Minggu, 10 Februari 2008

Dua Stanza Yang Hilang, Mungkinkah Dinyanyikan?


Dua Stanza Yang Hilang, Mungkinkah Dinyanyikan?
Oleh: Mukodi*

Seiring dengan gegap gempitanya masyarakat dalam menyambut momentum HUT kemerdekaan RI ke-62. Baru-baru ini, bangsa kita dikejutkan dengan temuan ilmiah-historis tentang dua stanza lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dokumen asli lagu kebangsaan Indonesia Raya yang selama ini dianggap sudah final akhirnya terkuak di Server Leiden, Belanda oleh KRMT Suryo Notodiprojo, Heru Nugroho dan tim Air Putih.
Dalam dokumen tersebut, lagu Indonesia Raya berisi tiga stanza. Sementara lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan selama ini, hanya satu stanza, yaitu stanza pertama. Sedangkan dua stanza lainnya tak pernah dinyanyikan, dan tak diketahui rimbanya. Kini sekian lama bangsa kita merdeka, tiba-tiba di bulan kemenangan ini rakyat Indonesia mendapat kado istimewa berupa penemuan dua stanza lagu kebangsaan.
Bermacam-macam reaksi masyarakat pun bermunculan, ada yang bereaksi biasa-biasa saja, cuek bebek. Ada pula yang menyatakan baru tahu bahwa lagu kebangsaan kita itu sedemikian panjang, indah bahkan syahdu penuh makna. Sementara ada yang mengaku pernah tahu, namun tidak perlu diperdebatkan karena tidak yakin akan mengubah nasib bangsa yang terus menerus terpuruk. Bahkan sekelas Wakil Presiden pun, saat diwawancarai di sebuah stasiun televisi nampak bereaksi 'dingin-dingin' saja.
Konon lagu Indonesia tiga stanza ini sudah jauh-jauh hari dipersiapkan oleh pengarangnya, Wage Rudolf Soepratman untuk persiapan kemerdekaan. Namun entah mengapa WR Soepratman di Kongres Pemuda I, pada 28 Oktober 1928 akhirnya hanya memperdengarkan dan memainkan stanza lagu pertama saja dari lagu Indonesia Raya. Tak heran, jika bayak pakar berspekulasi kenapa dulu WR Soepratman tak menyanyikan ketiga stanzanya secara bersamaan. Terlepas dari perdebatan tersebut, yang terpenting bagi bangsa Indonesia saat ini, bagaimana kita semua bisa merenungkan dan melaksanakan amanat ketiga stanza lagu Indionesia Raya.

Tiga Stanza Dinyanyikan
Sekali lagi, perlu dingat bahwa esensi sebuah lagu kebangsaan adalah pengamalan dan pelaksanaan atas pesan syairnya, bukan panjang pendeknya sebuah lagu. Jika dicermati, ternyata lirik lagu Indonesia Raya dari stanza satu sampai stanza tiga itu bukan sekedar rekaan-rekaan sajak agar enak didengar, melainkan mengandung alur filosofis yang berkesinambungan. Kita tidak tahu secara pasti kenapa hingga sekarang hanya stanza satu yang dinyanyikan oleh bangsa Indonesia. Lalu, posisi stanza dua dan tiga yang disinyalir mempunyai nilai-nilai religius yang lebih tinggi dibanding stanza satu di kemanakan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tentunya perlu kita renungkan bersama. Coba perhatikan dengan cermat, stanza-stanza berikut:
Stanza I: Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku / Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku / Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku / Marilah kita berseru, Indonesia bersatu // Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku / bangsaku, rakyatku, semuanya / Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya / Untuk Indonesia Raya // Ref: Indonesia Raya / Merdeka, merdeka / Tanahku, negeriku yang kucinta // Indonesia raya, merdeka, merdeka / Hiduplah Indonesia raya // Indonesia raya, merdeka, merdeka / tanahku negeriku yang kucinta // Indonesia raya, merdeka, merdeka / hiduplah Indonesia raya.
Stanza II: Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya / Disanalah aku berada, untuk slama-lamanya / Indonesia tanah pusaka / pusaka kita semuanya / Marilah kita mendo'a, Indonesia bahagia // Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya rakyatnya semuanya / sadarlah hatinya, sadarlah budinya untuk Indonesia Raya // Reff…
Stanza III: Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti / Disanalah aku berdiri jaga ibu sejati / Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi / Marilah kita berjanji Indonesia abadi // Slamatkan rakyatnya, slamatkan putranya / pulaunya, lautnya semuanya / Majulah negerinya, majulah pandunya / untuk Indonesia raya // Reff…
Bila direnungkan dalam stanza satu, (satu-satunya stanza yang biasa kita nyanyikan) di baris ke-4, liriknya berbunyi: ''Marilah kita berseru, Indonesia bersatu''. Lalu baris ke-6 ''Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya''. Ini dapat diartikan bahwa stanza satu itu mencerminkan bahwa kita sedang membentuk sebuah bangsa. Kita berseru agar bangkit dan bersatu.
Jika baris ke-4 dan ke-6 dari stanza satu itu ditarik sejajar ke stanza dua, liriknya tidak lagi berbunyi ''berseru'', melainkan (baris ke-4): ''Marilah kita mendo'a, Indonesia bahagia''. Inilah cermin bahwa kita juga memiliki landasan moral etik. Manusia hanya berusaha, Tuhanlah yang maha menentukan segalanya, mudah-mudahan doĆ” itu terkabul. Oleh karena itu, baris ke-6 berbunyi, ''sadarlah hatinya, sadarlah budinya''.
Setelah kita berhasil membentuk sebuah bangsa, dan kemudian berdoa, maka mulailah kita bersikap realistis. Ini tercermin dalam stanza tiga di baris ke-4, baitya tidak lagi ''berseru'' dan ''mendoa'', melainkan ''marilah kita berjanji, Indonesia abadi''. Agar dapat melaksanakan janji tersebut, maka dalam baris ke-5 bunyi liriknya: ''Slamatkan tanahnya, slamatkan rakyatnya, pulaunya, lautnya, semuanya''. Baris ke-6 ''Majulah negerinya, majulah pandunya, untuk Indonesia raya''. Pandu adalah petunjuk jalan, artinya kepemimpinan.
Jadi, dalam strata tiga itulah terkandung amanat perjuangan kemerdekaan ''menyelamatkan semuanya''. Rakyatnya, tanahnya (yang di dalamnya tentu saja terkandung hutan, tambang, sungai, air, dan lain sebagainya), pulaunya, lautnya, semuanya harus diselamatkan. Kalau stanza ini direnungkan secara seksama oleh para pandu bangsa, maka lepasnya Timor-timur, Pulau Sipadan dan Ligitan, kasus Ambalat, illegal logging, penambangan liar, korupsi dan lain sebagainya tidak akan terjadi di bumi pertiwi.
Sayangnya, kita tidak pernah menyanyikan stanza II dan III, maka barang kali kita memang tidak merasa berjanji untuk menyelamatkan semua itu. Yang terjadi kemudian adalah "Babatlah hutannya / kuraslah minyaknya / tambangnya, lautnya semuanya // Tipulah rakyatnya / ambillah uangnya / untuk para penguasa.'' Akhirnya, dari hari ke hari bangsa kita mengalami keterpurukan dan keterbelakangan.
Agaknya kita harus dengan segera menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan tiga stanza sekaligus, sehingga kita dapat memetik maknanya untuk mengemban amanat ibu pertiwi tercinta. Sungguh dihari kemerdekaan ini adalah saat yang tepat untuk melaksanakan amanah tersebut, demi untuk mewariskan Indonesia yang lebih baik kepada anak cucu kita.
Terakhir, dalam hening ku berdoa, Tuhan….! teduhkanlah bumiku yang kian memanas, segarkanlah udaraku yang semakin kotor berdebu, hijaukanlah hutanku yang semakin tak berpohon, alirkanlah hutanku yang semakin tak berair, Tuhan pun lalu berbisik, seraya menjawab: “Damaikanlah hatimu, bumi pun kan lestari” Semoga bangsa kita selalu jaya, menuju bangsa yang berdaulat adil, dan makmur. Merdeka!!!

*Mukodi adalah mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: