Minggu, 10 Februari 2008

Adakah Secercah Harapan di Hari Aksara?

Adakah Secercah Harapan di Hari Aksara?
Oleh: Mukodi, S.Pd.I*

Dilansir dari Banjarmasin Post
Paradoksal memang di tengah peringatan hari aksara ke-42 ini bangsa kita masih diselimuti sekian persoalan yang belum tuntas. Keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan adalah sekian persoalan yang acapkali mengemuka di bumi ini. Tanggal 8 September 2007 merupakan momentum terbaik bagi kita untuk melakukan refleksi dan eksplorasi atas kegagalan-kegagalan yang pernah kita alami. Adakah secercah harapan yang kita gantungkan dari peringatan hari aksara di tahun ini? Mungkinkah bangsa ini bisa bangkit dan berbenah dari keterpurukan dan kebodohan? Sanggupkah kita berperang melawan buta huruf yang kian hari kian menjadi duri?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini seolah menjadi suatu kewajaran, mengingat buta huruf adalah "musuh paling berbahaya" yang harus kita hadapi. Mengapa demikian? Sebab untuk memberantas buta huruf tidak hanya cukup menggandalkan kekuatan, melainkan butuh stategi, komitmen dan tanggung jawab dari semua pihak.
Coba bayangkan, betapa bangsa kita akhir-akhir ini sering dianggap ''sebelah mata'' oleh bangsa lain bahkan terkesan dilecehkan harga kebangsaannya. Mulai dari kasus penganiayaan TKI di Malaysia, Arab Saudi dan di Timur Tengah lainnya, pemukulan ketua wasit karate Indonesia di Malaysia, pembangunan perumahan vila di pulau-pulau terluar, bahkan sampai pengklaiman batas teroterial wilayah kelautan. Ini semua merupakan realitas yang harus disikapi oleh bangsa kita, kalau tidak bisa menjadi preseden buruk dikemudian hari.
Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) disinyalir menjadi salah satu faktor mengapa bangsa kita masih diremehkan oleh bangsa lain. Bila dirutut lebih lanjut, rendahnya SDM sesungguhnya berpangkal pada keterbelakangan intelektual yang kita miliki. Sebab sampai saat ini angka buta di negeri ini jumlahnya cukup fantastis sekitar 14,6 juta jiwa yang buta aksara (baca. Media).
Di Jakarta saja misalnya pada tahun 2006 tingkat buta huruf mencapai 11.000 orang. Jumlah itu semakin bertambah dengan angka putus sekolah di pendidikan dasar yang mencapai 23.000 orang. Fakta ini sungguh ironis dan sangat memprihatinkan, karena Jakarta adalah Ibu Kota negara yang menjadi barometer peradaban dan kemajuan daerah. Bila digeneralisir, di Jakarta saja tingkat buta huruf begitu besar apalagi di kota-kota kecil dan daerah-daerah pedalaman lainnya?
Sehingga tak heran jika HDI (Human Development Index) masih menempatkan Indonesia diurutan bawah. Dibandingkan dengan negara seperti Malaysia kita masih kalah, bahkan negara kecil seperti Brunei mampu mengungguli bangsa kita yang terkenal dengan kekeyaan alamnya. Dengan demikian, sungguh panjang dan berat jalan yang akan kita tempuh untuk menuju angka HDI yang bagus.
Diperparah lagi, krisis moneter yang merambah pada krisis multi-dimensi kemasyarakatan membuat bangsa ini kian terpuruk di mata internasional. Terlebih semakin pudarnya budaya gotong-royong di wilayah akar rumput (grass root) dan hilangnya semangat ekonomi kerakyatan.
Tanggung Jawab Bersama
Melek huruf merupakan dasar pengetahuan bagi manusia, dengan membaca manusia dapat meningkatkan kualitas dirinya, yang berujung pada tingginya intelektualitas seseorang. Dengan membaca manusia dapat meningkatkan kualitas dirinya, yang berujung pada tingginya intelektualitas seseorang.
Terlebih saat ini manusia telah memasuki era informasi atau “informational society” meminjam istilahnya Alvin Toffler. Di mana fenomena globalisasi yang terjadi saat ini mengalami akselerasi yang begitu cepat, sebagai dampak dari penerapan Hi-tech society (masyarakat berteknologi tinggi), yang menyebabkan manusia tergiring pada pola interaksi yang sangat cepat.
Kondisi yang demikian menuntut terciptanya individu-individu yang tidak hanya mampu beradaptasi, akan tetapi juga dapat berperan penting di dalamnya. Untuk itu, dihari aksara internasional ini semestinya kita harus sadar bahwa pemberantasan buta huruf merupakan tanggung jawab bersama. Dalam hal ini pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, dan masyarakat harus mempunyai kemauan untuk keluar dari lingkaran buta huruf yang menyengsarakan.
Solusi prioritas pemberantasan buta huruf bagi masyarakat Indonesia saat ini sesungguhnya bukan hanya sekedar wacana, melainkan kemauan semua pihak untuk berubah. Di sinilah letak urgensitas sebuah negara, yang harus mengajak masyarakatnya agar mau bekerja-sama, bahu-membahu, saling-menyadarkan satu sama lain guna mempercepat upaya pemberantasan buta huruf.
Oleh karena itu, kebijakan wajib belajar sembilan tahun harus dibugarkan kembali. Artinya, kebijakan tersebut mutlak dilaksanakan secara merata, tanpa terkecuali dan penuh tanggung jawab. Dengan begitu, angka buta huruf pun bisa diminimalisir dengan segera.
Akhirnya, maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh sejauhmana rakyatnya terbebaskan dari buta huruf, menuju masyarakat yang melek baca. Sungguh pun demuikian, perlu disadari hanya dengan tingginya kualitas sumber daya manusialah bangsa ini bisa bermartabat dan sejajar dengan bangsa maju lainnya. Semoga ada secercah harapan dihari aksara ini, amin. Wallahu'alam.
*Penulis adalah pemerhati pendidikan, aktif di IKMP Membidangi Kajian Diskusi UIN Sunan Kalijaga

Tidak ada komentar: