Minggu, 10 Februari 2008

Nasib Guru Honorer dan PP 48

Nasib Guru Honorer dan PP 48
Oleh: Mukodi, S.Pd.I*
Dilansir dari Koran Kedaulatan Rakyat

Bergulirnya kebijakan pemerintah atas PP. No. 48 Tahun 2005 terkait dengan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS oleh sebagian pihak menjadi persoalan. Pro kontra berlakunya PP tersebut pun akhir-akhir ini banyak didiskusikan. Bagi sebagian kalangan, berlakunya PP tersebut merupakan suatu kewajaran sekaligus sebuah keniscayaan. Namun sebagian lainnya, menilai berlakunya PP tersebut merupkan sebuah ketidakberpihakan pemerintah terhadap tenaga honorer non APBN/APBD. Persoalannya kemudian, apakah pemerintah bisa bertindak bijak menyikapi hal ini? Mampukah pemerintah mengakomodir pelbagai kepentingan yang sedang bersitegang?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seakan menjadi kewajaran dan acapkali diperbincangkan banyak pakar, termasuk juga para guru. Apalagi munculnya pelbagai polemik terkait dengan berlakunya PP. No. 48 Tahun 2005 tersebut, haruslah disikapi dengan arif dan bijaksana oleh semua pihak. Terlebih oleh pemerintah yang memegang otoritas kebijakan (autority of policy). Sebab bagi sebagian besar para guru honorer, menjadi PNS merupakan mimpi terindah yang mereka idamkan-idamkan. Sehingga turunnya SK pengangkatan CPNS di tahun 2007 ini, dari guru honorer menjadi PNS merupakan sebuah berkah. Walau di lain pihak, menyisakan sedikit kegelisahan dari para guru honorer lainnya.
Sehingga untuk mengakomodir kegelisahan para guru honorer non APBN/APBD, yakni guru honorer yang digaji oleh yayasan pendidikan atau sekolah swasta. Maka pemerintah perlu membuat kebijakan baru atau aturan-aturan yang lebih akomodatif bagi keberadaan guru honorer tersebut. Misalnya, pemerintah merivisi definisi guru honorer yang terdapat pada PP. No. 48 Tahun 2005 pasal 1 yang berbunyi: Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Disesuaikan dengan bahasa yang lebih operasional, terutama berdasar pada kepentingan semua pihak. Diskursus mengenai definisi guru honorer yang berkembang saat ini pada hakikatnya sangat rasional. Sebab dari definisi itu ada sekian ribu guru honorer yang tidak dapat masuk dalam kreteria tersebut.
Di sisi lainnya, pengangkatan guru honorer menjadi PNS juga harus memperhatikan kualitas pendidikan itu sendiri. Sebab berdasarkan catatan Human Development Index (HDI: 2005), bahwa 50% guru di Indonesia tidak memiliki kualitas yang standar. Fakta ini menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar. Dari data statistik HDI terdapat 60% guru SD, 40% SLTP, SMA 43%, SMK 34% dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu, 17,2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Untuk itu, pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS pun seharusnya tetap meperhatikan kualitas pendidikan. Dengan kata lain, guru honorer yang diangkat harus benar-benar memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi dan sehat jasmani rohani sebagaimana harapan.
Akhirnya, semoga dengan adanya pengertian dari pelbagai pihak. Proses pengangkatan guru honorer menjadi PNS di tahun ini bisa menjadi bagian dari proses peningkatan kualitas pendidikan. Sehingga keberadaan para guru yang berstatus PNS nantinya benar-benar menjadi pencerahan bagi kualitas anak didik di sekolah masing-masing.[]

* Penulis adalah praktisi pendidikan, studi lanjut di Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: