan sebagai media perekayasa mutu (engineering quality) UN, yang keberadaannya mutlak diperlukan/melekat (built in) dalam setiap pelaksanaan UN.
Akhirnya, semoga lahirnya TPI UN bisa menjadi bagian dari proses pencerdasan anak bangsa. Menuju pendidikan berkualitas, bermartabat dan berdaulat baik ditingkat nasional maupun internasional. Bukankah eksistensi TPI UN adalah bagian dari proses pencerdasan anak bangsa?

Penulis adalah praktisi pendidikan, studi lanjut di Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ketika Penculikan Anak Menjadi Trend

Ketika Penculikan Anak Menjadi Trend
Oleh: Mukodi*
Diposting dari Koran Banjarmasin Post

Negeri kita kini kian tak aman lagi bagi anak-anak. Bayangkan saja sejak Juni hingga pertengahan Agustus ini telah terjadi 14 kasus penculikan. Itu kasus yang baru terungkap di depan publik. Bisa jadi, karena alasan keamanan, banyak masyarakat yang menyimpan berita buruk itu. Artinya, kasus sesungguhnya bisa lebih banyak lagi (Baca: Media).
Angka penculikan yang tinggi itu membuktikan betapa anak-anak memang rentan menjadi sasaran kejahatan. Korbannya bisa menimpa anak dari keluarga mana saja: tentara, polisi, pengusaha, dan orang biasa. Penculikan juga bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Yang sering memudahkan kejahatan itu berlangsung, biasanya para penculik telah mengenal keluarga korban. Hubungan seperti itulah yang justru menjadi 'modal' bagi para penculik untuk beraksi.
Dipertegas oleh kriminolog UI, Adrianus Meliala bahwa tren di Indonesia penculikan anak masih berkisar pada orang-orang yang mengenal korban dan merasa sakit hati pada korban atau keluarga. ''Artinya bukan penculik profesional,'' jelasnya. Setelah terungkap, pelaku penculikan biasanya teman, rekan usaha, mantan tukang kebun, atau pembantu rumah tangga yang sakit hati. ''Trennya masih diwarnai rasa balas dendam.''
Motif penculikan memang bermacam-macam. Ada motif uang dengan meminta tebusan atau untuk diperdagangkan. Namun, ada pula yang bermotif dendam dan persaingan bisnis. Apa pun motifnya semuanya bisa berimplikasi serius pada aspek kejiwaan anak. Itu karena para pelaku tak segan-segan melakukan kekerasan fisik.
Kasus yang menimpa Raisah Ali, siswi Taman Kanak-Kanak Al-Ikhsan Jakarta Timur beberapa minggu yang lalu adalah salah-satu kasus dari sederet kasus penculikan anak. Bocah berusia lima tahun anak pasangan Ali Said dan Nizmah Mucksin Thalib itu diculik, Rabu (15/8), ketika bersama pembantunya tengah pulang dari sekolah. Untungnya, Raisah Ali segera ditemukan dan pelakunya pun berhasil dibekuk oleh polisi, karena kesigapan mereka dalam menangani kasus ini. Namun bagaimana dengan nasib anak-anak korban penculikan lainnya? Mengapa penanganannya terkesan lamban? Bukankah mereka butuh diselamatkan dengan segera? Penculikan Raisah dan beberapa bocah yang marak akhir-akhir ini seolah menagasikan bahwa penculikan anak sekarang menjadi ''trend'' dari modus kejahatan.
Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Seto Mulyadi, beberapa kasus penculikan anak tidak bisa dilepaskan dari lemahnya perhatian sekolah dalam memberikan perlindungan. ''Penculikan atau kekerasan anak itu sejatinya terjadi karena adanya pembiaran,'' ujar Seto di Jakarta, Selasa (21/8).
Simulasi Penculikan Anak Di Sekolah
Untuk itu, simulasi bagaimana modus penculikan anak menjadi penting diketahui. Tugas memberikan simulasi itu, menurut Seto yang akrab dipanggil Kak Seto, tidak mutlak menjadi beban sekolah. Aparat penegak hukum, orang tua, dan masyarakat luas punya proporsi peran yang sama. ''Tapi, kalau dilakukan di sekolah, simulasi itu lebih efektif dan mudah dilakukan.''
Mensimulasikan proses penculikan anak, menurutnya, berguna untuk menumbuhkan pemahaman anak-anak melindungi dirinya. Melalui simulasi, mereka diberi informasi pola atau modus penculikan. Diharapkan, jika menemui kasus serupa, mereka punya kesadaran untuk menghindar. Di beberapa negara, memberikan simulasi penculikan anak sudah masuk kurikulum sekolah. Bahkan di Jepang, masyarakatnya sangat aktif memahamkan tindakan yang harus ditempuh anak bila menemukan gejala yang mengarah penculikan.
Di sisi yang sama, para orang tua pun hendaknya harus lebih preventif dalam menjaga, dan melindungi anak-anaknya. Sehingga mereka perlu mengajari anak-anaknya kompetensi dasar. Misalnya mengenal data keluarga, seperti: nama orang tua, alamat tempat tinggal, keluarga dekat, kerabat, tetangga, dan teman-temannya. Bahkan di era telekomunikasi ini anak-anak pun harus dididik untuk mengingat nomor telephon rumah dan nomor sejenisnya yang bisa mereka gunakan jika terjadi sesuatu yang menimpanya.
Terakhir, apa pun motifnya penculikan anak/kekerasan terhadap anak sesungguhnya adalah tindakan kriminal. Negara, orang tua, pendidik, dan masyarakat hendaknya melindungi anak-anak. Sebab masa depan bangsa dua sampai tiga puluh tahun yang akan datang akan sangat tergantung pada kualitas anak-anak yang kini berusia 0-18 tahun. Untuk tumbuh menjadi generasi yang berkualitas, anak-anak meniscayakan perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya, kesehatan serta kesejahteraannya, dengan tanpa diskriminasi. Dengan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Hal itulah yang menjadi salah satu pertimbangan disahkannya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Perlu diingat, bahwa anak-anak adalah aset bangsa yang paling berharga. Semoga kita semua mampu menjaganya.[].

*Penulis adalah pemerhati pendidikan, aktif dikajian diskusi IKMP UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dua Stanza, Kado Kemerdekaan?

Dua Stanza, Kado Kemerdekaan?
Oleh: Mukodi*
Diposting dari Majalah Glora Bumi Kartini Jepara

Sudah menjadi tradisi bahwa disetiap upacara pengibaran bendera sang saka merah putih, lagu Indonesia Raya selalu dikumandangkan. Bahkan menjadi salah satu lagu wajib di sekolah, yang harus dihafal mulai di tingkat TK sampai SMA. Di samping dinyanyikan dalam pelbagai upaca resmi kenegaraan. Jadi, hampir dapat dipastikan setiap warga negara dapat menghafal lirik lagu Indonesia raya dengan baik dan benar.
Namun alangkah terkejutnya bangsa ini, di sela-sela gegap gempitanya masyarakat menyambut momentum HUT kemerdekaan RI ke-62. KRMT Suryo Notodiprojo, Heru Nugroho dan tim Air Putih menemukan dua stanza lagi lagu kebangsaan Indonesia Raya di Server Leiden, Belanda.
Dalam dokumen tersebut, lagu Indonesia Raya ternyata berisi tiga stanza. Sementara lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan selama ini, hanya satu stanza, yaitu stanza pertama. Sedangkan dua stanza lainnya tak pernah dinyanyikan, dan tak diketahui rimbanya. Kini sekian lama bangsa kita merdeka, tiba-tiba di bulan istimewa ini rakyat Indonesia mendapat ''kado istimewa'' berupa penemuan dua stanza lagu kebangsaan.
Bermacam-macam reaksi masyarakat bermunculan, ada yang bereaksi biasa-biasa saja, cuek bebek. Ada pula yang menyatakan baru tahu bahwa lagu kebangsaan kita itu sedemikian panjang, indah bahkan syahdu penuh makna. Sementara ada yang mengaku pernah tahu, namun tidak perlu diperdebatkan karena tidak yakin akan mengubah nasib bangsa yang terus menerus terpuruk. Bahkan sekelas Wakil Presiden Jusuf Kalla pun, saat diwawancarai di sebuah stasiun televisi nampak bereaksi 'dingin-dingin' saja (KR 8, Agustus 2007).
Memaknai Tiga Stanza
Konon lagu Indonesia Raya tiga stanza ini sudah jauh-jauh hari dipersiapkan oleh pengarangnya, Wage Rudolf Soepratman untuk persiapan kemerdekaan. Namun entah mengapa WR Soepratman di Kongres Pemuda I, pada 28 Oktober 1928 akhirnya hanya memperdengarkan dan memainkan stanza lagu pertama saja dari lagu Indonesia Raya. Tak heran, jika bayak pakar berspekulasi kenapa dulu WR Soepratman tak menyanyikan ketiga stanzanya secara sekaligus. Terlepas dari perdebatan tersebut, yang terpenting bagi bangsa Indonesia saat ini, bagaimana kita semua bisa merenungkan dan melaksanakan amanat ketiga stanza lagu Indionesia Raya.
Sekali lagi, perlu dingat bahwa esensi sebuah lagu kebangsaan adalah pengamalan dan pelaksanaan atas pesan syairnya, bukan panjang pendeknya sebuah lagu. Jika dicermati, ternyata lirik lagu Indonesia Raya dari stanza satu sampai stanza tiga itu bukan sekedar rekaan-rekaan sajak agar enak didengar, melainkan mengandung alur filosofis yang berkesinambungan. Kita tidak tahu secara pasti kenapa hingga sekarang hanya stanza satu yang dinyanyikan oleh bangsa Indonesia. Bagaimana posisi stanza dua dan tiga yang disinyalir mempunyai nilai-nilai religius yang lebih tinggi dibanding stanza satu? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tentunya perlu kita renungkan bersama. Coba perhatikan dengan cermat, stanza-stanza berikut dengan ejaan yang sudah dibakukan:
Stanza I: Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku / Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku / Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku / Marilah kita berseru, Indonesia bersatu // Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku / bangsaku, rakyatku, semuanya / Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya / Untuk Indonesia raya // Ref: Indonesia raya / Merdeka, merdeka / Tanahku, negeriku yang kucinta // Indonesia raya, merdeka, merdeka / Hiduplah Indonesia raya // Indonesia raya, merdeka, merdeka / tanahku negeriku yang kucinta // Indonesia raya, merdeka, merdeka / hiduplah Indonesia raya.
Stanza II: Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya / Disanalah aku berada, untuk slama-lamanya / Indonesia tanah pusaka / pusaka kita semuanya / Marilah kita mendo'a, Indonesia bahagia // Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya rakyatnya semuanya / sadarlah hatinya, sadarlah budinya untuk Indonesia raya // Reff…
Stanza III: Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti / Disanalah aku berdiri jaga ibu sejati / Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi / Marilah kita berjanji Indonesia abadi // Slamatkan rakyatnya, slamatkan putranya / pulaunya, lautnya semuanya / Majulah negerinya, majulah pandunya / untuk Indonesia raya // Reff…
Dua Stanza Yang Hilang, Mungkinkah Dinyanyikan?
Bila direnungkan dalam stanza satu, (stanza yang biasa kita nyanyikan) di baris ke-4, liriknya berbunyi: ''Marilah kita berseru, Indonesia bersatu''. Lalu baris ke-6 ''Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya''. Ini dapat diartikan bahwa stanza satu itu mencerminkan bahwa kita sedang membentuk sebuah bangsa. Kita berseru agar bangkit dan bersatu.
Jika baris ke-4 dan ke-6 dari stanza satu itu ditarik sejajar ke stanza dua, liriknya tidak lagi berbunyi ''berseru'', melainkan (baris ke-4): ''Marilah kita mendo'a, Indonesia bahagia''. Inilah cermin bahwa kita juga memiliki landasan moral etik Ilahiyah. Manusia hanya berusaha, Tuhanlah yang maha menentukan segalanya, mudah-mudahan doĆ” itu terkabul. Oleh karena itu, dibaris ke-6 berbunyi, ''sadarlah hatinya, sadarlah budinya''.
Setelah kita berhasil membentuk sebuah bangsa, dan kemudian berdoa, maka mulailah kita bersikap realistis. Ini tercermin dalam stanza tiga di baris ke-4, baitya tidak lagi ''berseru'' dan ''mendoa'', melainkan ''marilah kita berjanji, Indonesia abadi''. Agar dapat melaksanakan janji tersebut, maka dalam baris ke-5 bunyi liriknya: ''Slamatkan tanahnya, slamatkan rakyatnya, pulaunya, lautnya, semuanya''. Baris ke-6 ''Majulah negerinya, majulah pandunya, untuk Indonesia raya''. Pandu adalah petunjuk jalan, artinya kepemimpinan.
Jadi, dalam strata tiga itulah terkandung amanat perjuangan kemerdekaan ''menyelamatkan semuanya''. Rakyatnya, tanahnya, pulaunya, lautnya, semuanya harus diselamatkan. Mungkin kalau stanza ini bisa direnungkan dengan baik, khususnya oleh para pandu bangsa, maka lepasnya Timor-timur, pulau Sipadan dan Ligitan, kasus Ambalat, illegal logging, penambangan liar, korupsi dan lain sebagainya tidak akan terjadi di bumi pertiwi.
Sayangnya, kita tidak pernah menyanyikan stanza II dan III, maka barang kali kita memang tidak merasa berjanji untuk menyelamatkan semua itu. Yang terjadi kemudian adalah "Babatlah hutannya / kuraslah minyaknya / tambangnya, lautnya semuanya // Tipulah rakyatnya / ambillah uangnya / untuk para penguasa.'' Akhirnya, dari hari ke hari bangsa kita mengalami keterpurukan dan keterbelakangan.
Sebelum kerusakan bumi pertiwi tak terkendali, agaknya kita harus dengan segera menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan tiga stanza sekaligus, sehingga kita dapat memetik maknanya untuk mengemban amanat ibu pertiwi tercinta. Sungguh dihari kemerdekaan ini adalah saat yang tepat untuk mulai melaksanakan amanah tersebut, demi untuk mewariskan Indonesia yang lebih baik kepada anak cucu kita. Semoga bangsa kita selalu jaya, menuju bangsa yang berdaulat adil, dan makmur. Merdeka !!!

*Mukodi adalah Kordinator Diskusi Ikatan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana (IKMP) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Hardiknas dan Qua Vadis Pendidikan

Hardiknas dan Qua Vadis Pendidikan
Oleh: Mukodi*

Setiap tanggal 2 Mei bangsa kita memperingati hari Pendidikan Nasional. Tanggal dimana Bapak Pendidikan Nasional dilahirkan, pendiri Taman Siswa yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Sungguh merupakan suatu keniscayaan apabila di hari yang bersejarah ini, kita berkontemplasi dan berinstropeksi sejenak akan pendidikan kita. Sebab diakui atau tidak kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan—kalau tidak dikatakan berjalan di tempat.
Ada dua asumsi pendukung dari statmen di atas. Pertama, semakin terpuruknya kualitas pendidikan kita di kancah internasional. Hal ini tercermin dari laporan yang diterbitkan oleh Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS: 2003) yang menempatkan para siswa SLTP kelas dua di Indonesia berada diposisi ke 34, jauh dibawah Singapura dan Malaysia yang masing-masing menempati urutan pertama dan kesepuluh. Bukankah ini merupakan indikasi betapa rendahnya kualitas siswa kita secara komunal dibanding kualitas anak-anak di negara lainnya?
Realitas yang memukul dunia pendidikan kita ini, menjadi semakin lengkap, apabila kita kaitkan juga dengan laporan dari UNDP yang telah dipublikasikan. Dimana berdasarkan laporan program HDI (Human Development Index) tahun 2006. Negara kita hanya mampu menempati peringkat ke 108 dari 175 negara. Jauh tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Singapura (25), Brunei (34), Malaysia (61), Thailand (74), dan Filipina (84). (Baca, Human Developmen Report 2006).
Kedua, sampai hari ini negara kita belum mampu memenuhi kewajibannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Sehingga tidaklah sulit mencari anak-anak di usia sekolah yang menjadi pekerja pabrik, pedagang asongan, kernet-kernet bus, kuli bangunan, pengamen, bahkan sampai menjadi pelayan-pelayan lelaki hidung belang. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar 1945, dengan tegas disebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dan diperkuat pula dengan ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Dampak dari ketidakmampuan negara dalam mencerdaskan anak bangsa, bisa kita lihat, mengacu pada data Education for All (EFA) Global Monitoring Report tahun 2005. Indonesia adalah negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia, yakni sekitar 18,4 juta orang buta huruf di Indonesia. Yang mayoritasnya adalah orang miskin yang tinggal di pelosok-pelosok dan pegunungan. Hal ini semakin mempertegas bahwa pendidikan kita “telah gagal” dalam mengemban misinya sebagai wadah untuk mencerdaskan anak bangsa.
Dengan demikian, secara sederhana pendidikan kita mempunyai dua tugas besar. Disatu pihak negara bertanggung jawab mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan dilevel internasional. Dipihak lainnya, negara harus memenuhi kewajibannya, mencerdaskan anak bangsa.
Pendidikan Berkualitas
“Banyak jalan menuju roma.” Itulah kata pepatah yang cukup representatif mengambarkan betapa banyaknya cara menuju pendidikan berkualitas. Pendidikan berkualitas tidaklah harus mahal, meskipun kita tidak menutup mata terwujudnya pendidikan berkualitas membutuhkan sumber dana yang cukup. Namun demikian, kualitas pendidikan tidak hanya diukur dengan mahalnya biaya pendidikan. Alih kata, terwujudnya kualitas pendidikan bukan hanya ditentukan dan dicipta melalui tingginya biaya pendidikan an-sich.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga kata kunci dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pertama, hadirnya pendidik (guru) yang berkualitas. Pendidik yang berkualitas merupakan keniscayaan di tengah keterpurukan kualitas pendidikan dewasa ini. Sebab ditangan pendidik yang profesionallah keterbatasan sarana-prasana bisa disulap menjadi kelebihan yang luar biasa. Sehingga tak heran, jika ungkapan the man behind the gun dialamatkan padanya.
Ungkapan di atas tersebut, menggambarkan bahwa keahlian dan kepiawaian seseorang menggunakan dan memegang senjata, sangat menentukan keunggulan dan kedahsyatan sebuah senjata. Pengajar dalam hal ini pendidik adalah the man yang akan menentukan keberhasilan dan kualitas pendidikan, melalui sarana dan prasarana (the gun) yang dimiliki sekolah. Bergulirnya wacana sertifikasi pendidikan bagi tenaga edukatif membuka sedikit angin segar akan terwujudnya tenaga pendidik yang berkualitas.
Kedua, adanya kurikulum pendidikan yang berbasis realitas. Tak dipungkiri, bahwa kurikulum yang baik adalah kurikulum yang relevan dengan kebutuhan ummat. Namun realitas berbicara lain, kurikulum di negeri ini bagaikan menara gading, yang sangat jauh dari realitas kebutuhan masyarakat (grass root). Hal ini bisa dilihat betapa banyaknya masyarakat yang bodoh dan tidak berdaya (terutama melihat potensi daerah/lokal). Lahirnya kurikulum KBK dan KTSP akhir-akhir ini setidaknya bisa menjadi awal dari pemberdayaan ummat.
Ketiga, lembaga pendidikan harus senantiasa memperluas relasi dan networking. Relasi dan networking merupakan dua entitas yang sangat menentukan dalam lapangan kerja. Diakui atau tidak, dunia pendidikan sekarang ini mau tidak mau harus mengikuti logika “pasar”. Apalagi jika mengacu pada konsep Total Quality Management (TQM), jelas sekali disebutkan bahwa persekolahan harus memperhatikan apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan oleh pelanggan atau pengguna jasa pendidikan. Sehingga semakin banyak relasi dan networking sebuah lembaga pendidikan akan senantiasa bisa suvive. Di sinilah man action (para leader) memegang peranan penting untuk melakukan interkoneksitas dengan pengguna jasa pendidikan
Pendidikan Berkeadilan
Tak dipungkiri, dewasa ini masih banyak anak-anak di usia sekolah yang belum mengenyam pendidikan secara semestinya. Terutama bagi anak-anak yang berasal dari kalangan papa (kaum miskin). Mereka hanya bisa menyaksikan teman-temannya menjinjing tas dan masuk ke gedung-gedung yang dikelilingi pagar—yang lazim disebut sekolah. Kemiskinan dan lemahnya perekonomian keluarga acapkali menjadi alasan kenapa anak-anak tersebut tidak bisa mengakses pendidikan.
Data Bank Bunia pun, menunjukkan bahwa hampir separo penduduk Indonesia atau 108,78 juta (49%) masuk kategori miskin dan rentan miskin (Desember 2006). Sehingga sangatlah logis apabila lemahnya perekonomian keluarga menjadi akar pangkal dari ketidak berpihakan anak-anak untuk bersekolah. Untuk itu, pemerintah harus segera merealisasikan 20 % anggaran pendidikan seperti yang termuat dalam UUD 45 pasal 31 ayat 1. Agar semua kalangan bisa merasakan enaknya bangkau sekolah.
Dengan demikian, terpenuhinya anggaran pendidikan menjadi 20 % merupakan langkah awal menuju perubahan. Perubahan dari pendidikan eksklusif menuju pendidikan inklusif dan populis. Pendidikan yang hanya milik kalangan elit “berkemakmuran.” Menjadi pendidikan yang memihak kepada rakyat kecil, bagi kaum papa, dan bagi anak-anak yang tersisihkan dari kemewahan. Keberpihakan pendidikan ini akan melahirkan pendidikan murah menuju pendidikan gratis. Sehingga diperlukan adanya komitmen dan iktikad baik (good will) pemerintah, khususnya untuk segera merealisasikan anggaran pendidikan sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Akhirnya, melalui momentum Hari Hardiknas ini marilah kita tingkatkan kualiatas pendidikan. Sungguh hanya dengan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan, kaum papa bisa menikmati bangkau sekolah. Menuju terciptanya generasi yang tangguh, berkualitas, dan berkarakter. Semoga bangsa ini bisa bermartabat dan berdaulat dipentas internasional sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Penulis adalah Pemerhati pendidikan dan Praktisi Pendidikan.

Dongeng, Tradisi yang Hilang?

Dongeng, Tradisi yang Hilang?
Oleh: Mukodi*
Dimuat di Majalah Candra Yogyakarta

Dulu sewaktu zaman tak semaju sekarang, banyak orang tua terbiasa mendongengi anak-anaknya, baik menjelang mereka tidur maupun di waktu-waktu luang. Berbagai kisah pun diceritakan oleh para orang tua. Mulai dari kisah legenda, seperti si kancil yang cerdik ataupun si singa ‘sang raja hutan’ bahkan sampai kisah-kisah nyata keseharian.
Kegiatan mendongeng seperti itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat, bahkan menjadi trend budaya kemasyarakatan. Sayangnya, seiring perkembangan teknologi yang serba canggih, tradisi mendongeng sudah mulai memudar, bahkan bisa dikatakan sudah punah, layaknya binatang "dinosaurus" yang meningkalkan kita.
Maraknya tayangan dongeng yang menghiasi kaca-kaca TV sekarang ini, disinyalir membuat para orang tua mulai meninggalkan “ritual” mendongeng, disamping kesibukan mereka dalam keseharian. Terlebih sinetron dan film di TV seakan telah memberikan warna baru dihati anak. Tak heran jika anak-anak lebih tertarik untuk melihat tayangan TV, ketimbang mendengarkan dongeng dari kedua orang tuanya.
Bila dicermati lebih dalam, hilangnya tradisi mendongeng saat ini tentunya tak hanya disebabkan oleh kemunculan dongeng-dongeng di layar kaca. Akan tetapi juga disebabkan oleh hilangnya kesadaran orang tua akan pentingnya mendongeng bagi anak-anak.
Parahnya lagi, perkembangan teknologi juga ikut menyeret kesibukan anak-anak untuk bermain dengan aneka permainan elektronik. Akibatnya, interaksi antara anak dan orang tua pun semakin renggang. Kerenggangan ini bisa jadi akan terus berlanjut sampai si anak menginjak dewasa.
Alhasil, anak-anak dewasa di generasi teknologi ini kurang akrap dengan orang tuanya. Kalau hal ini sampai benar-benar terjadi, akan menjadi bumerang dikemudian hari. Hal ini dipertegas oleh pendapat sejumlah kriminolog yang mengatakan, maraknya kriminalitas dan kenakalangan para pelajar akhir-akhir ini salah satunya disebabkan karena hilangnya keharmonisan antara para orang tua dan anak-anaknya.
Imajinasi dan Daya Kritis Anak
Tak disangkal, bahwa kegiatan mendongeng sesungguhnya memiliki dampak positif yang sangat kaya akan "petuah". Mendongeng bukanlah sekedar bercerita, yang hanya membuang-buang waktu. Akan tetapi mendongeng bisa dijadikan sarana untuk mendidik dan menyampaikan pesan-pesan moral kepada anak-anak. Sekaligus bisa menjadi salah satu metode dalam mendidik anak.
Ada beberapa sisi positif dari kegiatan mendongeng. Pertama, dongeng bisa membangun imajinasi anak sejak dini. Melalui dongeng, anak akan berusaha membuat gambaran konkret dalam pikirannya tentunya dari dongeng yang ia dengarkan. Misalnya, anak mencoba membayangkan sosok manusia yang tampan dan baik hati ataupun si kancil yang cerdik, yang mampu mengalahkan penguasa-penguasa hutan.
Daya berpikir imajinasi seperti ini, pada akhirnya akan membantu anak dalam mengembangkan kreatifitasnya. Namun perlu disadari bahwa tidak semua dongeng baik untuk perkembangan imajinasi anak. Contohnya cerita tentang hantu atau makhluk halus tidak begitu bagus untuk psikologis anak.
Menurut para pakar kejiwaan, bahwa cerita-cerita tentang hantu sesungguhnya memiliki dampak negatif terhadap perkembangan mental psikis anak. Anak-anak yang sering mendengar cerita tentang hantu berpotensi besar menjadi seorang yang penakut alias berjiwa kerdil. Untuk itu, dibutuhkan kreatifitas dan kecerdasan orang tua dalam memilih dongeng yang baik untuk membangkitkan imajinasi dan kreatifitas anak.
Kedua, dongeng bisa mengakrapkan antara anak dan orang tua. Tak diragukan lagi bahwa kegiatan mendongeng merupakan salah satu bentuk komunikasi yang baik antara anak dan orang tua. Kegiatan mendongeng pun bisa menjadi momentum yang tepat bagi orang tua untuk menjalin keintiman dengan anak.
Sentuhan, belaian dan dekapan yang diberikan orang tua dikala mendongeng, merupakan bentuk cinta kasih yang nyata pada anak. Sehingga anak merasa semakin dekat secara emosional dengan orang tuanya. Tentunya kedekatan seperti ini, kiranya sulit ditemukan pada momen-momen yang lain.
Ketiga, dongeng bisa menumbuhkan daya kritis anak. Kegiatan mendongeng pada hakekatnya sangat membantu anak dalam mengembangkan daya kritisnya. Dimana dalam proses mendongeng akan terjadi komunikasi secara langsung antara anak dan orang tua. Misalnya anak mencoba mempertanyakan kejadian-kejadian yang belum pernah ia temui atau belum dapat dipahami.
Proses tanya jawab semacam ini pada akhirnya akan menumbuhkan daya kritis anak terhadap suatu permasalahan. Yang tidak kalah penting adalah anak mulai berani untuk belajar berbicara dan berani berdialog dengan lawan bicaranya. Hal ini tentunya berbeda dengan melihat dongeng dan film di televisi, yang hanya terjadi dialog satu arah.
Di sisi lain, dongeng juga sangat berperan dalam mengembangkan kepribadian anak. Melalui dongeng sesungguhnya banyak pesan moral bisa disampaikan pra orang tua tanpa harus mendikte si anak. Melihat arti pentingnya mendongeng bagi anak, sudah saatnya kita hidupkan kembali “ritual” mendongeng sebagai salah satu metode dalam mendidik anak. Wallahu a’lam bisshawaf.

* Penulis adalah pemerhati anak, studi lanjut di S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Budaya Baca Masyarakat Jepara

Budaya Baca Masyarakat Jepara
Oleh: Mukodi*

Dimuat di Majalah Glora Bumi Kartini Jepara
Buku adalah jendela dunia, dan membaca adalah modal awal untuk membuka cakrawala dunia.
Perkataan Tantowi Yahya di salah satu iklan televisi benar adanya, bahwa “keterbelakangan sangat dekat dengan kebodohan, dan kebodohan identik dengan kemiskinan.” Ucapan itu, mengajak kita untuk senantiasa melalui hari demi hari dengan membaca. Agar kita dapat keluar dari jeratan kebodohan dan kemiskinan yang acapkali mengahantui dan menyapa kita.
Sungguh perkataan Tantowi Yahya tersebut, singkron dengan laporan hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards in Indonesia”. Dimana kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Hal ini merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri dan harus segera dicarikan solusinya. Pertanyaannya kemudian, tindakan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya baca masayarakat Indonesia?
Sebagai warga negara kita harus merasa prihatin dan berduka dengan hasil penelitian tersebut. Terlebih akhir-akhir ini prestasi akademik bangsa ini sedang mengalami keterpurukan dan keterbelakangan ditingkat internasional. Sehingga perlu diupayakan adanya problem solving yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satu solusinya adalah dengan membangun budaya baca diperbagai wilayah.
Budaya baca ini hendaknya bisa menjadi bagian dari solusi pemerintah. Dan bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah semata, melainkan tanggung jawab dari semua pihak. Sebab sudah menjadi rahasia umum, bahwa tugas pendidikan membaca biasanya hanya diplotkan/diserahkan kepada sekolah. Alhasil, minat baca dikalangan masayarakat (generasi muda) pun sangat rendah dan jauh dari harapan. Konklusi semacam ini merupakan generalisasi dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Lantas bagaimana dengan masyarakat Jepara?
Menurut hemat penulis, budaya baca masyarakat Jepara sampai hari ini tak jauh berbeda dengan kebanyakan masyarakat Indonesia pada umumnya, yang cenderung ''malas baca.'' Bahkan ada indikasi budaya baca masyarakat Jepara lebih memprihatinkan, kalau tidak dikatakan ''sangat mengenaskan" ketimbang masyarakat di kota-kota lainnya. Indikasi lemahnya minat baca anak-anak Jepara bisa terlihat dengan minimnya volume para pelajar yang mengunjungi Perpustakaan Daerah (Perpusda), perpustakaan sekolah atau kegiatan semacamnya.
Lemahnya minat baca masyarakat Jepara pun, akhirnya berdampak negatif terhadap minat masyarakat untuk belajar di sekolah formal. Hal ini tebukti dari data BPS tahun 2004 Perguruan Tinggi yang ada di Kabupaten Jepara (STIPI, UNDIP, INISNU, STPDNU, STIENU) hanya memiliki mahasiswa 1.531. Berarti 1:691, atau 0,14 % adalah masyarakat Jepara (Generasi Muda Jepara) yang sempat mengenyam pendidikan Perguruan Tinggi, sedangkan selebihnya 99,86 % adalah masyarakat Jepara yang belum pernah belajar di Perguruan Tinggi (walaupun tidak mengesampingkan kaum muda Jepara yang belajar di kota-kota lainnya).” Angka statistik ini di tahun 2007 ini pun tidak ada perubahan yang signifikan.
Membangun Budaya Baca
Oleh karena itu, untuk membangun budaya baca dikalangan masyarakat Jepara setidaknya ada beberapa kebijakan (policy) yang dapat diambil pemerintah, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, pengadaan bazar buku murah. Tak bisa dipungkiri bahwa mahalnya harga buku di negeri ini, merupakan salah satu penyebab rendahnya daya beli masyarakat terhadap buku. Buku di negeri ini lebih identik dengan “kaum terpelajar,” sedangkan masayarakat pada umum belum familiar dengan buku. Dengan demikian, langkah konkret pemerintah dalam membangun budaya baca adalah dengan mengadakan bazar buku murah. Pemerintah dalam hal ini bisa menjalin kerja sama dengan LSM maupun organisasi kemasyarakat lainnya untuk mengadakan bazar buku murah. Misalnya dengan melaksanakan bazar buku di berbagai daerah, baik di perguruan tinggi/di sekolah-sekolah maupun dipelosok-pelosok desa.
Kedua, memaksimalkan perpustakaan. Keberadaan perpustakaan merupakan keniscayaan dalam mengakrapkan buku ke masyarakat. Selama ini, keberadaan perpustakaan di Kecamatan-Kecamatan di Kabupaten Jepara masih “langka”, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Untuk mensiasati hal ini, pemerintah perlu membangun perpustakaan di setiap desa,--paling tidak--dalam satu kecamatan terdapat satu perpustakaan. Selain itu, pemerintah bisa memaksimalkan perpustakaan keliling. Melalui mobil-mobil dinas perpustakaan terkait. Mengingat kesadaran membaca di lingkungan masyarakat Jepara, khususnya masyarakat di pedesaan sangat rendah.
Tidak hanya di lingkungan masayarakat, budaya baca pun perlu disosialisasikan sejak dini di lingkungan sekolah. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab rendahnya budaya baca tidak hanya terjadi pada masyarakat umum akan tetapi juga merambah pada kaum terpelajar. Apalagi era globalisasi telah memanjakan generasi muda dengan pelbagai kemudahan elektronika. Tak urung HP, video game, play station pun menjadi pilihan empuk mereka. Ketimbang memilih berteman dengan buku-buku apalagi menyibukkan diri di perpustakan.
Untuk membangkitkan minat baca dikalangan peserta didik sejak dini, maka sekolah – sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah -- harus berani mengeluarkan kebijakan yang harus ditaati oleh peserta didik. Misalnya, syarat untuk bisa mengikuti ujian semester, atau ulangan harian peserta didik harus menyelesaikan bacaan dengan tema tertentu, atau peserta didik diberi tugas meresensi karya sastra dan lain sebagainya.
Selain itu, langkah yang dilakukan adalah dengan meningkatkan minat dunia tulis-menulis dikalangan peserta didik bisa dengan menggunakan pelbagai media yang ada. Sekolah dalam hal ini bisa memaksimalkan fungsi mading sebagai media transformasi ide dan gagasan anak. Mading ini hendaknya dikelola secara serius oleh pihak sekolah dengan melibatkan peran aktif peserta didik. Dengan demikian, budaya baca akan menjadi bagian yang tak perpisahkan dari kehidupan peserta didik, sebab dunia tulis-menulis memerlukan bahan, dan bahan yang paling efektif adalah dengan membaca.
Di sisi yang sama, perlunya membangun iklim budaya baca yang kondusif dan menyenangkan di lingkungan sekolah. Terwujudnya sekolah yang kondusif dan menyenangkan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan ini. Sehingga sekolah dalam hal ini, perlu menata tata ruang kelas, tempat perpustakan dan tata letak lainnya secara rapi, asri, indah, nyaman dan elegan. Dengan kondisi penampilan sekolah yang sedemikian rupa, diharapkan dapat memacu terwujudnya budaya baca di lingkungan sekolah dengan segera.
Dengan pelbagai kebijakan (policy) tersebut, niscaya terwujudnya budaya baca masyarakat Jepara bukan lagi sebuah impian, melainkan sebuah kenyataan yang segera terwujud. Menuju daerah yang bermartabat baik ditingkat lokal maupun nasional, semoga kita semua bisa mewujudkannya.[]

*Penulis adalah Praktisi Pendidikan asal Krapyak Jepara

Strategi Mendidik Anak yang "Bandel?"


Strategi Mendidik Anak yang "Bandel?"
Oleh: Mukodi*

Suatu pagi, berceritalah seorang teman tentang anak didiknya yang ''nakal'', alias ''bandel.'' Pak, serunya kepada saya, ''si A itu susah diatur, suka ribut sendiri di kelas, saya terkadang pusing dibuatnya'', kelunya. Sejurus kemudian, teman saya yang satunya, kebetulan duduk disampingku menimpali, ''Oh ya memang anak yang satu itu memang 'bandel', saya juga sering stres dibuatnya.''
Cerita di atas, adalah gambaran kecil realitas dari proses pendidikan di sekolah. Hal itu barangkali sebagai konsekuensi, dari pilihan kita bergelut di dunia pendidikan. Kita harus siap disibukkan dengan pelbagai tingkah laku dan karakteristik anak yang berbeda-beda. Sehingga seorang pendidik dituntut untuk senantiasa meng-up-date keilmuan yang dimilikinya setiap saat. Lebih-lebih belajar tentang buku-buku psikologi perkembangan anak, psikologi mental dan psikolgi belajar menjadi suatu keniscayaan. Mengapa hal itu menjadi penting? Perlu kita sadari, bahwa mendidik itu pada hakikatnya berbeda dengan mengajar.
Mengapa mendidik tidak sama dengan mengajar? Kalau yang terakhir, berarti menyampaikan, mentransformasikan ilmu pengetahuan dan hanya menyentuh diranah kognitif an-sich. Mengajar juga tidak berorientasi pada perubahan perilaku anak, baik diwilayah afektif maupun psikomotorik, melainkan hanya menitiktekankan pada perubahan pikir anak. Karena mengajar juga berarti transfer of knowlegd bukan transfer of value (character building). Maka tak heran, jika guru yang hanya berdiri pada posisi sebagai pengajar tidak memiliki ''tanggung jawab'' atas profesinya sebagai guru. Padahal, sosok guru dalam Jawa digambarkan sebagai jabatan yang ''istimewa'' guru berarti digugu lan ditiru.
Sedangkan mendidik, mempunyai makna yang lebih mendalam, yaitu memberikan penanaman nilai-nilai moral kepada peserta didik, baik berupa pengetahuan kognitif, dan yang diharapkan adalah perubahan sikap peserta didik yang mulanya acuh-tak acuh terhadap prilaku moralitas atau kebersamaan menjadi melek dan simpatik pada nilai-nilai kemanusiaan. Alih kata, mendidik mempunyai peran ganda, yaitu subyeknya harus menjadi pendidik sekaligus sebagai pengajar. Sehingga ia disyaratkan mempunyai kepekaan kemanusiaan yang tinggi dan prilaku pribadi yang bertanggung jawab, bukan malah pribadi-pribadi yang tidak berkarakter. Pendidik harus menjadi contoh hidup kebaikan bagi peserta didiknya, pada titik inilah pentingnya seorang pendidik yang bermoralitas, beragama yang kuat, dan berperadaban. Sebab pendidik harus mampu mensenergikan antara pikir dan zikir peserta didik, dengan berorientasi untuk menghidupkan hati nurani peserta didiknya.
Menjawab pertanyaan dari judul di atas, Imam Musbikin dalam kumpulan tulisannya, yang kemudian diterbitkan oleh Mitra Pustaka Yogyakarta (2003), dengan judul "Mendidik Anak Ala Shinchan", memberikan jawaban tentang bagaiman strategi mendidik anak yang 'bandel' seperti Shinchan. Seperti kita ketahui, bahwa Shinchan adalah tokoh bahkan ikon dari seorang anak yang terkenal sangat 'nakal', 'bandel', bahkan sangat 'kritis'. Karena itu tak jarang orang tua bahkan gurunya dibuat 'kewalahan' saat menjawab pertanyaan darinya, seperti: "Mama….., bagaimana sih adik bisa keluar dari perut mama?" Atau, "Papa……, bila Tuhan itu hanya satu, mengapa ada di mana-mana, serta bagaimana bentuk-Nya?".
Bimbinglah Anak dengan Bijak
Anak-anak yang 'bandel' seperti hanya Shinchan cenderung berbuat yang aneh-aneh. Ia cenderung bandel, tak mau menurut dan ingin berbuat sekehendaknya. Orang tua yang mempunyai anak tipe ini, memang perlu memiliki kesabaran yang besar. Bila tidak, mungkin hanya akan marah-marah saja dan bisa-bisa terjangkit penyakit "darah tinggi", bahkan struck.
Mahmud Mahdi al-Istanbuli berpendapat: "Anak seperti tipe ini, memang biasa disebut sebagai ulah 'anak nakal'. Akan tetapi bukan berarti orang tua harus mematikan 'kenakalannya'. Mematikan atau malah menekan anak dengan kecenderungan seperti itu malah akan membawa pengaruh yang tidak baik bagi perkembangannya. Bahkan 'tekanan' itu akan tetap ada dalam akal batin atau bawah sadar dan bisa menimbulkan beberapa penyakit syaraf, bahkan yang ekstrem bisa menyebabkan kegilaan".
Oleh sebab itu, untuk mengatasi 'kenakalan' anak yang demikian, orang tua, mungkin bisa membelokkan, mengangkat dan meningkatkan kecenderungan yang tampak 'nakal' itu ke arah lain. Itulah yang lebih baik dan bijaksana. Anak-anak dengan usia seperti Shinchan, memang seringkali bertanya yang aneh-aneh. Adakalanya pertanyaan mereka dianggap wajar oleh para orang tua, tetapi adakalanya juga dianggap tidak wajar (jorok). Seperti, "Mama…., adik itu asalnya dari mana, sih?"
Untuk itu, menghadapi pertanyaan anak yang seperti ini, kira-kira apa tindakan orang tua. Bolehkah orang tua menghukum atau marah mendengar pertanyaan anak yang dianggap jorok itu? Atau langsung menghukum dan bertindak kasar pada si anak? Dan biasanya pada saat itulah, waktu yang tepat bagi para orang tua untuk menunjukkan ekspresi kemarahan yang tepat. Apatah dengan memukul, membanting sesuatu, memaki, mengumpat atau cara lain sejenisnya?
Dalam posisi ini, adalah benar sebuah adagium, "Orang yang sabar bukanlah orang yang tidak pernah marah, tetapi orang yang sabar adalah orang yang bisa mengelola rasa marahnya"(ke arah yang lebih produktif). Karena itu, untuk menghadapi anak yang seperti ini, Anda harus memandang anak sebagai subyek, bukan obyek yang harus menurut kemauan dan obsesi Anda sebagai orang tua.
Dr. Kresno Mulyadi, seorang pemerhati anak-anak dan perkembangannya, mengatakan bahwa "Orang tua jangan menghalangi keingintahuan anak, seperti mengatakan 'hus', ngomong apa kamu?", "Biarkan anak bermain, bertanya apa saja, biarkan spontanitas anak berkembang, anak bukanlah mahasiswa kecil. Dunia anak adalah dunia bermain, dan setiap anak itu unik, anak berkembang secara bertahap."
Anak yang 'bandel' seperti Shinchan, memang cukup kritis. Setiap apa yang dilihat dan dirasakan, seringkali ia pertanyakan. Rasa ingin tahunya cukup besar. Mereka bertanya tentang hal-hal yang kadang-kadang bisa membuat orang tua sulit untuk menjawabnya, misalnya, "Mama…, Tuhan itu di mana yaa? Seperti apa sich bentuknya?
Untuk menjawab pertanyaan anak yang seperti ini, orang tua bisa menggunakan analogi-analogi sederhana. Misalnya dengan menjawab bahwa Tuhan itu ada di mana-mana, dan jika anak terus bertanya, "Katanya Tuhan itu satu, kok malah ada di mana-mana". Untuk menjawab pertanyaan ini, orang tua bisa membuatkan kiasan, misalnya: "Bulan itukan satu, tapi dimana-mana ada bulan; di Yogyakarta ada bulan, di Jakarta ada bulan, dan begitu seterusnya".
Bila anak memburu dengan pertanyaan bagaimana bentuk Tuhan? Anda bisa menjawabnya bahwa Tuhan itu tidak serupa dengan segala sesuatu yang Ia ciptakan; anda bisa mengambil analogi sebuah meja. Bila meja itu di buat oleh tukang meja, maka bentuknya tidak sama dengan tukangnya, begitu juga dengan buku, pensil, dan lainnya, ia tidak sama dengan pembuatnya. Oleh karena itu, para orang tua atau pendidik ditutut untuk rajin membaca, agar cakrawala pengetahuannya bertambah luas. Dengan begitu, mereka tidak akan mengalami kesulitan untuk menjawab pelbagai pertanyaan si anak yang terkadang cukup merepotkan.
Akhirnya, semoga kita selaku manusia yang lebih dewasa mampu menjadi pendidik yang benar-benar mendidik. Bukankah anak-anak adalah aset bangsa yang harus dijaga, dirawat, dididik dan ditempatkan sebagai pribadi yang harus dipenuhi hak-hak dan kebutuhannya?

*Penulis adalah pemerhati anak, sedang studi lanjut di S2 UIN Sunan Kalijaga.

Sertifikasi dan Citra Guru


Sertifikasi dan Citra Guru
Oleh: Mukodi*
Dilansir dari Koran Ternate Post

Hadirnya UU Guru Dan Dosen No. 14 Tahun 2005 merupakan satu terobosan baru bagi dunia pendidikan. Terutama issu akan segera diberlakukannya sertifikasi di semua jenjang pendidikan. Pertanyaannya kemudian, apakah kehadiran UU tersebut bisa memperbaiki benang kusut pendidikan? Apakah dengan sertifikasi guru benar-benar berdampak positif terhadap profesionalitas seorang guru? Mungkinkah sertifikasi bisa mengembalikan citra guru menjadi sosok digugu dan ditiru sekaligus meningkatkan kesejahteraannya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seakan menjadi kewajaran dan acapkali diperbincangkan banyak pakar, dan para guru. Apalagi, ditengah bergulirnya pergantian Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dan rencana pemerintah menaikkan standar ujian nasional tahun 2007 nilai rata-rata 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Sehingga sertifikasi pendidikan bagi tenaga edukatif merupakan suatu keniscayaan yang harus diupayakan pelaksanaannya. Selain itu, sertifikasi juga diharapkan bisa meningkatkan kualitas para guru menjadi guru yang lebih profesional di tengah merosotnya pendidikan nasional. Sekaligus suatu terobosan baru, good will pemerintah untuk mengembalikan “kehormatan guru” yang selama ini “telah hilang”.
Di sisi yang sama, sertifikasi adalah peluang dan tantangan bagi para guru. Peluang untuk melakukan koreksi mandiri dalam proses belajar-mengajar. Tentunya terkait dengan keempat kompetensi yang harus dimilikinya, yaitu: kompetensi kepribadian, paedagogik, profesional dan sosial. Tantangan yang mesti dihadapi adalah guru harus menjadi sosok pribadi teladan yang shaleh, mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas, memiliki pemahaman aplikatif dan metodologik.
Sehingga untuk mengembalikan citra guru menjadi lebih percaya diri (convidence) dengan status sosialnya sebagai guru, maka uji sertifikasi keguruan merupakan suatu keniscayaan. Namun angin segar uji sertifikasi ini bagi sebagian para guru rupanya hanya menjadi mimpi yang sulit diwujudkan. Mengingat sulit terpenuhinya sejumlah syarat yang ditawarkan oleh pemerintah. Misalnya untuk bisa mendaftar uji sertifikasi ditingkat SMP, seorang guru harus: mempunyai golongan IV a; masa kerja 20 tahun; memiliki jumlah jam 24 jam perminggu; pendidikan S1, dan usia maxsimum 55 tahun; dan diprioritaskan bagi guru yang berprestasi (KR, 6 Desember 2006). Kriteria tersebut memunculkan sejumlah pertayaan, bagaimana nasib guru-guru muda yang produktif tapi tidak cukup syarat? Bagaimana nasib guru-guru swasta yang sudah mengabdi selama berpuluh-puluh tahun? Sehingga kriteria lamanya kerja, dan status kepangkatan perlu ditinjau ulang.
Pelbagai polemik tentang sertifikasi haruslah disikapi dengan arif dan bijaksana. Sehingga keberadaan sertifikasi benar-benar bisa menjadi proses menuju keprofesiolan seorang guru. Akhirnya, ketatnya kualifikasi untuk menjadi seorang guru akan berdampak positif terhadap kepribadian seorang guru. Guru akan merasa bangga atas statusnya, dan berdampak positif pula terhadap proses belajar-mengajar di kelas.

* Penulis adalah praktisi pendidikan, studi lanjut di Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pendidikan Berkualitas Mungkinkah?

Pendidikan Berkualitas Mungkinkah?
Oleh: Mukodi, S. Pd.I

Sekolah berkualitas identik dengan tingginya biaya pendidikan. Itulah fakta yang selama ini terjadi. Padahal pendidikan berkualitas tidaklah harus mahal, meskipun kita tidak menutup mata bahwa terwujudnya pendidikan berkualitas membutuhkan sumber dana yang cukup. Namun demikian, kualitas pendidikan tidak hanya diukur dengan mahalnya biaya pendidikan. Alih kata, terwujudnya kualitas pendidikan bukan hanya ditentukan dan dicipta melalui tingginya biaya pendidikan an-sich.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada lima kata kunci untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pertama, sekolah harus memiliki visi dan misi untuk meraih prestasi/mutu yang tinggi. Visi dan misi sekolah merupakan batu pijakan yang harus bisa dilaksanakan eksistensinya secara operasional. Sehingga visi dan misi sekolah bukan hanya sekedar slogan/kata mutiara, melainkan impian dan harapan yang harus diperjuangkan.
Kedua, hadirnya pendidik (guru) yang berkualitas. Pendidik yang berkualitas merupakan keniscayaan di tengah keterpurukan kualitas pendidikan dewasa ini. Sebab ditangan pendidik yang profesionallah keterbatasan sarana-prasana bisa disulap menjadi kelebihan yang luar biasa. Sehingga tak heran, jika ungkapan the man behind the gun dialamatkan padanya.
Ungkapan di atas tersebut, menggambarkan bahwa keahlian dan kepiawaian seseorang menggunakan dan memegang senjata, sangat menentukan keunggulan dan kedahsyatan sebuah senjata. Pengajar dalam hal ini pendidik adalah the man yang akan menentukan keberhasilan dan kualitas pendidikan, melalui sarana dan prasarana (the gun) yang dimiliki sekolah. Bergulirnya wacana sertifikasi pendidikan bagi tenaga edukatif membuka sedikit angin segar akan terwujudnya tenaga pendidik yang berkualitas.
Ketiga, adanya kurikulum pendidikan yang berbasis realitas. Tak dipungkiri, bahwa kurikulum yang baik adalah kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal setempat. Terciptanya kurikulum berbasis realitas ini diharapkan akan mampu menciptkan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Dengan demikian, proses pendidikan yang dicapai nantinya benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Kurikulum seperti ini bisa diwujudkan dari muatan lokal sekolah, sehingga muatan lokal sekolah yang ada harus diterjemahkan ke dalam mata pelajaran yang relevan dengan kebutuhan. Lahirnya kurikulum KBK dan KTSP dewasa ini, setidaknya bisa menjadi langkah awal bagi terciptanya kurikulum berbasisi realitas ini.
Keempat, lembaga pendidikan harus senantiasa memperluas relasi dan networking. Relasi dan networking merupakan dua entitas yang sangat menentukan dalam lapangan kerja. Diakui atau tidak, dunia pendidikan sekarang ini mau tidak mau harus mengikuti logika “pasar” (keinginan masyarakat). Apalagi jika mengacu pada konsep Total Quality Management (TQM), jelas sekali disebutkan bahwa persekolahan harus memperhatikan apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan oleh pelanggan atau pengguna jasa pendidikan. Sehingga semakin banyak relasi dan networking sebuah lembaga pendidikan akan senantiasa bisa suvive. Setidaknya sekolah bisa memperkenalkan peserta didiknya sejak dini, bagaimana cara sekolah membangun relasi dan mencari relasi dengan baik.
Kelima, adanya kebijakan subsidi silang bagi anak-anak yang kurang mampu. Kebijakan subsidi silang ini menjadi sangat penting, terutama untuk mensyiasati agar anak-anak yang kurang mampu tetap bisa bersekolah. Sehingga pihak sekolah harus bisa memetakan dan memilah, siapa wali murid yang dikenakan biaya pendidikan tinggi, sedang, rendah bahkan digratiskan. Dengan demikian, semua kalangan akan bisa mendapatkan aksesibilitas pendidikan sebagaimana amanat Undang-Undang 1945, tak terkecuali anak-anak dari keluarga miskin.
Dengan terpenuhinya kelima hal tersebut, niscaya kualitas pendidikan di sekolah-sekolah akan menjadi lebih baik. Perlu dipahami, bahwa kualitas pendidikan di sebuah lembaga pendidikan bukan hanya diukur dengan tingginya nilai hasil UAN dan UASDA semata. Melainkan bagaimana sekolah mampu membekali peserta didiknya menjadi manusia yang siap hidup di masyarakat, dan siap menciptakan lapangan kerja bagi sesama.
Sungguh melalui pendidikan yang berkualitaslah dunia pendidikan kita akan mencetak manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu, untuk mempercepat terwujudnya pendidikan berkualitas, harus diupayakan rekayasa oleh semua pihak. Bukankah tanggung jawab untuk menciptakan sekolah yang berkualitas tidak hanya tugas dan tanggung jawab sekolah dan pemerintah semata? Melainkan tanggung jawab kita bersama? Akhirnya, dengan pendidikan yang berkualitas semoga bangsa ini bisa bermartabat dan berdaulat, baik dipentas nasional maupun internasional sejajar dengan bangsa-bangsa lain.[]

* Penulis adalah mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Me-Rolling Guru, Menyegarkan?


Me-Rolling Guru, Menyegarkan?
Oleh: Mukodi, S.Pd.I


Beberapa hari yang lalu, Diknas Pendidikan Kota Yogyakarta berencana akan melakukan rolling terhadap guru/kepala sekolah di lingkungan Kota Yogyakarta (KR, 11 Januari 2008). Bagi sebagian guru kebijakan me-rolling ini tentunya merupakan "persoalan" baru. Mengapa demikian? Karena rolling alias mutasi masih dianggap sesuatu yang tabuh. Bahkan tak sedikit yang beranggapan bahwa rolling berkonotasi negatif. Asumsi-asumsi semacam inilah sejatinya yang perlu dibenahi dan dirubah,--kalau tidak--bisa menjadi preseden buruk di kemudian hari.
Perlu dipahami, bahwa rolling guru/kepala sekolah yang dilakukan Diknas Kota Yogyakarta, nantinya bertujuan untuk peningkatan mutu sekolah. Di samping, sebagai wahana bagi pemerataan kualitas guru. Bukan diakibatkan karena adanya kelakuan yang kurang baik oleh seorang guru, sehingga ia harus dipindah tugaskan. Bahkan dalam pelbagai teori manajemen disebutkan, bahwa kebijakan rolling/pendelegasian staf merupakan suatu kebutuhan yang lazim dilakukan. Tindakan ini dilakukan untuk me-refresh atau menyegarkan suatu institusi pendidikan/perusahaan.
Secara filosofis kebijakan ini sesungguhnya mengisyaratkan adanya konsistensi keseriusan pemerintah terhadap perbaikan mutu sekolah. Strategi rolling semacam ini biasanya juga dikembangkan dalam manajemen mutu terpadu suatu perusahaan. Persoalannya kemudian adalah sejauhmana pemerintah nantinya dapat mengidentifikasi dengan baik sosok guru/kepala sekolah yang dianggap berkualitas? Maukah guru/kepala sekolah untuk dipindah-tugaskan? Siapkah sekolah ditinggalkan oleh sosok guru/kepala sekolah yang berkualitas?
Pertanyaan semacam ini merupakan suatu kewajaran, mengingat kebijakan me-rolling guru/kepala sekolah adalah kebijakan publik. Menyangkut hajat kepentingan stakeholder sekolah, pelanggan jasa pendidikan (masyarakat) dan juga pemerintah. Sehingga pemindahan guru/kepala sekolah yang berkualitas dari sekolah satu ke sekolah lainnya, nantinya akan terhambat pada adanya upaya tarik-menarik antara pihak sekolah dan pemerintah.
Di satu sisi, sekolah bersama komite sekolah akan merasa berkepentingan untuk mempertahankan semaksimal mungkin sosok guru/kepala sekolah yang berkualitas. Di sisi lainnya, pemerintah dengan berbekal kewenagannya akan berusaha meminta guru/kepala sekolah yang bersangkutan untuk mau pindah, agar bisa memberdayakan sekolah lain yang dianggap "kurang berdaya." Belum lagi, kalau misalnya guru/kepala sekolah tersebut, bersikukuh ingin tetap bertahan di sekolah tertentu, dengan dalih ia masih ingin mengabdi dan sekolah pun masih membutuhkan eksistensinya di sana.
Dengan demikian, sebelum kebijakan me-rolling guru/kepala sekolah benar-benar diberlakukan, sebaiknya Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan forecasting atau peramalan secara mendalam. Sekaligus mengupayakan adanya alternatif solutif lainnya, sebab kebijakan me-rolling guru/kepala sekolah, kalau kita petakan dalam teori kebijakan Dunn (1994: 146) termasuk dalam kategori moderatly structured. Yakni permasalahan yang berada dilevel pertengahan, kebijakan yang melibatkan banyak pihak yang berkepentingan.
Namun terlepas dari hal itu, menurut hemat penulis wacana me-rolling guru/kepala sekolah yang akan dilakukan oleh Diknas Kota Yogyakarta merupakan kebijakan populis. Di samping sebagai gebrakan positif, setelah pemerintah berhasil meregrouping 15 SD pada tahun 2007 yang lalu. Kebijakan ini dikatakan populis, karena kebijakan ini berusaha memberdayakan sekaligus menyetarakan kualitas tenaga pendidik di sekolah dasar yang sampai sekarang dirasa masih timpang.
Sungguh pun demikian, niat baik dan keinginan baik Diknas Kota Yogyakarta tersebut, hendaknya dilakukan dengan mekanisme yang baik pula. Jangan sampai kebijakan yang populis ini nantinya ternoda dengan prosedur yang kurang bijak. Sebagai warga masyarakat yang baik, tentunya kita berkewajiban ikut menyengkunyung kehendak yang baik pemerintah. Akhirnya, semoga kebijakan me-rolling guru/kepala sekolah ini benar-benar dapat menyengarkan kita semua, khususnya menyegarkan kualitas pendidikan di persekolahan, semoga.[]

* Penulis adalah praktisi pendidikan di Yogyakarta.

Mengejar Mimpi Pendidikan

Mengejar Mimpi Pendidikan
Oleh: Mukodi *

Dilansir dari Banjarmasin Post
Layaknya jamur di musim hujan, seiring datangnya tahun ajaran baru pelbagai sekolah pun mempromosikan lembaganya. Mulai dari sekolah TK, SD, SMP, SMA, hingga PTN/PTS berebut mencari simpati pelanggannya (masyarakat/konsumennya). Sehingga tak heran jika masing-masing lembaga pendidikan memasarkan menu terbaik yang dimilikinya. Pertanyaannya kemudian apa bedanya sekolah dengan supermarket/swalayan? Bukankah keduanya sama-sama menawarkan menu terbaik dan produk unggulan?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seakan menjadi kewajaran dan acapkali diperbincangkan masyarakat diakar rumput (grass root). Apalagi, ditengah bergulirnya pelbagai kebijakan pendidikan. Mulai dari kenaikan standar UN, pergantian Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pelaksanaan serifikasi dan sebagainya.
Tak terbantahkan, bahwa pendidikan merukan salah satu tangga menuju perbaikan hidup yang lebih baik. keTanggal 2 Mei yang lalu bangsa kita memperingati hari Pendidikan Nasional. Tanggal dimana Bapak Pendidikan Nasional dilahirkan, pendiri Taman Siswa yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Sungguh merupakan suatu keniscayaan apabila di bulan yang bersejarah ini, kita berkontemplasi dan berinstropeksi sejenak akan pendidikan kita. Sebab diakui atau tidak kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan—kalau tidak dikatakan berjalan di tempat.
Ada dua asumsi pendukung dari statmen di atas. Pertama, semakin terpuruknya kualitas pendidikan kita di kancah internasional. Hal ini tercermin dari laporan yang diterbitkan oleh Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS: 2003) yang menempatkan para siswa SLTP kelas dua di Indonesia berada diposisi ke 34, jauh dibawah Singapura dan Malaysia yang masing-masing menempati urutan pertama dan kesepuluh. Bukankah ini merupakan indikasi betapa rendahnya kualitas siswa kita secara komunal dibanding kualitas anak-anak di negara lainnya?
Realitas yang memukul dunia pendidikan kita ini, menjadi semakin lengkap, apabila kita kaitkan juga dengan laporan dari UNDP yang telah dipublikasikan. Dimana berdasarkan laporan program HDI (Human Development Index) tahun 2006. Negara kita hanya mampu menempati peringkat ke 108 dari 175 negara. Jauh tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Singapura (25), Brunei (34), Malaysia (61), Thailand (74), dan Filipina (84). (Baca, Human Developmen Report 2006).
Kedua, sampai hari ini negara kita belum mampu memenuhi kewajibannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Sehingga tidaklah sulit mencari anak-anak di usia sekolah yang menjadi pekerja pabrik, pedagang asongan, kernet-kernet bus, kuli bangunan, pengamen, bahkan sampai menjadi pelayan-pelayan lelaki hidung belang. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar 1945, dengan tegas disebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dan diperkuat pula dengan ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Dampak dari ketidakmampuan negara dalam mencerdaskan anak bangsa, bisa kita lihat, mengacu pada data Education for All (EFA) Global Monitoring Report tahun 2005. Indonesia adalah negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia, yakni sekitar 18,4 juta orang buta huruf di Indonesia. Yang mayoritasnya adalah orang miskin yang tinggal di pelosok-pelosok dan pegunungan. Hal ini semakin mempertegas bahwa pendidikan kita “telah gagal” dalam mengemban misinya sebagai wadah untuk mencerdaskan anak bangsa.
Dengan demikian, secara sederhana pendidikan kita mempunyai dua tugas besar. Disatu pihak negara bertanggung jawab mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan dilevel internasional. Dipihak lainnya, negara harus memenuhi kewajibannya, mencerdaskan anak bangsa.
Pendidikan Berkualitas
“Banyak jalan menuju roma.” Itulah kata pepatah yang cukup representatif mengambarkan betapa banyaknya cara menuju pendidikan berkualitas. Pendidikan berkualitas tidaklah harus mahal, meskipun kita tidak menutup mata terwujudnya pendidikan berkualitas membutuhkan sumber dana yang cukup. Namun demikian, kualitas pendidikan tidak hanya diukur dengan mahalnya biaya pendidikan. Alih kata, terwujudnya kualitas pendidikan bukan hanya ditentukan dan dicipta melalui tingginya biaya pendidikan an-sich.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga kata kunci dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pertama, hadirnya pendidik (guru) yang berkualitas. Pendidik yang berkualitas merupakan keniscayaan di tengah keterpurukan kualitas pendidikan dewasa ini. Sebab ditangan pendidik yang profesionallah keterbatasan sarana-prasana bisa disulap menjadi kelebihan yang luar biasa. Sehingga tak heran, jika ungkapan the man behind the gun dialamatkan padanya.
Ungkapan di atas tersebut, menggambarkan bahwa keahlian dan kepiawaian seseorang menggunakan dan memegang senjata, sangat menentukan keunggulan dan kedahsyatan sebuah senjata. Pengajar dalam hal ini pendidik adalah the man yang akan menentukan keberhasilan dan kualitas pendidikan, melalui sarana dan prasarana (the gun) yang dimiliki sekolah. Bergulirnya wacana sertifikasi pendidikan bagi tenaga edukatif membuka sedikit angin segar akan terwujudnya tenaga pendidik yang berkualitas.
Kedua, adanya kurikulum pendidikan yang berbasis realitas. Tak dipungkiri, bahwa kurikulum yang baik adalah kurikulum yang relevan dengan kebutuhan ummat. Namun realitas berbicara lain, kurikulum di negeri ini bagaikan menara gading, yang sangat jauh dari realitas kebutuhan masyarakat (grass root). Hal ini bisa dilihat betapa banyaknya masyarakat yang bodoh dan tidak berdaya (terutama melihat potensi daerah/lokal). Lahirnya kurikulum KBK dan KTSP akhir-akhir ini setidaknya bisa menjadi awal dari pemberdayaan ummat.
Ketiga, lembaga pendidikan harus senantiasa memperluas relasi dan networking. Relasi dan networking merupakan dua entitas yang sangat menentukan dalam lapangan kerja. Diakui atau tidak, dunia pendidikan sekarang ini mau tidak mau harus mengikuti logika “pasar”. Apalagi jika mengacu pada konsep Total Quality Management (TQM), jelas sekali disebutkan bahwa persekolahan harus memperhatikan apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan oleh pelanggan atau pengguna jasa pendidikan. Sehingga semakin banyak relasi dan networking sebuah lembaga pendidikan akan senantiasa bisa suvive. Di sinilah man action (para leader) memegang peranan penting untuk melakukan interkoneksitas dengan pengguna jasa pendidikan
Pendidikan Berkeadilan
Tak dipungkiri, dewasa ini masih banyak anak-anak di usia sekolah yang belum mengenyam pendidikan secara semestinya. Terutama bagi anak-anak yang berasal dari kalangan papa (kaum miskin). Mereka hanya bisa menyaksikan teman-temannya menjinjing tas dan masuk ke gedung-gedung yang dikelilingi pagar—yang lazim disebut sekolah. Kemiskinan dan lemahnya perekonomian keluarga acapkali menjadi alasan kenapa anak-anak tersebut tidak bisa mengakses pendidikan.
Data Bank Bunia pun, menunjukkan bahwa hampir separo penduduk Indonesia atau 108,78 juta (49%) masuk kategori miskin dan rentan miskin (Desember 2006). Sehingga sangatlah logis apabila lemahnya perekonomian keluarga menjadi akar pangkal dari ketidak berpihakan anak-anak untuk bersekolah. Untuk itu, pemerintah harus segera merealisasikan 20 % anggaran pendidikan seperti yang termuat dalam UUD 45 pasal 31 ayat 1. Agar semua kalangan bisa merasakan enaknya bangkau sekolah.
Dengan demikian, terpenuhinya anggaran pendidikan menjadi 20 % merupakan langkah awal menuju perubahan. Perubahan dari pendidikan eksklusif menuju pendidikan inklusif dan populis. Pendidikan yang hanya milik kalangan elit “berkemakmuran.” Menjadi pendidikan yang memihak kepada rakyat kecil, bagi kaum papa, dan bagi anak-anak yang tersisihkan dari kemewahan. Keberpihakan pendidikan ini akan melahirkan pendidikan murah menuju pendidikan gratis. Sehingga diperlukan adanya komitmen dan iktikad baik (good will) pemerintah, khususnya untuk segera merealisasikan anggaran pendidikan sebagaimana amanat Undang-Undangan Dasar 1945.
Akhirnya, semoga dengan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan, kaum papa bisa menikmati bangkau sekolah. Menuju terciptanya generasi yang tangguh, berkualitas, dan berkarakter. Semoga bangsa ini bisa bermartabat dan berdaulat dipentas internasional sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Penulis adalah kordinator diskusi Ikatan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana (IKMP) UIN Su-Ka Yogyakarta.

Ketika Orang Besar Sakit

Ketika Orang Besar Sakit
Oleh: Mukodi*


"Bagaimana info terbaru perkembangan Bapak? Baiklah, saya akan melaporkan kondisi terkini kesehatan Pak Harto……" Begitulah kira-kira, para reporter televisi melaporkan perkembangan terbaru mantan presiden Soeharto dari RSU Pertamamina Jakarta. Tak dipungkiri, berita tentang sakitnya matan orang nomor satu tersebut seakan menjadi drama publik. Hal ini seolah menjadi pertanda bahwa pamor sang mantan Jenderal Besar memang masih ada. Bahkan tak sedikit masyarakat yang menaruh iba, bahkan simpati terhadap sosok sang Jenderal. Atau hanya sekadar merindukan zaman di era kepemimpinan Soeharto.
Kerinduan era orba semacam ini sejatinya merupakan kewajaran, ditengah himpitan krisis multi kultural yang berkepanjangan. Terlebih harga kebutuhan bahan pokok melonjak beralih harga, dari "hampir terjangkau" menjadi "sangat tak terjangkau." Kelangkaan minyak tanah, kebijakan konversi minyak tanah ke kompor gas, melambungnya harga tahu-tempe. Disusul rentetan bencana alam yang datang silih-berganti, seakan menambah lengkap penderitaan rakyat kecil.
Sehingga tak sedikit rakyat kecil bergumam dalam hati, "andai Pak Harto masih berkuasa, mungkin nasib kita tak seberat ini." Inilah gambaran betapa masyarakat masih merindukan figur kepemimpinan laiknya Soeharto. Bagi rakyat kecil, era orde baru adalah masa ketenangan. Masa dimana masyarakat dapat hidup tenang. Papan, sandang, dan pangan bisa didapatkan dengan "mudah." Walau sejatinya ketenangan dan kemudahan tersebut hanyalah kamuflase, dan lipstik kekuasaan semata. Tapi masyarakat tidak memperdulikan semua itu, yang penting bagi mereka, bisa hidup tenteram dan mudah mencari makan.
Romantisme Masa Lalu
Dalam kajian sejarah, sikap romantisme masa lalu, merupakan puncak akumulasi kekecewaan terhadap gagalnya suatu rezim. Hal ini kalau dibiarkan berlarut-larut rakyat kecil akan terjangkit wabah "penyakit prostasi." Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang berkepanjangan adalah penyebab utama dari penyakit ini. Padahal, dalam kaca mata kaum sosialis, penyakit ini merupakan penyakit yang sangat mengerikan. Lama-kelamaan penyakit ini akan melahirkan, pudarnya sikap nasionalis, berujung pada hilangnya kepercayaan terhadap eksistensi suatu negara. Meminjam bahasanya Gus Dur, bisa melahirkan terjadinya revolusi sosial. Kalau hal ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin revolusi sosial akan benar-benar terjadi.
Semestinya pemerintah harus segera mengerti bahwa batas kesabaran masyarakat kita, tak sekokoh masa lalu, yang hanya diam menunggu dan menggerutu. Masyarakat sekarang sudah mulai cerdas, bagaimana semestinya bertindak dan bersikap. Sungguh merupakan suatu keniscayaan, apabila pemerintah mulai menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya, yaitu menyejahterakan rakyatnya. Masyarakat sebetulnya tidak menuntut yang neko-neko, alias yang aneh-aneh. Mereka hanya butuh, pangan, papan dan sandang. Karena kebutuhan ini adalah kebutuhan dasar yang harus mereka miliki. Tapi apa yang terjadi? sampai hari ini kebutuhan dasar tersebut, belum sepenuhnya terwujud.
Memaafkan
Seiring dengan memburuknya kondisi kesehatan Pak Harto, seiring pula kontroversi kasus hukumnya diperdebatkan. Pertanyaannya kemudian, apakah tindakan tersebut layak dilakukan? Padahal, pelbagai agama mengajarkan "etika duka", bahwa dalam suasana duka tidak etis membicarakan aib seseorang. Terlebih orang tersebut adalah orang yang sangat berjasa bagi bangsa dan negara, terlepas pelbagai tindak kesalahan yang pernah dilakukan. Namun beginilah bangsa kita, budaya santun alias sungkan agaknya mulai menjauh dari kebudayaan kita. Bukankah salah-satu nilai adi luhung bangsa ini adalah budaya santun? Dimanakah budaya tersebut? Lantas, mungkinkah bangsa kita harus memaafkan Pak Harto?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini merupakan kewajaran, ditengah sakitnya Pak Harto. Perlu diingat, bahwa kata maaf adalah ekspresi dari kearifan. Meski kearifan yang kontradiktif, karena meniadakan bagian dari keadilan itu sendiri, yaitu "rasa keadilan." Memaafkan segala kesalahan Pak Harto di masa lalu sama dengan mengubur rasa kepedihan orang-orang yang diperlakukan tidak adil oleh lembar sejarah. Tetapi, tidak mau memaafkan sama sekali, bukan pula tindakan bijaksana secara kemanusiaan dan agama. Di sinilah, sakit Pak Harto meninggalkan delema historis antara rasa maaf dan rasa keadilan (Yasraf Amir Pialang, Kompas/21/1/2007).
Sungguh pun demikian, semestinya bangsa kita harus memaafkan kesalahan-kesalahan Pak Harto. Mengingat jasa dan perjuangannya sangat besar bagi kemajuan bangsa. Namun memaafkan kesalahannya, bukan berarti mengihlaskan pelbagai tindak korupsi yang telah dilakukan. Melainkan memaafkan atas nama kemanusiaan, sekaligus memproses kasus hukumnya atas nama kemanusiaan pula. Itulah sikap barangkali yang lebih bijak yang dapat kita lakukan. Bukankah bangsa yang bijak adalah bangsa yang mengenal balas budi?

* Penulis adalah mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

“Hypertext" dan Minat Baca Anak

“Hypertext" dan Minat Baca Anak
Oleh : Mukodi, S. Pd.I*

Diposting di Koran Kedaulatan Rakyat

Tak dipungkiri, minat baca dikalangan anak-anak (para pelajar) dewasa ini sangatlah rendah, dibanding dengan anak-anak di negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini tercermin dari laporan hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards in Indonesia” yang meyimpulkan bahwa kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia paling rendah dibandingkan dengan anak-anak di Asia Tenggara. Temuan-temuan semacam ini harus segera dicarikan solusi, jika tidak bisa menjadi bumerang dikemudian hari. Mengingat anak-anak adalah generasi masa depan sekaligus aset yang paling berharga.
Sebagai seorang pendidik, kita harus merasa prihatin dan berduka dengan hasil penelitian tersebut. Terlebih akhir-akhir ini prestasi akademik peserta didik bangsa ini sedang mengalami keterpurukan dan keterbelakangan ditingkat internasional. Sehingga perlu diupayakan adanya problem salving yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan minat baca pada anak dipelbagai lembaga pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah. Peningkatan minat baca ini hendaknya bisa menjadi bagian dari kebijakan sekolah. Dan bukan hanya menjadi tanggung jawab dari guru bahasa semata, melainkan tanggung jawab dari semua guru, khususnya institusi sekolah.
Terkait hal itu, setidaknya ada beberapa kebijakan (policy) yang dapat diambil sekolah untuk membangun minat baca anak-anak di sekolah diantaranya sebagai berikut:
Pertama, untuk membangkitkan minat baca dikalangan anak sejak dini, maka sekolah harus berani mengeluarkan kebijakan yang harus ditaati oleh peserta didik. Misalnya, syarat untuk bisa mengikuti ujian semester, atau ulangan harian peserta didik harus menyelesaikan bacaan dengan tema tertentu. Perlu diingat, untuk merangsang minat baca guru bisa menugaskan anak-anak untuk membaca teks-teks yang berbentuk hypertext (teks yang ada gambar visualnya). Seperti komik-komik, cerita bergambar dan lain sejenisnya. Dengan begitu, tugas membaca menjadi sesuatu yang mengasikkan dan menyenangkan bagi anak-anak.
Kedua, meningkatkan minat dunia tulis-menulis dikalangan anak dengan menggunakan pelbagai media yang ada. Sekolah dalam hal ini bisa memaksimalkan mading sebagai media transformasi ide dan gagasan anak. Mading ini hendaknya dikelola secara serius oleh sekolah dengan melibatkan peran aktif peserta didik. Dengan demikian, minat baca akan menjadi bagian yang tak perpisahkan dari kehidupan peserta didik, sebab dunia tulis-menulis memerlukan bahan, dan bahan yang paling efektif adalah dengan membaca.
Ketiga, membangun iklim budaya baca yang kondusif dan menyenangkan. Terwujudnya sekolah yang kondusif dan menyenangkan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan ini. Sehingga sekolah dalam hal ini, perlu menata tata ruang kelas, tempat perpustakan dan tata letak lainnya secara rapi, asri, indah, nyaman dan elegan. Dengan kondisi penampilan sekolah yang sedemikian rupa, diharapkan dapat memacu terwujudnya budaya baca di lingkungan sekolah dengan segera.
Dengan ketiga kebijakan (policy) sekolah tersebut, niscaya terwujudnya minat baca di lingkungan sekolah bukan lagi sebuah impian, melainkan sebuah kenyataan yang segera terwujud. Menuju bangsa yang bermartabat, berdaulat dan berkemakmuran baik ditaraf nasional maupun internasional.[]

* Penulis adalah praktisi pendidikan, studi lanjut di Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Fenomena Gengster di Sekolah

Fenomena Gengster di Sekolah
Oleh: Mukodi, S. PdI*


"Fenomena gengster belakangan ini, harus dijadikan sebagai wahana introspeksi bagi lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anaknya."
Fenomena gengster dikalangan anak-anak muda belakangan ini menuai kegelisahan bagi para orang tua, tak terkecuali para pendidik di sekolah. Bagaimana tidak, beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan pemberitaan media massa yang menunjukkan tindakan anarkis anak-anak muda yang tergambung dalam geng motor. Mereka menghajar sembilan remaja yang sedang melihat pemandangan di kota Bandung dari atas jalan layang, hingga babak belur (2/9/2007). Belum lagi hal itu hilang dari ingatan, selang beberapa hari sesudahnya, pihak kepolisian Indonesia berhasil meliput gambar proses perekrutan anggota baru geng motor di kota Bandung.
Alhasil, sungguh diluar perkiraan sebelumnya, ternyata proses perekrutan calon genster baru ini syarat dengan nilai-nilai kekerasan dan menjurus pada tindakan premanisme. Parahnya lagi, kebanyakan anggotanya masih berstatus sebagai pelajar disejumlah sekolah. Mencermati realitas ini, sebagai warga negara yang peduli dengan pendidikan tentunya kita merasa prihatin atas tingkah pola generasi muda ini. Bahkan pelbagai pertanyaan pun akan segera mengemuka dibenak kita, mengapa gengster seolah menjadi trend bagi para pelajar dewasa ini? Apakah tidak ada pilihan yang lebih bijak untuk mengisi masa-masa muda, ketimbang bergabung menjadi anggota gengster? Lantas dimanakah peranan sekolah dalam membimbing peserta didiknya?
Pertanyaan semacam ini menjadi kelaziman di tengah derasnya pemberitaan media massa atas tindakan oknom ''pelajar'' yang berbuat ''ulah''. Sehingga tak sedikit pihak sekolah terkesan sangat "reaksionis" terhadap prilaku para pelajar tersebut. Sekolah yang mendapati siswanya menjadi anggota gengster pun mengambil tindakan, mulai dari pemberian sanksi ringan bahkan sanksi terberat berupa ''pemecatan'' peserta didik dari sekolah tersebut. Namun perlu diingat, keprihatinan dan kekecewaan para pendidik, tidak selayaknya harus menghukum peserta didik dengan cara-cara ''pemecatan'' dari sekolah. Sebab hukuman ini kurang begitu mendidik dan bisa menjadi preseden buruk terhadap perkembangan psikologi seorang anak.
Pembinaan Berkelanjutan
Menurut hemat penulis, pembinaan dan pendampingan secara berkelanjutan bisa dijadikan pilihan bijak oleh pihak sekolah untuk memperbaiki tingkah laku oknum pelajar yang ''nakal''. Pembinaan dan pendampingan ini pun hendaknya melibatkan peran serta orang tua siswa dan masyarakat sekitar. Sinerginitas ketiga komponen ini, yang dalam bahasa Ki Hajar Dewantara disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan harus bisa dioptimalkan. Sehingga para pelajar nantinya dapat dibimbing dan diarahkan di jalur-jalur yang benar, sesuai dengan minat dan potensi yang dimilikinya.
Di sisi yang sama, pihak sekolah pun harus lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didiknya. Terlebih di level SMP dan SMA, sekolah dalam hal ini seluruh stake holder-nya dituntut lebih inovatif, karena masa perkembangan peserta didik di masa-masa inilah tahap yang paling krusial dan menentukan. Bukan tidak mungkin, maraknya geng-geng motor/gengster sejenisnya dipelbagai daerah, akibat dari lemahnya responsibilitas sekolah dalam memenuhi kebutuhan peserta didiknya. Alih kata, minimnya aksesibilitas peserta didik dalam mengaktualisasikan diri di sekolahnya. Ketidakpuasan ini kemudian diekspresikan mereka dengan membentuk kelompok-kelompok/geng-geng, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Sehingga fenomena geng motor/gengster sejenisnya hendaknya bisa dijadikan wahana introspeksi bagi lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anaknya. Sebab hakikat mewaspadai gejala gengster berarti melakukan proses pendidikan secara optimal dan berkelanjutan. Bukankah anak adalah amanah yang harus dilindungi dan diperhatikan hak-haknya? Akhirnya, semoga kita selaku manusia yang lebih dewasa mampu menjadi pendidik yang benar-benar mendidik. Tidakkah anak-anak adalah aset bangsa yang harus dijaga, dirawat, dididik dan ditempatkan sebagai pribadi yang harus dipenuhi hak-hak dan kebutuhannya?

* Penulis adalah pemerhati pendidikan, sedang studi lanjut di S2 UIN Suka Yogyakarta

Bunuh Diri Pelajar dan Pendidikan

Bunuh Diri Pelajar dan Pendidikan
Oleh : Mukodi, S. PdI*


Layaknya jamur di musim hujan, kisah duka dunia pendidikan terus-menerus kembali berulang. NES (14 tahun), siswa kelas II SMP Muhammadiyah Playen, Gunung Kidul DIY nekat mencoba bunuh diri. Tindakannya dipicu perasaan malu lantaran yang bersangkutan belum melunasi biaya karyawisata yang diadakan pihak sekolah ke Cilacap Jawa Tengah. Meski NES akhirnya bisa tertolong dan menyesali perbuatannya, namun ia memilih akan keluar dari sekolah lantaran masih diliputi rasa malu (KR, 25 Mei 2007).
Kisah bunuh diri juga pernah dilakukan oleh seorang siswa hanya karena seragam pramukanya basah dan ia takut masuk sekolah. Sebelumnya juga pernah ada kisah bunuh diri yang dilakukan oleh anak di Jawa barat. Saat itu anak yang bernama H malu dan tertekan karena tidak mampu membanyar uang ekstra kulikuler yang besarnya tak lebih dari Rp.5000. Jiwa H memang bisa diselamatkan namun ia pun tak bisa kembali lagi normal seperti sediakala (KR, 29 Mei 2007).
Tak terbantahkan, pelbagai kasus bunuh diri para pelajar tersebut di atas, merupakan PR terberat dunia pendidikan kita. Sebagai seorang pendidik, tentunya kita harus prihatin dan berduka dengan fenomena tersebut. Terlebih akhir-akhir ini banyak pelajar yang gampang melakukan percobaan bunuh diri. Bahkan “menganggap” bunuh diri sebagai bagian dari solusi. Padahal, perbuatan bunuh diri tak pernah diajarkan di bangkau-bangkau sekolah. Mencermati kasus ini, tentunya diperlukan soslusi secepatnya, -- jika tidak-- akan menjadi preseden buruk di kemudian hari. Khususnya bagi dunia pendidikan.
Terkait hal itu, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah sebagai usaha preventif, mencegah tindakan bunuh diri para pelajar dan sifat jelek sejenisnya. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, pendidikan agama di sekolah harus diperkuat. Mengapa harus diperkuat? Sebab dampak terburuk dari perkembangan media elektronik, media massa, telekomunikasi dan TV, acapkali menghadirkan tayangan-tayangan kekerasan secara fulgar. Seperti kasus mutilasi, pembunuhan berencana, percobaan bunuh diri, perampokan dan tindak kriminal lainnya. Dan parahnya, anak-anak di usia sekolah tak sedikit yang mengosumsi acara-acara tersebut. Sehingga di saat mereka mendapati masalah, baik problem keluarga maupun sekolah mereka pun menjadikan tontonan kekerasan tersebut sebagai tuntunan. Al-hasil, percobaan bunuh diri pun dilakukan oleh sejumlah pelajar. Maka penguatan basis keilmuan agama menjadi sangat penting dilakukan di sekolah. Jika perlu, di sekolah-sekolah diadakan les-les tambahan pelajaran agama agar tingkat keimanan dan keagamaan para pelajar menjadi meningkat.
Kedua, para pendidik (guru) harus lebih bijak dalam menyampaikan keputusan-keputusan sekolah terkait dengan urusan keuangan. Misalnya, soal penarikan SPP, uang seragam, uang ekstra kulikuler dan lainnya. Pemilihan bahasa yang bersahaja, penuh kearifan merupakan pilihan bijak bagi pemegang otoritas (guru dan sekolah) dalam memberi penjelasan kepada anak. Terutama dalam memberi informasi mengenai batas akhir pembayaran uang sekolah. Sebab dalam “kamus anak”, hanya dikenal dengan satu istilah, --“yang penting harus ada”-- orang tua harus memenuhi semua kebutuan yang dibutuhkannya. Apalagi yang meminta adalah guru, orang yang sangat ditaati dan dihormati oleh si anak.
Ketiga, harus diciptakan hubungan yang dialogis antara guru dan anak didik baik dalam proses belajar-mengajar di sekolah, maupun di luar sekolah. Hal ini menjadi penting, karena terkadang anak didik mempunyai pelbagai persoalan yang harus dipecahkan tetapi tidak tahu kepada siapa ia harus mengadu. Dengan demikian, guru harus mampu menjadi figur yang bisa diajak curhat/berkomunikasi disaat anak butuh berkeluh kesah. Tentunya orang tua anak didik pun harus menjalankan tanggung jawabnya secara semestinya. Menjadi orang tua yang paham akan kebutuhan anak-anaknya.
Sungguh dengan terciptanya ketiga hal tersebut, diharapkan percobaan bunuh diri dikalangan pelajar tak akan terulang di masa mendatang. Bukankah tak ada satu institusi pun yang membolehkan perbuatan bunuh diri. Dan bukankah pendidikan yang baik adalah sebagai proses penyadaran dari ketidaktahuan menjadi tahu akan kebenaran. Semoga para pelajar kita senantiasa bisa berfikir rasional dan berada dalam jalur kebenaran.[]

* Penulis adalah Praktisi Pendidikan, studi lanjut di S2 UIN Su-Ka Yogyakarta

Buku dan Tradisi Baca

Buku dan Tradisi Baca
Oleh: Mukodi, S.Pd.I*

Buku adalah jendela dunia, dan membaca adalah modal awal untuk membuka cakrawala dunia.
Perkataan Tantowi Yahya di salah satu iklan televisi ada benarnya, bahwa “keterbelakangan sangat dekat dengan kebodohan, dan kebodohan identik dengan kemiskinan.” Ucapan itu, mengajak kita bagaimana melalui hari demi hari dengan gemar membaca. Agar kita dapat keluar dari jeratan kebodohan dan kemiskinan yang masih mengahantui.
Sungguh perkataan tersebut singkron dengan laporan hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards in Indonesia”. Dimana kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Hal ini merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri dan harus segera dicarikan solusinya. Pertanyaannya kemudian, tindakan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya baca masayarakat Indonesia?
Sebagai warga negara kita harus merasa prihatin dan berduka dengan hasil penelitian tersebut. Terlebih akhir-akhir ini prestasi akademik bangsa ini sedang mengalami keterpurukan dan keterbelakangan ditingkat internasional. Sehingga perlu diupayakan adanya problem solving yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satu solusinya adalah dengan membangun budaya baca bagi masyarakat Indonesia.
Budaya baca ini hendaknya bisa menjadi bagian dari solusi pemerintah. Dan bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah semata, melainkan tanggung jawab dari semua pihak. Sebab sudah menjadi rahasia umum, bahwa tugas pendidikan membaca biasanya hanya diplotkan/diserahkan kepada sekolah. Alhasil, minat baca dikalangan masayarakat pun sangat rendah dan jauh dari harapan. Oleh karena itu, untuk membangun budaya baca dikalangan masyarakat setidaknya ada beberapa kebijakan (policy) yang dapat diambil, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, pengadaan buku murah. Tak bisa dipungkiri bahwa mahalnya harga buku di negeri ini, merupakan salah satu penyebab rendahnya daya beli masyarakat terhadap buku. Buku di negeri ini lebih identik dengan “kaum terpelajar”, sedangkan masayarakat umum belum familiar dengan buku. Dengan demikian, langkah konkret pemerintah dalam membangun budaya baca adalah dengan mengadakan buku murah. Misalnya dengan melaksanakan bazar buku di berbagai daerah, baik di perguruan-perguruan tinggi maupun di sekolah-sekolah setempat.
Kedua, menghadirkan perpustakaan. Keberadaan perpustakaan merupakan keniscayaan dalam mengakrabkan buku ke masyarakat. Selama ini, keberadaan perpustakaan di daerah-daerah terpencil masih “langka”, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Untuk mensiasati hal ini, pemerintah perlu membangun perpustakaan di setiap desa,--paling tidak--dalam satu kecamatan terdapat satu perpustakaan. Selain itu, pemerintah bisa mengupayakan perpustakaan keliling. Melalui mobil-mobil dinas perpustakaan terkait. Mengingat kesadaran membaca di lingkungan masayarakat pedesaan sangat rendah.
Tidak hanya di lingkungan masayarakat, budaya baca pun perlu disosialisasikan sejak dini di lingkungan sekolah. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab rendahnya budaya baca tidak hanya terjadi pada masyarakat umum akan tetapi juga merambah pada kaum terpelajar. Apalagi era globalisasi telah memanjakan generasi muda dengan pelbagai kemudahan elektronika. Tak urung HP, video game, play station pun menjadi pilihan empuk mereka. Ketimbang memilih berteman dengan buku-buku apalagi menyibukkan diri di perpustakan.
Untuk membangkitkan minat baca dikalangan anak sejak dini, maka sekolah harus berani mengeluarkan kebijakan yang harus ditaati oleh peserta didik. Misalnya, syarat untuk bisa mengikuti ujian semester, atau ulangan harian peserta didik harus menyelesaikan bacaan dengan tema tertentu, atau peserta didik diberi tugas meresensi karya sastra dan lain sebagainya.
Selain itu, langkah yang dilakukan adalah dengan meningkatkan minat dunia tulis-menulis dikalangan anak dengan menggunakan pelbagai media yang ada. Sekolah dalam hal ini bisa memaksimalkan mading sebagai media transformasi ide dan gagasan anak. Mading ini hendaknya dikelola secara serius oleh sekolah dengan melibatkan peran peserta didik. Dengan demikian, budaya baca akan menjadi bagian yang tak perpisahkan dari kehidupan peserta didik, sebab dunia tulis-menulis memerlukan bahan, dan bahan yang paling efektif adalah dengan membaca.
Di sisi yang sama, perlunya membangun iklim budaya baca yang kondusif dan menyenangkan di lingkungan sekolah. Terwujudnya sekolah yang kondusif dan menyenangkan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan ini. Sehingga sekolah dalam hal ini, perlu menata tata ruang kelas, tempat perpustakan dan tata letak lainnya secara rapi, asri, indah, nyaman dan elegan. Dengan kondisi penampilan sekolah yang sedemikian rupa, diharapkan dapat memacu terwujudnya budaya baca di lingkungan sekolah dengan segera.
Dengan pelbagai kebijakan (policy) tersebut, niscaya terwujudnya budaya baca bukan lagi sebuah impian, melainkan sebuah kenyataan yang segera terwujud. Menuju bangsa yang bermartabat, berdaulat dan berkemakmuran baik ditaraf nasional maupun internasional.[]

*Penulis adalah Mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta