Minggu, 10 Februari 2008

Aksesibilitas Pendidikan Kaum Difabel


Aksesibilitas Pendidikan Kaum Difabel
Oleh: Mukodi, S. PdI*
Diposting dari Koran Kaltim

Setiap orang berpeluang menjadi cacat (difabel). Tak disangkal, tingginya tingkat kecelakaan akhir-akhir ini seperti kecelakaan transportasi lalu lintas, gempa bumi, ledakan bom, tawuran antar etnis, maupun kerusuhan-kerusuhan lainnya memungkinkan petaka cacat menyapa setiap orang. Belum lagi kecacatan yang disebabkan oleh faktor bawaan sejak lahir ataupun karena penyakit tertentu, disamping ada pula beberapa orang yang menjadi cacat akibat malapraktik dokter.
Sungguh tak ada seorang pun yang mampu menghindari kecelakaan atau penyakit tertentu yang berujung pada kecacatan. Atau tak seorang pun yang bercita-cita dilahirkan menjadi cacat. Sehingga kecacatan seseorang bukanlah kehendaknya, melainkan kenyataan yang tak dapat ditolak. Bukankah seharusnya pemahaman semacam ini menjadi kesadaran dari kemanusiaan seseorang? Agar setiap orang menjadi lebih bijak dan arif dalam memandang realitas di sekitarnya.
Menurut data estimasi dari World Health Organisation (WHO) menyebutkan sekitar 20 juta rakyat Indonesia atau 10% dari seluruh penduduk Indonesia adalah penyandang cacat. Dari jumlah itu, baru 6% dari penyandang cacat itu yang tersentuh pendidikan. Sementara menurut data Indonesian Society for Special Needs Education (ISSE)--lembaga yang fokus memperhatikan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia, sekira 2,6 juta lebih anak berkebutuhan khusus (special needs) usia sekolah di Indonesia.
Sedangkan menurut data Direktorat Pendidikan Luar Biasa, ada 1,3 juta anak difabel usia sekolah di Indonesia. Dari jumlah tersebut, yang masuk ke sekolah khusus hanya mencapai sekira 48 ribu orang. Artinya, ada lebih dari 98% anak berkebutuhan khusus masuk dalam pendidikan nonformal, tetapi jumlahnya diperkirakan tidak lebih dari 2 persen dari 98% tersebut.
Jumlah peyandang cacat tersebut memang relatif lebih kecil, dibanding jumlah penduduk Indonesia yang normal. Namun sekecil apa pun jumlahnya, mereka tetaplah warga negara yang mempunyai kesamaan aksesibilitas yang harus diperjuangkan dan dipenuhi hak-haknya.
Sebenarnya, mengenai penyediaan aksesibilitas sudah diatur dalam Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat; Bab 1 Pasal 1 Ayat 4 berbunyi, "aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan". Sayangnya realitas berbicara lain?
Aksesibilitas Pendidikan
Aksi unjuk rasa yang dilakukan kaum difabel beberapa waktu yang lalu, yang mendesak pemerintah agar melaksanakan Undang No 4 tahun 1997 merupakan keniscayaan. Dalam aksinya, mereka menuntut aksesibilitas di bidang pendidikan, kesamaan dalam berpolitik dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Relitas menyedihkan tersebut, merupakan bukti betapa kaum difabel masih tersisihkan.
Padahal Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menjelaskan dalam pasal 31 ayat 1, bahwa: "Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.'' Diperjelas, UU No. 20 tahun 2003 pasal 5, bahwa: ''Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus."
Berdasar perundang-undangan tersebut, semestinya para peyandang cacat dipenuhi dan dijamin hak-haknya sebagai warga negara lainnya. Bukan malah menjadi ''sampah'' kebijakan yang tak memihak. Menyikapi hal itu, setidaknya ada dua alternatif solusi bisa diterapkan. Khususnya untuk mengakomudir kepentingan kaum difabel dalam mengakses pendidikan di Perguruan Tinggi.
Pertama, pemerintah harus menunjuk beberapa Perguruan Tinggi yang dinilai representatif untuk menyelenggarakan pendidikan khusus bagi para difabel. Kongkritnya pemerintah merekomendasikan agar PTN/PTS yang ditunjuk untuk membuka Fakultas Khusus (FK) bagi para difabel. Kebijakan semacam ini menjadi sangat urgen, ditengah tingginya persaingan ujian masuk PTN. Persaingan yang tak berimbang antara calon mahasiswa baru yang ''normal'' (mempunyai kelengkapan fisik) dengan calan mahasiwa baru yang berasal dari kalangan difabel.
Persaingan keduanya jelaslah diskriminatif. Di satu pihak, calon mahasiswa baru ''normal'' dengan segala kelebihan fisiknya akan memiliki peluang lebih besar. Di lain pihak, calon mahasiswa baru ''difabel'' dengan segala keterbatasan tentunya akan memperkecil peluangnya untuk bisa lolos di PTN. Apalagi adanya pelbagai kebijakan PTN/PTS yang mempersyaratkan calon mahasiswanya harus sehat jasmani dan rohani, tidak menderita ketunaan fisik dan psikis semakin memupus mimpi kaum difabel untuk bisa menikmati bangkau perkulihan.
Kedua, pemerintah harus membangun Perguruan Tinggi Khusus (PTK), alias Perguruan Tinggi Luar Biasanya (PTLB). Mengingat animo para penyandang cacat untuk mengakses pendidikan dijenjang PT demikian besar. Perwujudan PTLB ini diharapkan bisa searah dengan berdiri SLB-SLB yang telah lama berdiri. Tak dipungkiri, berdirinya PTLB ini mengandung efek negatif, terkesan diskriminatif, mengkotak-kotak antara mahasiswa normal dengan mahasiswa difabel.
Namun perlu dipahami, semangat berdirinya PTLB ini bukanlah untuk mempertebal dinding perbedaan, melainkan menumbuhkan sikap kepedulian dan kesehajaan antar sesama. Dengan begitu, kaum difabel pun bisa mendapat pelbagai kemudahan dalam menempuh jenjang dilevel PTN/PTS. Sehingga mereka bisa merajut mimpi-mimpinya, ikut serta berpartisipasi membangun bangsa dan negara tercinta.
Sudah saatnya bangsa kita peduli terhadap penyandang cacat yang selalu tertindas dan tersisih oleh kebijakan. Bukankah penyandang cacat pun juga bagian dari aset bangsa yang harus diperhatikan dan diberdayakan? Kalau tidak dimulai dari sekarang kapan lagi?

*Mukodi, adalah esais, Pegiat Aksara Jepara

Tidak ada komentar: