Minggu, 10 Februari 2008

Banjir Derita Anak-Anak


Banjir Derita Anak-Anak
Oleh: Mukodi, S. PdI*

Dewasa ini bencana banjir seakan datang silih berganti, menyapa dan menghampiri di pelbagai pelosok negeri. Derita, duka dan lara akibat bencana banjir pun tak terhindarkan lagi. Mulai dari kerugian materiil, ekonomi, sosial, waktu dan lain sejenisnya. Barangkali kalau dipetakan, mungkin anak-anaklah korban yang paling rentan terhadap bencana banjir. Sebab sudah terlalu sering kita mendengar anak-anak menjadi korban, akibat terseret arus, atau semisalnya. Pertanyaannya kemudian, sejauhmana tanggung jawab para orang tua/orang dewasa dalam melindungi anak-anaknya? Sejauhmana pula peran sekolah memberikan sosialisasi akan bahaya banjir?
Pertanyaan semacam ini menjadi kelaziman, ditengah pelbagai kasus kematian anak akibat bencana banjir. Padahal, UU No. 23/2002 tentang perlindungan anak pasal 20 mengamanatkan, bahwa "negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pelindungan anak." Namun realitas berkata lain, anak-anak tetap menjadi korban dari ketidak-berdayaan mereka. Ketidak-berdayaan ini pun disinyalir akibat kegagalan para orang tua dalam melindungi anak-anak dari pelbagai marabahaya. Sehingga diperlukan adanya komitmen bersama untuk melindungi anak-anak dari segala ancaman, tak terkecuali ancaman banjir.
Kesadaran Kolektif
Komitmen untuk melindungi anak, berarti kerelaan orang dewasa untuk sementara menanggalkan egonya, sembari mendahulukan kepentingan anak-anak jika bahaya banjir datang menyapa. Hal semacam ini perlu dilakukan karena anak-anak tidak mempunyai pemahaman yang cukup atas suatu bahaya. Bagi sebagian besar mereka, lingkungan sekitar adalah tempat bermain. Bahkan datangnya banjir ke rumah mereka, dianggapnya sebagai wahana baru untuk bermain. Sayangnya, sampai sekarang para orang tua/orang dewasa "kurang tanggap" dalam memberikan pengarahan dan perlindungan kepada anak-anak akan bahaya banjir. Al-hasil, setiap ada banjir di sana pula, ada pemberitaan meninggalnya sejumlah anak akibat terseret arus banjir. Tewasnya seorang anak yang terseret arus di Jakarta beberapa hari yang lalu pun menambah catatan panjang kasus kematian anak akibat bencana banjir.
Sungguh jatuhnya korban akibat banjir yang menimpa sejumlah anak semestinya tak perlu terjadi. Jika para orang tua/orang dewasa mau memberikan pemahaman, sekaligus menjaga anak-anaknya dari bahaya banjir. Sosialisasi sejak dini akan bahaya banjir merupakan sebuah keniscayaan yang harus diajarkan oleh para orang tua. Mengingat banjir di negeri ini seakan sudah menjadi langganan, jika tidak dikatakan sebagai "tradisi" di setiap musim penghujan. Tentunya sosialisasi bahaya banjir kepada anak-anak, diharapkan bisa meminimalisir jatuhnya korban dikalangan anak-anak dimasa-masa mendatang.
Di sisi yang sama, institusi lembaga pendidikan hendaknya memberikan pemahaman yang lebih sistematis dan akademik terhadap bahaya banjir. Setidaknya pemahaman dasar, apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan anak-anak jika banjir tiba. Kompetensi semacam ini mungkin bisa dimasukkan di pelajaran muatan lokal sekolah (Mulok). Bahkan kalau dirasa perlu, sekolah pun dapat merancang pelajaran berbasis bencana. Mata pelajaran ini bisa di masukkan di Mulok sekolah/di ekstra kulikurer sekolah (ekskul). Kalau tidak dimungkinkan terealisir, paling tidak hidden curiculum (kurikulum bayangan/tersembunyi) sekolah semestinya ada muatan pelajaran berbasis bencana.
Sehingga simulasi dan latihan terhadap bahaya banjir dan bahaya-bahaya lainnya diperlukan eksistensinya di sekolah. Setidaknya untuk melatih kecakapan anak dalam mengambil tindakan yang tepat pada saat situasi darurat. Pelbagai simulasi dan latihan ini, disinyalir bisa mengasah kecakapan reflektif anak, minimal tahu tindakan apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan, jika banjir datang. Di samping itu, para guru pun bisa menjelaskan penyebab datangnya bencana banjir, dan bahaya ikutan pasca banjir. Dengan demikian, sekolah benar-benar menjadi pusat transformasi pengetahuan yang efektif. Sebab tak dipungkiri, teman dan tempat terdekat bermain anak adalah sekolah.
Paradoksal memang, ditengah hiruk-pikuknya negara memperjuangkan hak asasi anak, malah tak sedikit anak-anak kita yang meregang nyama terseret air bah. Akhirnya, marilah kita selamatkan anak-anak kita dari pelbagai marabahaya. Menumbuhkan kesadaran kolektif untuk menyelamatkan anak-anak pun bisa menjadi pilihan bijak. Bukankah anak-anak kita adalah amanah yang harus dilindungi dan diperhatikan hak-haknya? Dengan begitu, barulah anak-anak kita bisa berkata "Aku Bangga Menjadi Anak Indonesia" Semoga kita semua bisa menjaganya. []

* Penulis adalah Praktisi Pendidikan Tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar: