Minggu, 10 Februari 2008

Bunuh Diri Pelajar dan Pendidikan

Bunuh Diri Pelajar dan Pendidikan
Oleh : Mukodi, S. PdI*


Layaknya jamur di musim hujan, kisah duka dunia pendidikan terus-menerus kembali berulang. NES (14 tahun), siswa kelas II SMP Muhammadiyah Playen, Gunung Kidul DIY nekat mencoba bunuh diri. Tindakannya dipicu perasaan malu lantaran yang bersangkutan belum melunasi biaya karyawisata yang diadakan pihak sekolah ke Cilacap Jawa Tengah. Meski NES akhirnya bisa tertolong dan menyesali perbuatannya, namun ia memilih akan keluar dari sekolah lantaran masih diliputi rasa malu (KR, 25 Mei 2007).
Kisah bunuh diri juga pernah dilakukan oleh seorang siswa hanya karena seragam pramukanya basah dan ia takut masuk sekolah. Sebelumnya juga pernah ada kisah bunuh diri yang dilakukan oleh anak di Jawa barat. Saat itu anak yang bernama H malu dan tertekan karena tidak mampu membanyar uang ekstra kulikuler yang besarnya tak lebih dari Rp.5000. Jiwa H memang bisa diselamatkan namun ia pun tak bisa kembali lagi normal seperti sediakala (KR, 29 Mei 2007).
Tak terbantahkan, pelbagai kasus bunuh diri para pelajar tersebut di atas, merupakan PR terberat dunia pendidikan kita. Sebagai seorang pendidik, tentunya kita harus prihatin dan berduka dengan fenomena tersebut. Terlebih akhir-akhir ini banyak pelajar yang gampang melakukan percobaan bunuh diri. Bahkan “menganggap” bunuh diri sebagai bagian dari solusi. Padahal, perbuatan bunuh diri tak pernah diajarkan di bangkau-bangkau sekolah. Mencermati kasus ini, tentunya diperlukan soslusi secepatnya, -- jika tidak-- akan menjadi preseden buruk di kemudian hari. Khususnya bagi dunia pendidikan.
Terkait hal itu, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah sebagai usaha preventif, mencegah tindakan bunuh diri para pelajar dan sifat jelek sejenisnya. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, pendidikan agama di sekolah harus diperkuat. Mengapa harus diperkuat? Sebab dampak terburuk dari perkembangan media elektronik, media massa, telekomunikasi dan TV, acapkali menghadirkan tayangan-tayangan kekerasan secara fulgar. Seperti kasus mutilasi, pembunuhan berencana, percobaan bunuh diri, perampokan dan tindak kriminal lainnya. Dan parahnya, anak-anak di usia sekolah tak sedikit yang mengosumsi acara-acara tersebut. Sehingga di saat mereka mendapati masalah, baik problem keluarga maupun sekolah mereka pun menjadikan tontonan kekerasan tersebut sebagai tuntunan. Al-hasil, percobaan bunuh diri pun dilakukan oleh sejumlah pelajar. Maka penguatan basis keilmuan agama menjadi sangat penting dilakukan di sekolah. Jika perlu, di sekolah-sekolah diadakan les-les tambahan pelajaran agama agar tingkat keimanan dan keagamaan para pelajar menjadi meningkat.
Kedua, para pendidik (guru) harus lebih bijak dalam menyampaikan keputusan-keputusan sekolah terkait dengan urusan keuangan. Misalnya, soal penarikan SPP, uang seragam, uang ekstra kulikuler dan lainnya. Pemilihan bahasa yang bersahaja, penuh kearifan merupakan pilihan bijak bagi pemegang otoritas (guru dan sekolah) dalam memberi penjelasan kepada anak. Terutama dalam memberi informasi mengenai batas akhir pembayaran uang sekolah. Sebab dalam “kamus anak”, hanya dikenal dengan satu istilah, --“yang penting harus ada”-- orang tua harus memenuhi semua kebutuan yang dibutuhkannya. Apalagi yang meminta adalah guru, orang yang sangat ditaati dan dihormati oleh si anak.
Ketiga, harus diciptakan hubungan yang dialogis antara guru dan anak didik baik dalam proses belajar-mengajar di sekolah, maupun di luar sekolah. Hal ini menjadi penting, karena terkadang anak didik mempunyai pelbagai persoalan yang harus dipecahkan tetapi tidak tahu kepada siapa ia harus mengadu. Dengan demikian, guru harus mampu menjadi figur yang bisa diajak curhat/berkomunikasi disaat anak butuh berkeluh kesah. Tentunya orang tua anak didik pun harus menjalankan tanggung jawabnya secara semestinya. Menjadi orang tua yang paham akan kebutuhan anak-anaknya.
Sungguh dengan terciptanya ketiga hal tersebut, diharapkan percobaan bunuh diri dikalangan pelajar tak akan terulang di masa mendatang. Bukankah tak ada satu institusi pun yang membolehkan perbuatan bunuh diri. Dan bukankah pendidikan yang baik adalah sebagai proses penyadaran dari ketidaktahuan menjadi tahu akan kebenaran. Semoga para pelajar kita senantiasa bisa berfikir rasional dan berada dalam jalur kebenaran.[]

* Penulis adalah Praktisi Pendidikan, studi lanjut di S2 UIN Su-Ka Yogyakarta

Tidak ada komentar: