Minggu, 10 Februari 2008

Ketika Penculikan Anak Menjadi Trend

Ketika Penculikan Anak Menjadi Trend
Oleh: Mukodi*
Diposting dari Koran Banjarmasin Post

Negeri kita kini kian tak aman lagi bagi anak-anak. Bayangkan saja sejak Juni hingga pertengahan Agustus ini telah terjadi 14 kasus penculikan. Itu kasus yang baru terungkap di depan publik. Bisa jadi, karena alasan keamanan, banyak masyarakat yang menyimpan berita buruk itu. Artinya, kasus sesungguhnya bisa lebih banyak lagi (Baca: Media).
Angka penculikan yang tinggi itu membuktikan betapa anak-anak memang rentan menjadi sasaran kejahatan. Korbannya bisa menimpa anak dari keluarga mana saja: tentara, polisi, pengusaha, dan orang biasa. Penculikan juga bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Yang sering memudahkan kejahatan itu berlangsung, biasanya para penculik telah mengenal keluarga korban. Hubungan seperti itulah yang justru menjadi 'modal' bagi para penculik untuk beraksi.
Dipertegas oleh kriminolog UI, Adrianus Meliala bahwa tren di Indonesia penculikan anak masih berkisar pada orang-orang yang mengenal korban dan merasa sakit hati pada korban atau keluarga. ''Artinya bukan penculik profesional,'' jelasnya. Setelah terungkap, pelaku penculikan biasanya teman, rekan usaha, mantan tukang kebun, atau pembantu rumah tangga yang sakit hati. ''Trennya masih diwarnai rasa balas dendam.''
Motif penculikan memang bermacam-macam. Ada motif uang dengan meminta tebusan atau untuk diperdagangkan. Namun, ada pula yang bermotif dendam dan persaingan bisnis. Apa pun motifnya semuanya bisa berimplikasi serius pada aspek kejiwaan anak. Itu karena para pelaku tak segan-segan melakukan kekerasan fisik.
Kasus yang menimpa Raisah Ali, siswi Taman Kanak-Kanak Al-Ikhsan Jakarta Timur beberapa minggu yang lalu adalah salah-satu kasus dari sederet kasus penculikan anak. Bocah berusia lima tahun anak pasangan Ali Said dan Nizmah Mucksin Thalib itu diculik, Rabu (15/8), ketika bersama pembantunya tengah pulang dari sekolah. Untungnya, Raisah Ali segera ditemukan dan pelakunya pun berhasil dibekuk oleh polisi, karena kesigapan mereka dalam menangani kasus ini. Namun bagaimana dengan nasib anak-anak korban penculikan lainnya? Mengapa penanganannya terkesan lamban? Bukankah mereka butuh diselamatkan dengan segera? Penculikan Raisah dan beberapa bocah yang marak akhir-akhir ini seolah menagasikan bahwa penculikan anak sekarang menjadi ''trend'' dari modus kejahatan.
Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Seto Mulyadi, beberapa kasus penculikan anak tidak bisa dilepaskan dari lemahnya perhatian sekolah dalam memberikan perlindungan. ''Penculikan atau kekerasan anak itu sejatinya terjadi karena adanya pembiaran,'' ujar Seto di Jakarta, Selasa (21/8).
Simulasi Penculikan Anak Di Sekolah
Untuk itu, simulasi bagaimana modus penculikan anak menjadi penting diketahui. Tugas memberikan simulasi itu, menurut Seto yang akrab dipanggil Kak Seto, tidak mutlak menjadi beban sekolah. Aparat penegak hukum, orang tua, dan masyarakat luas punya proporsi peran yang sama. ''Tapi, kalau dilakukan di sekolah, simulasi itu lebih efektif dan mudah dilakukan.''
Mensimulasikan proses penculikan anak, menurutnya, berguna untuk menumbuhkan pemahaman anak-anak melindungi dirinya. Melalui simulasi, mereka diberi informasi pola atau modus penculikan. Diharapkan, jika menemui kasus serupa, mereka punya kesadaran untuk menghindar. Di beberapa negara, memberikan simulasi penculikan anak sudah masuk kurikulum sekolah. Bahkan di Jepang, masyarakatnya sangat aktif memahamkan tindakan yang harus ditempuh anak bila menemukan gejala yang mengarah penculikan.
Di sisi yang sama, para orang tua pun hendaknya harus lebih preventif dalam menjaga, dan melindungi anak-anaknya. Sehingga mereka perlu mengajari anak-anaknya kompetensi dasar. Misalnya mengenal data keluarga, seperti: nama orang tua, alamat tempat tinggal, keluarga dekat, kerabat, tetangga, dan teman-temannya. Bahkan di era telekomunikasi ini anak-anak pun harus dididik untuk mengingat nomor telephon rumah dan nomor sejenisnya yang bisa mereka gunakan jika terjadi sesuatu yang menimpanya.
Terakhir, apa pun motifnya penculikan anak/kekerasan terhadap anak sesungguhnya adalah tindakan kriminal. Negara, orang tua, pendidik, dan masyarakat hendaknya melindungi anak-anak. Sebab masa depan bangsa dua sampai tiga puluh tahun yang akan datang akan sangat tergantung pada kualitas anak-anak yang kini berusia 0-18 tahun. Untuk tumbuh menjadi generasi yang berkualitas, anak-anak meniscayakan perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya, kesehatan serta kesejahteraannya, dengan tanpa diskriminasi. Dengan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Hal itulah yang menjadi salah satu pertimbangan disahkannya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Perlu diingat, bahwa anak-anak adalah aset bangsa yang paling berharga. Semoga kita semua mampu menjaganya.[].

*Penulis adalah pemerhati pendidikan, aktif dikajian diskusi IKMP UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar: