Senin, 28 September 2009

Mudik, Meretas Kearifan Kultural

Mudik, Meretas Kearifan Kultural
Oleh: Mukodi, M.S.I*

Diposting dari Kabar Indonesia Online.com.

Bulan puasa identik dengan bulannya para pemudik. Para perantau dimana pun ia berada, berhasrat untuk mudik. Tak ayal, tradisi mudik lebaran bak ritual magis. Beragam orang, mulai dari elit politik, pengusaha, birokrat sampai pekerja kasar di rantau berburu mudik.
Di indonesia, tradisi mudik lebaran sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Boleh dibilang, sudah menjadi warisan para leluhur. Tak aneh, jika lebaran terasa hambar, andai mudik tak dilakukan.
Imbasnya, para memudik tak berfikir panjang. Walau mudik umumnya harus mengeluarkan ongkos super ekstra, akibat melonjaknya biaya transportasi. Tapi, mereka tetap tak peduli. Mudik harus dijalankan, bagaimana pun caranya.
Di area inilah, mudik lebaran kerap dimanfaatkan oleh oknum-okum makelar tiket. Para calo ini pun menaikkan tiket transportasi berlipat-lipat. Padahal, diprediksikan tahun 2009 akan terjadi lonjakan pemudik besar-besaran. Kenaikannya akan mencapai 16,25 juta orang, dari sebelumnya hanya 15,3 juta orang di 2008 (Detikcom, 24/8/2009). Dapat dibayangkan, pundi-pundi makelar pun akan melimpah ruah.
Anehnya, walau keberadaan mereka terlarang. Tapi dari tahun ke tahun, praktek makelar tiket kian tumbuh subur. Kalau sudah begini, pemudiklah pihak yang paling dirugikan. Ironinya, tak semua pemudik membawa bekal yang lebih. Disinilah semestinya aparat berwenang harus bertindak tegas, agar praktek mafia tiket menjadi jera.
Tradisi Islam
Kata mudik sejatinya berasal dari kata "udik." Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sungai di sebelah atas (arah dekat sumber) atau (daerah) di hulu sungai. Kata itu mengandung makna positif, yaitu bagian atas sungai atau bagian kepala sungai yang dekat sumber mata air, sehingga jernih dan belum terkena polusi.
Namun, ada makna kedua dalam KBBI, yaitu desa, dusun, kampung (lawan dari kota). Kesan yang berkembang di masyarakat cenderung ke arah konotasi negatif, karena "orang udik" atau orang "dusun" sering dikaitkan dengan kebodohan dan kurang tahu sopan santun.
Dalam pandangan Islam, istilah mudik mengacu pada makna idul fitri. Idul fitri berarti kembali suci, atau lebaran dari dosa. Maka istilah idul fitri lebih populer disebut, hari raya lebaran. Hari kemenangan yang dilaksanakan selepas menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Selain takbiran dan salat 'id, dalam lebaran ada tradisi halal bi halal, nyadran (ziarah ke kubur), dan mudik.
Seiring pergeseran makna, maka waktu lebaran pun tak hanya pada 1 dan 2 Syawal saja, tetapi sepanjang bulan. Bahkan bisa berlangsung sampai dibulan berikutnya. Dalam waktu yang relatif panjang itulah umat Islam di Indonesia berlebaran; berhalal bi halal atau bersilatur-rahmi ke tetangga, sanak-famili, dan handai-tolan sambil saling meminta /memberi maaf, serta melaksanakan ziarah ke kuburan para leluhur dan anggota keluarga yang sudah lebih dahulu menghadap Tuhannya.
Orang-orang kota yang berasal dari udik, tentu saja merasa tidak afdal jika kegiatan halal bi halal dan nyadran itu hanya dilakukan di kota, karena sebagian besar sanak-keluarga dan kuburan leluhurnya ada di udik. Mudik menjadi satu keharusan dan menjadi bagian dari tradisi lebaran di negeri ini. Suatu tradisi yang cukup unik, hanya menjadi milik umat Muslim Indonesia.
Kearifan Budaya
Tentu banyak alasan, mengapa orang mudik lebaran. Alasan yang paling lazim, seperti yang banyak terdengar dari orang-orang yang mudik, adalah untuk berhalal bi halal dan nyadran di kampung halaman. Dari perspektif teologis, jelas bahwa kedua tradisi ini memiliki dasar doktrinal yang jelas dalam Islam. Halal bi halal dalam arti bersilaturahmi untuk saling meminta/ memberi maaf adalah bagian dari akhlak Islam.
Halal bi halal merupakan satu upaya untuk mengeliminir dosa-dosa antar sesama manusia. Di samping, sebagai media untuk memperkuat tali persaudaraan antar sesama muslim. Apalagi, terhadap orang-tua dan mereka yang masih memiliki hubungan darah di kampung.
Demikian juga kegiatan ziarah kubur, pada dasarnya adalah suatu kegiatan keagamaan yang dapat mengingatkan pada kematian (Baca, hadist nabi). Hal ini menjadi penting, mengingat dengan ritual ini kita dapat mempertebal keimanan. Terutama sebagai bekal menuju kematian. Lebih-lebih, bagi orang yang sedang bersuka-ria dalam berlebaran.
Di sisi lainnya, menurut Dr. Sunyoto Usman yang juga sosiolog dari UGM bahwa efek positif tradisi mudik akan dapat menjadi sebuah sistem ekonomi. Ada pergerakan ekonomi, yakni mengalirnya uang dari kota ke desa. Tentu ini merupakan suatu hal yang positif.
Namun, ada sedikit yang disayangkan, karena seringkali "polusi kota" ikut terbawa. Mereka membawa bukti keberhasilan hidup di kota yang penuh persaingan. Bukti itu tak lain adalah polusi pandangan serba material dan individual. Alhasil, spiritualitas pemudik terkikis, kebersahajaan terpupus, dan kesetiakawanan terkoyak.
Padahal, "mudik" mestinya harus dilandasi ghiroh untuk mereguk kembali semangat di udik. Yaitu, nilai-nilai tepa selira, guyup dan rukun dalam kebersamaan di desa. Tepatnya, menagasikan kearifan kultural orang-orang kampung. Inilah sejatinya buah terindah dari budaya mudik itu.
Idealnya, mudik dijadikan momentum yang tepat untuk menggalang solidaritas sosial. Terutama untuk memberdayakan masyarakat desa dari ketidakberdayaan. Baik secara ekonomi, sosial, dan keterbelakangan politik. Sehingga mudik tidak sekadar ritual simbolik tanpa makna, atau pamer kesuksesan di kota, melainkan menjadi mudik yang mensejahterakan. Inilah teologi mudik yang perlu dihayati, sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Dengan begitu, mudik pun menjadi berkah bagi sesama. Akhirnya, kedatangan para pemudik selalu dinanti-nanti masyarakat desa. Layaknya, mereka menanti tamu istemewa bulan puasa. Semoga para pemudik dapat melaksanakannya.[]

*Penulis adalah pemerhati sosial budaya, Kepala LPPM STKIP PGRI Pacitan.

Kamis, 17 September 2009

MODEL PEMBELAJARAN KELAS IMERSI: Studi Kasus Implementasi Manajemen di MA Hasyim Asy'ari Jepara

MODEL PEMBELAJARAN KELAS IMERSI
(Studi Kasus Implementasi Manajemen di MA Hasyim Asy'ari Jepara)
Oleh: Mukodi*

Diposting dari Jurnal Penelitian Pendidikan
STKIP PGRI Pacitan.

Abstrak
Perkembangan masyarakat global dewasa ini telah menciptakan berbagai perubahan, peluang dan tantangan yang kompleks. Dunia pendidikan merupakan satu, diantara sekian varian yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan itu. Baik dalam hal regulasi kebijakan, manajemen pendidikan, kurikulum, model pembelajaran, maupun materi pembelajaran.
Model pembelajaran kelas imersi adalah salah satu model terkini (up-to-date) di dunia pendidikan. Walau eksistensi dan efektifitasnya masih dipertanyakan oleh banyak pihak. Namun, stigma-stigma negatif tersebut, justru tidak selalu benar adanya. Hal ini dibuktikan MA. Hasyim Asy’ari Jepara yang berhasil mengelola kelas imersi sebagai model pembelajaran unggulan yang transformatif dan kontekstual.

Kata kunci: kelas imersi, manajemen pendidikan, model pembelajaran, efektivitas dan pemahaman peserta didik.

A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi sekarang ini untuk dapat berkembang dan bersaing di setiap aspek kehidupan tidak saja dibutuhkan keunggulan komparatif tetapi juga keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif merupakan nilai lebih yang harus ada (Assegaf, 2004: 21). Nilai ini bisa tercipta dari sumber daya manusia (SDM) yang memiliki pengetahuan dan keterampilan. Peningkatan kualitas SDM sangat tergantung pada kualitas pendidikan di suatu negara, semakin baik kualitas pendidikannya, maka akan semakin baik pula SDM yang dihasilkan (out-put).
Pada masa sekarang ini banyak negara maju yang secara gencar mempromosikan pelayanan pendidikan yang ditawarkan melalui lembaga-lembaga pendidikan mereka. Hal ini menimbulkan dampak antara lain meningkatkan jumlah siswa yang belajar ke luar negeri, dibukanya kelas jauh yang berafiliasi ke lembaga di negara maju tersebut, dan pembelajaran jarak jauh (distance learning) melalui media internet, dan sebagainya (Tim Diknas, 2004: 4).
Pada akhirnya, bila suatu negara tidak segera berbenah dan berusaha meningkatkan kualitas pendidikannya, maka sudah pasti mereka hanya akan menjadi "komoditi" bagi bangsa lain. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial di bidang pendidikan untuk negara maju. Dimungkinkan semakin banyak pelajar yang akan tertarik untuk belajar ke luar negeri di masa depan. Sangat disayangkan jika keadaan ini benar-benar terjadi. Negara tentu akan kehilangan banyak devisa. Di samping itu, ada kemungkinan terkikisnya rasa kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air bagi generasi muda yang belajar di luar negeri.
Sebelum hal di atas menjadi kenyataan, maka pendidikan di Indonesia sebagai kunci utama peningkatan SDM harus segera dibenahi. Mencetak SDM berkualitas dan berwawasan internasional haruslah menjadi tujuan utama pendidikan di Indonesia. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan penyelenggaraan kelas imersi. Kebijakan ini bisa menjadi jawaban bagi permasalahan utama untuk meningkatkan daya saing di dunia internasional. Kelas ini akan membekali para peserta didik dengan kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan dalam bahasa Inggris yang akan menjadi pintu gerbang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam konteks ini, MA H.A yang bernaung di bawah LP. Al-Ma'arif selangkah lebih maju dibanding madrasah-madrasah di Jepara lainnya. Konsep MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) dan otonomi pengelolaan sekolah yang diberikan secara luas oleh pemerintah ternyata mampu diterjemahkan MA H.A dengan baik. Sehingga MA H.A dengan pelbagai kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya, mampu menjadi salah satu sekolah unggulan di Kabupaten Jepara.
Persoalan selanjutnya, justru terletak pada bagaimana proses manajerial program imersi MA. H.A itu sendiri, sudahkah dikelola dengan baik dan benar?. Bagaimana pemahaman guru dan siswa tentang program imersi di MA Hasyim Asy'ari Jepara? Bagaimana kualitas implementasi manajemen program imersi? Sejauhmana efektifitas manajemen program imersi bagi siswa?

B. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode survai. Survai merupakan penelitian yang mengumpulkan informasi dari responden dengan menggunakan kuesioner. Umumnya, pengertian survai dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi (Singaribun, 1995: 3).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian deskriptif kuantitatif, dimana penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat untuk menemukan keterangan mengenai apa yang ingin diketahui (Margono, 2004: 105-106). Sedangkan keterangan untuk penelitian deskriptif dapat dikumpulkan dengan bantuan angket, wawancara, lembar observasi, dan dokumentasi. Pendekatan deskriptif ini mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran yang jelas dan akurat tentang material atau fenomena yang sedang diselidiki (Hajar, 1996: 274).
2. Populasi dan Responden
Menurut Sugiyono (2007: 117) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas; obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Tidak berbeda dengan Sugiyono, Ibnu Hajar pun kembali mempertegas bahwa populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (1996: 274). Dalam konteks ini, yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi Madrasah Aliyah Hasyim Asy'ari Jepara jurusan program imersi. Mulai dari kelas X, XI dan XII yang berjumlah 86, terdiri dari 26 siswa dan 60 siswi, serta para guru yang mengajar di kelas imersi yang berjumlah 18 orang, terdiri dari 7 guru perempuan dan 11 guru laki-laki. Sedangkan yang menjadi responden pada penelitian ini adalah keseluruhan dari populasi tersebut.
Pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil keseluruan populasi, mengingat jumlah masing-masing respondennya kurang dari seratus orang. Sedangkan pengambilan responden/informan untuk wawancara berbeda jumlahnya dengan responden yang dimintai untuk mengisi kuesioner, informan dalam penelitian ini sebanyak 30 orang diambil secara random sampling dan responden yang mengisi kuesioner sebanyak 86 dari siswa dan 18 orang dari guru.
3. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini akan mengunakan beberapa cara yaitu:
a. Observasi, yakni untuk mendapatkan data tentang madrasah/madrasah dan keadaan lingkungannya.
b. Dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain (Arikunto, 1993 : 149). Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang gambaran umum madrasah, jumlah siswa, jumlah guru, sarana dan prasarana dan kerangka konseptual program imersi.
c. Deep interview (wawancara mendalam) adalah teknik pengumpulan data dengan jalan pendekatan personal dengan responden atau informan penelitian. Sedangkan metode interview yang digunakan disini adalah interview terpimpin. Interview terpimpin adalah interview yang dilakukan oleh pewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci.
Metode interview ini digunakan untuk lebih mendalami pelbagai jawaban responden yang ada dalam kuesioner, sekaligus digunakan untuk menghimpun validitas jawaban-jawaban tersebut (Sugiono, 2007: 172).
d. Kuesioner atau angket adalah teknik pengumpulan data melalui formulir-formilir yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk mendapat jawaban atau tanggapan dan informasi yang diperlukan oleh peneliti (Mardalis, 1993: 89).
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup yang disusun berdasarkan skala likert, dimana skala likert merupakan pernyatan yang menunjukan tingkat kesetujuan atau ketidaksetujuan responden (Susanto dan Tjipto, 2001: 32). Responden diminta memberikan pendapat/jawaban dengan cara mengisi kuesioner yang disediakan dan memilih salah satu jawaban yang disediakan sesuai dengan petunjuk pengisian kuesioner/angket.
Metode kuesioner ini merupakan metode utama yang dipakai dalam proses penelitian. Tujuannya untuk mengungkap pemahaman guru dan siswa terhadap program imersi, kualitas implementasi manajemen program imersi dan efektifitas manajemen program imersi bagi siswa. Kuesioner tersebut, terbagi menjadi dua macam, yaitu kuesioner untuk guru dan siswa. Kuesioner untuk guru terdiri dari 31 item, dimana 31 butir ini terbagi menjadi empat variabel, meliputi perencanaan (8 item), pengorganisasian (8 item), pengarahan (7 item), dan pengawasan (8 item). Sedangkan kuesioner untuk siswa terdiri dari 32 item, dan juga terbagi menjadi empat variabel yang meliputi konteks (8 item), input (8 item), proses (8 item), dan produk (8 item).
4. Instrumen Penelitian
Pada dasarnya metode dan intrumen penelitian saling berkaitan antara yang satu dengan lainya. Jika, pengumpulan data menggunakan variasi metode seperti wawancara, angket, dokumentasi dan lain-lain, maka intrumen penelitian adalah pelengkapnya. Intrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik (Arikunto, 1993: 151). Adapun jenis intrumen penelitian ini menggunakan model check-list (Sugiono, 2007: 177).
Jawaban-jawaban dari check-list tersebut, nantinya dikuantitatifkan dengan pemberian skor, berupa sangat setuju (SS), setuju (S), kurang setuju (KS), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Kelima pilihan tersebut diberi bobot 5, 4, 3, 2, 1. Namun, sebelum dilakukan analisis data, maka akan dilakukan pengujian instrumen berupa; pengujian validitas dan reliabilitas. Validitas merupakan tingkat kemampuan suatu instrumen untuk mengungkapkan suatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tersebut (Hadi, 2000: 1).
Suatu instrumen dikatakan valid, jika instrumen ini mampu mengukur apa yang hendak diukurnya, mampu mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan. Sedangkan reliabilitas menunjukkan sejauhmana suatu instrumen dapat memberikan hasil pengukuran yang konsisten, apabila pengukuran dilakukan berulang-ulang (Sugiono, 2007: 74).
5. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data yang telah diperoleh dalam penelitian ini digunakan teknik deskriptif kuantitatif, dengan metode sebagai berikut:
a. Metode Deduktif
Metode ini digunakan untuk menyelesaikan masalah dan fakta yang bersifat khusus, lalu peristiwa-peristiwa itu digeneralisasikan (Hadi, 200: 1). Metode ini dipakai pada bab I dan II, yakni dengan mengumpulkan data-data tentang kerangka konseptual program imersi dan ruang lingkupnya yang masih berserakan sehingga membentuk sebuah sistem.
b. Metode Induktif
Metode ini digunakan untuk menganalisa masalah-masalah yang bersifat umum menuju kepada yang khusus (Hadi, 2000: 36). Metode ini dipakai dalam pembahasan tentang dan implementasi manajemen program imersi, yakni dengan mengemukakan bukti-bukti khusus terhadap pengertian yang umum kemudian dianalisis secara mendalam.
c. Metode Software SPSS
Metode ini digunakan untuk melengkapi analisis data diskriptif kuantitatif. Software SPSS yang penyusun gunakan adalah software SPSS (Statistical Product and Service Solutions) versi 12, berupa analisis deskriptif (frekuensi) prosentase sederhana. SPSS adalah komputer statistik yang mampu untuk memproses data statistik secara cepat dan tepat, untuk mencari berbagai output yang dikehendaki para pengambil keputusan (Santoso, 2001: 19), sehingga akan menunjukkan variabel mana yang paling banyak dijawab. Baik oleh para guru, maupun para siswa di MA. H.A Jepara.
Setelah data yang diperlukan terkumpul, maka untuk mengolah dan menganalisis data tersebut, digunakan analisis deskriptif dengan induktif dan deduktif, demikian juga akan digunakan pula analisis statistik dengan menggunakan rumus:
Keterangan :
P = Prosentase
f = Frekuensi
N = Jumlah responden keseluruhan (Sudiyono, 1987: 14).
6. Uji Validitas Intrumen
Penggunaan analisis validitas dalam penelitian dimaksudkan untuk menunjukan sejauhmana suatu alat pengukur (intrumen) itu mengukur apa yang mau diukur (Singaribun, 1989: 53). Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan 31 item pernyataan untuk guru dan 32 item pertanyaan untuk siswa terkait dengan implementasi manajemen program imersi dan karakteristik program imersi.
Validitas Instrumen menurut A. Parasuraman (1989: 47) dapat digolongkan dalam beberapa jenis, yakni: content validity (validtas isi), contsruct validity (validtas konstruk), dan predictive validity (validitas predeksi). Alat pengukur pada penelitian ini mengggunakan validitas konstruk. Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep. Menurut Sugiyono validitas konstruk merupakan instrumen yang berisi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan dengan teori-teori tertentu, dan selanjutnya dikonsultasikan dengan para ahli (Sugiyono, 2007: 177).
Selanjutnya, penyusun mengajukan pengujian validitas konstruk kisi-kisi instrumen penelitian ini kepada dua orang judment experts, yaitu Prof. Dr. Sutrisno dan Dr. Nizar Ali. Setelah pengujian konstruksi dari para ahli selesai, maka diteruskan dengan uji coba instrumen. Kemudian, data tersebut ditabulasikan dan diteruskan dengan pengujian validitas konstruksi melalui analisis faktor. Yaitu dengan cara mengkorelasikan jumlah skor faktor dengan skor total. Bila korelasi tiap faktor tersebut positif dan besarnya 0.3 ke atas, maka faktor tersebut merupakan konstruk yang kuat. Jadi berdasarkan analisis faktor itu, dapat disimpulkan bahwa instrumen tersebut memiliki validitas konstruksi yang baik (Sugiono, 2007: 178).
Kemudian, penyusun menggunakan beberapa langkah untuk menguji validitas data sebagaimana prosedur pengujian Djamaluddin Anclok dalam Masri Singarimbun dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur.
2. Melakukan uji coba skala pengukur (skala likert pada kuesioner) pada sejumlah responden. Disarankan agar jumlah responden uji coba adalah minimal 30 responden diambil secara acak.
3. Mempersiapkan tabel tabulasi jawaban.
4. Menghitung korelasi antara masing-masing pertanyaan dengan skor total dengan menggunakan rumus teknik korelasi product moment dari Peason dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
: koefisien korelasi antara X dan Y
N : banyak responden
X : butir yang akan dihitung validitasnya
Y : butir kriterium.

Tabel I. Interpretasi Nilai
Besarnya nilai r
Interpretasi
Antara 0,800 sampai dengan 1,000
Sangat Tinggi
Antara 0,600 sampai dengan 0,800
Tinggi
Antara 0,400 sampai dengan 0,600
Sedang
Antara 0,200 sampai dengan 0,400
Rendah
Antara 0,000 sampai dengan 0,200
Sangat rendah

Angka korelasi yang diperoleh harus dibandingkan dengan angka kritis tabel korelasi nilai – r. Bila jumlah responden untuk diuji coba adalah 30, maka derajat kebebasan (degree or freedom/ df) adalah 28 (N-2=30-2=28). Pada tabel korelasi nilai – r, untuk taraf signifikansi 5% angka kritis adalah 0.361 (Arikunto, 1993: 309). Berikut akan disajikan hasil uji validitas kuesioner guru setelah diolah dengan menggunakan bantuan SPSS versi 12.


C. Kerangka Teori
1. Manajemen Pendidikan
Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 3) manajemen pendidikan adalah alat-alat yang diperlukan dalam usaha mencapai tujuan. Pada dasarnya usur-unsur manajemen dalam pendidikan tidak jauh berbeda dengan manajemen pada umumnya. Manajemen pendidikan merupakan penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam bidang pendidikan. Bahkan manajemen pendidikan menunjuk kepada pengaturan dan pengelolaan.
Sedangkan menurut Basori Mukti (1992: 10) manajemen pendidikan merupakan proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pemantauan dan penilaian. Perencanaan sendiri meliputi kegiatan menetapkan kegiatan apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapainya, berapa lama, berpa jumlahnya orang yang harus terlibat, dan lain sebagainya. Pengertian pengorganisasian dalam bidang pendidikan adalah sebuah kegiatan membagi tugas kepada sesame orang yang terlibat dalam kerjasama organisasi pendidikan .
Di sisi yang sama, Imam Soepardi (1998: 112) mendifinisikan bahwa manajemen pendidikan adalah pengelolaan kegiatan pendidikan dengan memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada secara efesien dan efektif untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan lebih dahulu. Tidak jauh berbeda dengan hal itu, Made Pidarta memberikan pengertian manajemen pendidikan sebagai aktifitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya (1986: 4).
Jadi, dapat ditarik konklusi bahwa manajemen pendidikan adalah penerapan konsep-konsep manajemen kedalam bidang pendidikan. Jadi manajemen pendidikan akan berarti, semua akan berhasil lancar melalui usaha-usaha bersama orang lain. Tentu saja usaha-usaha itu didasarkan atas rencana yang disusun, dananya dirinci, atau sudah tersedia, tenaga dipilih atau disiapkan, pelaksana telah terdidik atau terlatih, pengawasan harus berfungsi dengan baik dan akhirnya dilakukan evaluasi sejauhmana rencana dapat diwujudkan.
2. Teori Implementasi
Keberhasilan implementasi suatu program akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Berikut ini akan dijelaskan beberapa teori implementasi kebijakan/program, di antaranya:
a. Teori George C. Edwards III (1980)
Dalam pandangan Edwards III, suatu implementasi dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: 1) komunikasi, 2) sumberdaya, 3) disposisi, dan 4) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain (Subarsono, 2006: 90). Untuk lebih jelasnya lihat gambar berikut:
Komunikasi

Sumberdaya
Implementasi
Disposisi
Struktur Birokrasi

1) Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementator mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila sasaran dan tujuan kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
2) Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementator, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijkan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.
3) Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki implementator, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementator memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
4) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak.
b. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999)
Menurut David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999), setidaknya ada tiga kelompok variabel besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, yakni: 1) logika kebijakan. Logika ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat dukungan teoritis; 2) lingkungan tempat kebijakan dioperasikan. Yang dimaksud lingkungan ini adalah lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam, dan fisik atau geografis, dan 3) kemampuan implementor kebijakan. Maksudnya, keberhasilan suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan keterampilan dari implementor kebijakan (Subarso, 2006: 90).

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Kelas Imersi
Istilah imersi diambil dari bahasa Inggris 'to immerse' yang berarti mencelupkan, menyerap atau melibatkan secara mendalam. Dalam pembelajaran bahasa asing, muncul istilah kelas imersi, yang artinya adalah pembelajaran satu atau beberapa mata pelajaran dengan menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar. Maka muncullah istilah kelas imersi bahasa Inggris, kelas imersi bahasa Jepang, kelas imersi bahasa Cina dan sebagainya. Jadi, kelas imersi adalah kelas yang berbahasa pengantar selain bahasa Indonesia (berbahasa asing) yang diselenggarakan di tingkat SMP dan SMA.
Gagasan penyelenggaraan kelas imersi muncul dari rasa keprihatinan mendalam akan lemahnya kemampuan berbahasa Inggris para lulusan sekolah menengah. Kenyataan menunjukkan pembelajaran bahasa Inggris di SMP, SMA dan perguruan tinggi belum bisa memberikan jaminan kemampuan berbahasa Inggris yang baik dan benar bagi peserta didik. oleh karena itu, penyelenggaraan kelas imersi menjadi kebutuhan yang tidak mungkin ditunda lagi (Tim Diknas, 2004: 4).
Secara historis, program kelas imersi adalah salah satu program unggulan yang hanya ada di Propinsi Jawa Tengah. Ide atau gagasan pendirian kelas imersi terbesit ketika tim Pendidikan Jawa Tengah studi banding ke Park Ridge School di Queensland, Australia. Tim studi banding sangat terkesan melihat siswa Australia yang sedang belajar mata pelajaran dengan bahasa pengantar, yaitu bahasa Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, kelas imersi pun telah dibuka dipelbagai propinsi lainnya.
Berawal dari studi banding tersebut, lahirlah program imersi yang diprakarsai oleh Diknas Jawa Tengah. Jika di Queensland pengantarnya menggunakan bahasa Indonesia, di Jateng kelas imersinya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar untuk tujuh mata pelajaran. Program imersi ini telah berhasil diimplementasikan di berbagai negara, antara lain di Kanada, Singapura, Hongkong, Australia, Finlandia, dan Afrika Selatan dengan tujuan dan cara penerapan yang berbeda-beda. Di Indonesia, penerapan program imersi dapat ditemui di berbagai pondok pesantren yang menggunakan bahasa Arab sebagai media pembelajaran (Nurlina, 24 April 2007).
Sebagai sebuah kebijakan, program imersi ini kemudian ditawarkan ke sekolah-sekolah dibawah naugan Diknas dan Depag. MA H.A adalah salah satu sekolah dibawah naugan Depag yang mendapat kesempatan untuk bekerja sama dengan Diknas dalam mengembangkan program imersi. Kebijakan kerja sama semacam ini merupakan suatu kebijakan yang sangat luar biasa dalam khazanah madrasah yang bernaung dibawah Depag. Di samping, sebagai keberanian sekaligus terobosan yang jarang ditemukan di institusi pendidikan Islam. Mengingat sampai sekarang masih sedikit sekolah umum, maupun madrasah yang menyelenggarakan kelas imersi. Data yang terhimpun di Diknas Jateng menunjukkan bahwa sampai tahun 2004 hanya ada 24 sekolah di Jateng yang menyelenggarakan program imersi (Nurlina, 24 April 2007).
Kelas imersi yang diterapkan di MA. H.A adalah kelas imersi bahasa Inggris. Ini berarti kegiatan belajar mengajar di kelas imersi MA. H.A menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar. Sesuai dengan artinya “immerse” maka diharapkan para siswa terlarut atau mencelupkan dirinya dalam suasana berbahasa Inggris selama mengikuti pembelajaran dan bisa menerapkan dalam kehidupan sehari-hari di luar kelas sehingga bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama di Indonesia tidak asing lagi bagi para siswa.
a. Desain Kelas Imersi
1). Rancangan Kelas Imersi
Kelas imersi disesuaikan dengan kemampuan/karakteristik madrasah penyelenggara dan disesuaikan dengan kebijakan Dinas Pendidikan setempat. Namun, disyaratkan agar jumlah siswa pada tiap kelas maksimal 24 orang. Dengan jumlah yang kecil ini diharapkan guru dan siswa mempunyai banyak kesempatan untuk berinteraksi sehingga memungkinkan terjadinya pembelajaran yang efektif yang akan mempercepat perolehan (acquistion) bahasa asing.
2). Fasilitas Kelas
a). Memenuhi standar minimal fasilitas kelas reguler didukung oleh fasilitas pendukung program imersi yang memadai meliputi; kamus khusus, referensi yang sesuai, alat bantu ajar, dan sebagainya.
b). Kelas diatur agar mendukung terciptanya proses belajar mengajar (PBM) yang efektif dan efisien yang mengacu pada pada pendekatan yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).
b. Proses Belajar Mengajar Kelas Imersi
1).Kurikulum dan Pengembangannya
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang berpedoman pada Manajemen Berbasis Madrasah (MBS).
2).Metode Pembelajaran
Pada hakikatnya metode yang dipakai dalam proses pembelajaran kelas imersi menggunakan berbagai metode yang mengacu pada pendekatan yang aktif, kreatif dan menyenangkan (PAKEM).
3).Mata Pelajaran
Pada tahap awal, mata pelajaran kelas imersi yang disampaikan dalam bahasa Inggris, sebanyak 7 mata pelajaran, namun dalam pengembangan kedepan diperlukan penambahan mapel berbahasa Inggris, disesuaikan dengan kondisi sekolah penyelenggara kelas imersi. Adapun ketujuh mata pelajaran tersebut adalah sebagai berikut: matematika, fisika, kimia, biologi, geografi, sejarah dan ekonomi.
4).Waktu Belajar
Adapun waktu belajar sama pada dasarnya sama dengan waktu belajar madrasah kelas reguler, namun apabila diperlukan, madrasah dapat menambah jam pelajaran sesuai dengan kebutuhan.
5).Jadwal Pelajaran
Disesuaikan dengan kondisi madrasah terkait, namun disarankan agar tujuh mata pelajaran imersi di atas diajarkan pada jam-jam awal dimana kondisi para siswa masih segar, kelas imersi tetap mengikuti kalender pendidikan nasional.
6).Buku Pelajaran
Buku pelajaran untuk kelas imersi adalah buku teks yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, maupun buku-buku lain yang belum diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Untuk itu, madrasah/Dinas Pendidikan wajib menyediakan buku pegangan bagi guru.
7).Bahasa Pengantar
Bahasa pengantar dalam kelas imersi untuk ketujuh mata pelajaran tersebut adalah bahasa Inggris, sedangkan diluar tujuh mata pelajaran di maksud dapat menggunakan pengantar bahsa Inggris disesuaikan dengan kondisi madrasah.
c. Persyaratan Penyelenggaraan Kelas Imersi
1).Kreteria Sekolah
Madrasah yang menyelenggarakan kelas imersi setidaknya harus memiliki; guru yang berkualitas, siswa yang berkualitas, sarana dan prasarana yang memadai, dan mempunyai kemampuan baik dari anggaran (APBD I/II) atau sumber dana penunjang lainnya.
2).Kreteria Guru
Kreteria guru di kelas imersi berbeda dengan kelas-kelas pada umumnya, setidaknya ada enam kreteria yang harus dimiliki oleh guru, yaitu: Pertama, menguasai bahasa Inggris secara aktif, lisan dan tulisan, ditandai dengan skor TOEFL minimal 450. Kedua, menguasai dengan baik materi pelajaran, metode dan teknik pembelajaran. Ketiga, mempunyai komitmen tinggi terhadap pencapaian mutu pendidikan di Indonesia. Keempat, berusia maksimal 40 tahun. Kelima, sehat jasmani dan rohani. Keenam, mempunyai kepribadian yang baik.
3).Kreteria Siswa
Siswa yang masuk ke program imersi pada hakikatnya tidak berbeda jauh dengan kreteria siswa di kelas reguler pada umumnya. Adapun kreterianya, yaitu: Pertama, mempunyai minat dan motivasi yang baik untuk mengikuti pembelajaran dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Kedua, lulus tes penjaringan yang diadakan oleh madrasah penyelenggara. Ketiga, sehat jasmani dan rohani. Keempat, mempunyai kepribadian yang baik. Kelima, mendapat persetujuan dari orang tua/wali siswa.
d. Manajemen Kelas Imersi
1). Perencanaan
Perencanaan yang dibutuhkan meliputi: persiapan dan kelayakan SDM, SDM yang terlibat dalam kelas imersi adalah siswa, guru, karyawan, wakil kepala madrasah dan kepala madrasah dan madrasah penyelenggara program imersi harus mengadakan persiapan berupa rapat-rapat pendahuluan untuk menentukan unsur-unsur SDM tersebut.
2). Administrasi
Administrasi kelas imersi sama dengan kelas reguler lainnya, hanya saja madrasah penyelenggara disarankan agar administrasi kelas imersi, misalnya daftar hadir dan satuan pelajaran ditulis dalam bahasa Inggris.
3). Struktur Organisasi
Struktur organisasi tim imersi berada di bawah struktur organisasi madrasah. Sedangkan struktur organisasi kelas imersi berada di bawah struktur kepala madrasah, yang merupakan ketua tim imersi.
4). Perekrutan Guru
Perekrutan guru kelas imersi diutamakan berasal dari madrasah penyelenggara, namun jika diperlukan, madrasah penyelenggara dapat merekrut guru dari luar madrasah yang bersangkutan.
5). Seleksi Penerimaan Siswa
Calon siswa kelas imersi berasal dari berbagai wilayah di kabupaten/kota tempat madrasah penyelenggara. Sehingga para siswa diseleksi oleh madrasah penyelenggara, demikian juga dengan kreteria seleksi ditentukan oleh madrasah yang bersangkutan.
e. Pengelolaan Kelas Imersi
1). Pembentukan Tim Imersi
Adapun mekanisme pembentukan adalah sebagai berikut, yaitu: Pertama, madrasah penyelenggara membentuk tim imersi sebagai pelaksana kegiatan kelas imersi. Kedua, kepala madrasah bersama dewan guru dan komite madrasah membentuk dan mengangkat tim imersi. Ketiga, tugas tim imersi meliputi; menyusun program imersi (kurikulum, silabi, sistem pengujian, srana prasarana, pendanaan, dll); melaksanakan sosialisasi ke dalam dan keluar madrasah; menentukan dan memilih calon siswa kelas imersi; menyiapkan bahan ajar; membangun kerjasama dengan lembaga lain pada tingkat lokal, regional, nasional atau internasional; mengevaluasi program imersi dan mencari solusi masalah yang dihadapi; menyusun laporan kegiatan program imersi.
2). Koordinasi Tim Imersi
Adapun koordinasi tim imersi dilaksanakan secara vertikal dan horisontal. Koordinasi vertikal dilaksanaka oleh kepala madrasah atau wakilnya dengan kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi. Koordinasi horisontal dilaksanakan oleh wakil kepala madrasah untuk urusan sarana dan prasarana, humas, kesiswaan, komite madrasah MGMP, perguruan tinggi, pemerintah daerah/instansi terkait dan stakeholder.
3). Kegiatan Kelas
Pada dasarnya kegiatan kelas imersi mempunyai dua aturan yang harus dijalankan, yaitu: Pertama, kegiatan tambahan berupa pembelajaran dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia dapat dilaksanakan untuk semua mata pelajaran imersi. Kedua, evaluasi hasil belajar siswa di kelas dan pelaporannya ditulis dalam bahasa Inggris. Buku rapor tetap ditulis dalam bahasa Indonesia.
f. Pelaksanaan Kegiatan
1) Sosialisasi Kelas Imersi
Adapun mekanisme pelaksanaannya setidaknya mempunyai empat sasaran, yaitu: Pertama, madrasah/tim imersi melakukan sosialisasi secara internal dan eksternal sebelum melaksanakan program imersi. Kedua, sosialisasi internal ditujukan kepada semua warga madrasah dan komite madrasah. Ketiga, sosialisasi eksternal ditujukan kepada stakeholder pendidikan, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat pendidikan, pemerintah daerah dan lembaga/instansi terkait lainnya. Keempat, sosialisasi dilaksanakan melalui tatap muka langsung atau tidak langsung lewat media masa.
2) Pelatihan Bahasa Inggris dan Mata Pelajaran Kelas Imersi
a) Madrasah menyelenggarakan pelatihan bahasa Inggris bagi guru-guru kelas imersi sekurang-kurangnya selama enam bulan sebelum membuka kelas imersi di bawah koordinasi Tim Imersi propinsi dan kabupaten/kota.
b) Pelatihan dilakasanakan sekurang-kurangnya dua kali seminggu, selama sembilan puluh menit untuk setiap pertemuannya.
c) Pengajar dalam pelatihan bahas Inggris tersebut berasal dari perguruan tinggi atau lembaga bahasa yang ditunjuk yang membantu oleh tim imersi madrasah.
d) Madrasah menyelenggarakan peer dan micro teaching bagi guru yang telah mengikuti pelatihan bahasa inggris pada periode enam bulan berikutnya.
g. Pengawasan
1) Tujuan Pengawasan
Tujuannya adalah untuk mengetahui jalannya pelaksanaan kegiatan imersi, mengukur keberhasilan pelaksanaan kelas imersi dan memberikan masukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan kelas imersi.
2) Sasaran Pengawasan
Meliputi; proses belajar mengajar, kurikulum, personalia, evaluasi, keuangan dan fasilitas madrasah.
3) Metode Pengawasan meliputi; pengamatan, kuesioner dan wawancara
4) Pelaksanaan Pengawasan
Pengawasan dilaksanakan oleh satu tim yang terdiri dua unsur, yaitu internal dan eksternal. Secara internal pengawasan dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, yang terdiri dari; Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah; Dnas Pendidikan Kabupaten/Kota; Perguruan Tinggi; lembaga bahasa asing dan komite madrasah penmyelenggara kelas imersi. Sedangkan secara eksternal pengawasan dilakukan secara langsung dan terus menerus tanpa adanya tim khusus, oleh; masyarakat, orang tua/wali siswa dan unsur legislatif kabupaten/kota.
5) Pelaporan Hasil Pengawasan
Hasil pengawasan dilaporkan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah dengan tembusan kepada semua pihak terkait secara berkelanjutan sekurang-kurangnya tiga kali dalam satu semester (awal, pertengahan dan akhir semester).
2. Pemahaman guru dan siswa tentang program imersi
Berdasar pada hasil jawaban kuesioner yang diajukan kepada para guru yang mengajar di kelas imersi yang berjumlah 18 orang, terdiri dari 7 guru perempuan dan 11 guru laki-laki. Mayoritas para guru menyatakan paham terhadap program imersi di madrasah. Hal ini terbukti dari frekuensi guru yang menyatakan sangat setuju terhadap pemahaman program imersi dengan baik sebesar 40.32%, guru yang menyatakan setuju sebesar 43.01%, dan guru yang menyatakan kurang setuju sebesar 16.67%. Secara komulatif gabungan hasil jawaban antara guru yang sangat setuju dan setuju terhadap adanya pemahaman program imersi di MA. HA Jepara sebesar 83.33% guru. Sisanya sebesar 16.67 % guru yang kurang setuju.
Sedangkan pendapat para siswa pun tidak jauh berbeda, terbukti dari hasil kuesioner yang diajukan kepada 86 siswa yang terdiri dari 26 siswa dan 60 siswi mulai dari kelas X, XI dan XII program kelas imersi. Kebanyakan siswa-siswi menyatakan paham terhadap program imersi sebesar 40.99 %, siswa yang menyatakan setuju sebesar 32.12%, siswa yang menyatakan kurang setuju sebesar 22.82%. Sedangkan siswa yang tidak setuju sebesar 3.05%, dan hanya 1.02% siswa yang menyatakan sangat tidak setuju. Dengan demikian, secara komulatif gabungan hasil jawaban antara siswa yang sangat setuju dan setuju terhadap adanya pemahaman program imersi sebesar 73.11%, selebihnya 26.89% menyatakan agak kurang setuju.
Jadi, jelaslah bahwa frekuensi guru dan siswa yang menjawab paham terhadap program imersi ternyata cukup signifikan, yaitu sebersar 83.33% guru dan 73.11% siswa. Sedangkan hanya 16.67% guru dan 26.89% siswa yang menyatakan kurang paham dari 104 responden. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa walaupun program imersi termasuk kebijakan yang masih terbilang baru, namun kebijakan ini sudah familier dan tergolong dapat diterima di masyarakat pengguna jasa pendidikan. Statmen semacam ini pun juga didukung oleh hasil wawancara di lapangan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Mayoritas informan yang teridri dari guru dan siswa mengakui bahwa mereka telah paham dengan program imersi yang dilaksanakan di madrasah.
3. Kualitas Implementasi manajemen program imersi
Hasil jawaban kuesioner yang diajukan kepada para guru yang mengajar di kelas imersi menyebutkan, bahwa implementasi manajemen program imersi telah terlaksana dengan baik. Sebanyak 40.32 % guru menyatakan sangat setuju, 43.01% menyatakan setuju dan 16.67% menyatakan kurang setuju. Secara komulatif, diperoleh hasil 83.33% guru menyatakan bahwa pelaksanaan implementasi manajemen program imersi di MA. HA Jepara telah berjalan dengan baik. Sisanya, sebesar 16.67% guru yang kurang setuju.
Jelaslah, bahwa kebanyakan para dewan guru di MA. HA menilai implementasi manajemen program imersi telah berjalan dengan cukup signifikan. Dengan kata lain, fungsi manajerial sekolah meliputi; perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan pun sudah terlaksana dengan optimal. Ini mengandung maksud bahwa kepala sekolah sebagai pemegang otoritatas kebijakan telah mampu menjadi leader, sekaligus manajer yang baik.
4. Efektivitas program imersi bagi siswa
Dari hasil jawaban kuesioner yang diajukan kepada 86 siswa yang terdiri dari 26 siswa dan 60 siswi mulai dari kelas X, XI dan XII program kelas imersi. Mayoritas siswa-siswi memberikan jawaban bahwa program imersi di madrasah telah berjalan dengan cukup efektif. Hal ini terbukti dari 24 item pertanyaan yang diajukan kepada 86 siswa, yang menjawab sangat setuju sebesar 35.61%, siswa yang menyatakan setuju sebesar 39.09%, siswa yang menyatakan kurang setuju sebesar 20.93%. Sisanya sebesar 3.14 tidak setuju dan 1.30 sangat tidak setuju. Secara komulatif, gabungan hasil jawaban antara siswa yang sangat setuju dan setuju terhadap efektifitas manajemen program imersi di madrasah sebesar 74.7%. Selebihnya, sebesar 25.3% siswa yang kurang setuju.
Data tersebut, menunjukkan bahwa kebanyakan siswa-siswi menilai terdapat adanya efektifitas program imersi, khususnya terhadap prestasi hasil belajar mereka. Indikasi efektifitas program imersi ini dapat dicermati melalui hasil prosentase jawaban kuesioner siswa-siswi. Selain itu, hasil wawancara di lapangan pun hasilnya tidak jauh berbeda dengan nilai kuesioner. Para siswa menilai bahwa keberadaan program imersi sangat efektif menunjang prestasi akademik, di samping prestasi non akademik lainnya.
Bahkan berdasarkan observasi penulis dan di dukung oleh pengakuan sejumlah guru yang mengajar di kelas imersi (2, Januari 2007) menunjukkan bahwa program imersi telah berhasil membentuk dan menumbuhkan kesadaran kolektif siswa akan pentingnya suatu ilmu. Di samping itu, program ini juga berhasil menumbuhkan sikap kemandirian siswa di bidang pembelajaran.
E. Kesimpulan
Berdasar urian tersebut, setidaknya ada dua hal yang bisa dijadikan pelajaran. Pertama,walau program kelas imersi merupakan kebijakan baru di bidang pembelajaran pendidikan, namun keberadaannya sangat diminati tidak saja oleh kalangan pengelola institusi pendidikan dan stakeholder-nya bahkan oleh peserta didiknya (kostomer). Kedua, prosesi manajerial kepala sekolah yang baik berdampak positif terhadap kinerja sekolah, kualitas pembelajaran, capaian prestasi peserta didiknya dan keberhasilan suatu program unggulan di bidang pendidikan.
Jadi, menurut hemat saya keberhasilan MA. HA Jepara dalam mengelola institusinya (program kelas imersi), tidak lepas dari peran kepala sekolah dalam memanage lembaganya. Di samping, keberaniannya dalam berinovasi mewarnai abad yang penuh tantangan dan peluang ini dengan bekal kompetensi yang cukup dan dedikasi yang tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

AF Stoner, James and Wankel, Charles, Management: third edition, Prentice Hall, 1986.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Atmodiwiro, Soebagio, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Ardadizya Jaya, 2005.
Bush, Tonny dan Coleman, Marianne, Leadership and Strategic Manajemen in Education: Manajemen Strategic Kepemimpinan Pendidikan, Terj: Fahrurrozi, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
Buku Pedoman Penyelenggaraan Kelas Imersi Propinsi Jawa Tengah, Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 2004.
Danim, Sudarwan, Menjadi Komunitas Pembelajaran: Kepemimpinan Transformasional dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Dunn, William N, Analisis Kebijakan Publik: Kerangka Analisis dan Prosedur Perumusan Masalah, Yogyakarta: PT. Hanidita Offset, 1995.
M. Hanafi, Mamduh, Manajemen, Yogyakarta: UUP AMP YKPN, 2003.
Nawawi, Hadari, Manajemen Strategik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003.
Nurlina, Laiy, "Kelas Imersi, antara Prestise dan Prestasi", Kompas, 27 April 2007.
Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2007.
Tilaar, H.A.R, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. PT. Remaja Rosdakarya Offset, 1994.

Kamis, 13 November 2008

Pendidikan Anti Korupsi

Pendidikan Anti Korupsi
Oleh: Mukodi, M.SI*

Disampaikan Pada Diskusi Kelas Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Paradoksal memang virus korupsi di negeri kita. Korupsi, laiknya drama kolosal. Tiap hari berganti-berganti episode. Pemerannya pun, bermuka-muka. Sebagai penonton, masyarakat seolah dimanjakan. Tinggal mau melihat kasus korupsi yang mana? Mulai dijajaran eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. Semua tersaji secara lengkap.
Realitas tersebut, tentu sangat ironi. Mengingat kebanyakan koruptor adalah kaum cerdik pandai. Bahkan tak sedikit mereka, meyandang gelar doktor dan profesor. Gelar kepakaran, yang semestinya digunakan memberdayakan rakyat. Sebaliknya, malah digunakan memperdayai rakyat.
Apa yang salah dengan pendidikan kita? Barangkali pertanyaan ini yang menghinggap dihati sanubari kita. Ditengah pelbagai kesaksian dan pengakuan para koruptor di televisi.
Pertanyaan itu, menjadi wajar. Karena koruptor terlahir dari rahim institusi pendidikan. Mengurai persoalan pendidikan kita, ibarat mengurai benang kusut. Semakin diurai, semakin runyam (Prof. Mastuhu, 2002). Namun, hal mendasar yang paling merisaukan adalah persoalan kurikulum. Kurikulum pendidikan kita, nampaknya padat isi, tapi miskin refleksi (penghayatan).
Alhasil, siswa dijejali pelbagai disiplin ilmu, tapi minim wahana pengamalan. Jadi, teori sekadar teori. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Idealnya, kurikulum itu sedikit materi, keyal isi (Suparlan Suhartono, Ph.D, 2006). Walau, berganti-ganti kurikulum, nyatanya pendidikan kita masih padat materi. Sehingga pergantian kurikulum, kurang begitu efektif. Apakah hal itu, penyebab korupsi?
Mempertebal Pendidikan Agama
Imbas over load-nya muatan kurikulum kita, menyebabkan Mapel tertentu di sepelekan siswa. Salah satu contohnya adalah pendidikan agama. Kini, pendidikan agama mulai tereliminasi. Ia seakan menjadi Mata Pelajaran pelengkap. Lebih-lebih, nasib pedidikan agama di sekolah umum. Padahal, sejatinya pendidikan agama merupakan pelajaran inti. Karena didalamnya terkandung filsafat moral. Mulai dari penilaian halal-haram, boleh-tidak boleh, baik-buruk, etis-tidak etis, sampai etika lingkungan disajikan.
Jika, hal itu terus dibiarkan, bisa menjadi preseden buruk bagi out-put pendidikan kita. Analoginya sederhana, kalau dulu pendidikan agama mendapat perhatian dari siswa saja, ketika mereka dewasa dan tua tetap "hobi berkorupsi" (baca sekitar). Apalagi belakangan ini, nasib pendidikan agama diremehkan siswa, bisa jadi virus korupsi semakin beranak pinak di bumi pertiwi ini.
Untuk itu, sudah saatnya pendidikan agama dipoulerkan kembali. Mengapa hal ini penting? Sebab mempopulerkan pendidikan agama, berarti membasmi virus korupsi sejak dini. Khususnya, disanubari anak-anak. Mengingat apa pun agamanya, doktrin ajarannya selalu menempatkan korupsi sebagai musuh. Tinggal bagaimana kita mampu memformat pendididikan anti korupsi, menjadi bagian dari pendidikan agama. Itulah, yang perlu dipikirkan?
Tripartit Pendidikan
Menurut hemat saya, untuk melaksanakan pendidikan anti korupsi integral dengan pendidikan agama ada tiga cara. Ketiganya, sering disebut sebagai tripartit pendidikan, alias tri pusat pendidikan. Yaitu, pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Pertama, pendidikan anti korupsi di keluarga. Menipisnya pendidikan di keluarga, disinyalir ikut serta mengingis kepribadian anak (Kartini Kartono, 2004). Apalagi, yang terkikis itu pendidikan agama. Tentu menjadi semakin parah. Semestinya, keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak. Tak mustahil, para koruptor, waktu kecilnya kurang asupan ilmu agama di rumah. Atau mereka tak memahami nilai-nilai luhur pendidikan agamanya.
Parahnya lagi, para orang tua sudah terlanjur mempercayakan pendidikan buah hatinya sepenuhnya ke pihak sekolah. Sehingga pendidikan agama pun jarang sekali--untuk tidak mengatakan--tak pernah lagi diajarkan di keluarga. Praktis, anak-anak pun miskin ilmu agama. Menginjak dewasa, ia pun lantas tak mengenal etika. Untuk itu, pendidikan agama di keluarga harus diperkuat kembali. Harapannya, kelak ia akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang beradap, tak berkorupsi.
Kedua, pendidikan anti korupsi di sekolah. Tentu perwujudannya tak harus dilegalkan dalam bentuk Mapel baru, melainkan bisa dimasukkan dalam sub kurikulum pada pelajaran terkait. Misalnya dimasukkan pada Mapel agama, PPKN, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan sejenisnya. Dengan begitu, akhirnya pendidikan anti korupsi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pelbagai macam pelajaran. Keuntungannya, gerakan melawan korupsi bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bidang studi, melainkan tanggung jawab seluruh guru yang ada di sekolah.
Di samping itu, pendidikan anti korupsi perlu dipraktekkan secara langsung di sekolah. Misalnya, sekolah mengilangkan tradisi menyontek, memberikan penghargaan (reward) bagi siswa-siswi yang jujur dan memberikan hukuman (punishment) terhadap mereka yang berdusta. Sekolah pun perlu mengintensifkan pendidikan di luar kelas, misalnya mengajak siswa-siswi berkunjung ke tempat panti asuhan dan anak-anak jalanan. Tujuannya, agar kelak mereka tumbuh kepekaan sosialnya. Sehingga di kemudian hari, jika mereka menduduki posisi apa pun. Mereka selalu ingat dengan nasip orang-orang yang termajinalkan, alias kaum papa.
Ketiga, pendidikan anti korupsi di masyarakat. Praktiknya, di setiap event kemasyarakatan, ketua RT, RW atau pemuka lainnya hendaknya mengingatkan warganya untuk menjauhi tindak korupsi. Cara ini memang klasik, tapi efektif jika dijalankan. Minimal dapat memperkecil syahwat masyarakat berkorupsi.
Dengan demikian, akhirnya virus korupsi lambat laun akan mejadi kredil dan mati. Bukankah korupsi adalah musuh kemanusiaan yang harus dilawan? Jelasnya, pendidikan anti korupsi dapat menjadi imun terbaik untuk melawan wabah korupsi.

*Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Budaya, tinggal di Yogyakarta.

Dilema Madrasah Unggulan

Dilema Madrasah Unggulan
Oleh: Mukodi, M.S.I*


Disampaikan Pada Diskusi Kelas Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta

Memasuki abad 21, kini eksistensi madrasah di Indonesia berada serba dilematis. Di satu sisi, madrasah dituntut untuk adaptif dengan perubahan dan perkembangan zaman. Di sisi lainnya, madrasah dituntut pula untuk tetap menjaga tradisi dan ciri khas ke-madrasaan-nya.
Kedua hal itulah yang menjadikan dilema bagi keberadaan madrasah dewasa ini. Karena pilihan menempuh jalan masing-masing dari keduanya, mengandung kosekuensi logis tersendiri. Memilih menjadikan madrasah yang adaptif dengan perubahan, berarti siap meleburkan madrasah ke dalam modernitas. Imbasnya, nilai-nilai ke-salafiahan madrasah akan segera memuai dan mememudar. Sedangkan kekeh mempertahankan ciri khas madrasah, otomatis rela terhanyut ke dalam tradisi salafiyah yang mabni (konstan). Parahnya, madrasah model ini semakin sulit mendapat tempat dikalangan masyarakat modern.
Dengan demikian, tak berlebihan jika kebanyakan praktisi pendidikan meramalkan kondisi madrasah lambat laun ibarat hidup segan mati pun tak mau. Mengapa demikian? Sebab kondisi madrasah pada umumnya lemah dalam struktur dan infrastrukturnya. Apalagi madrasah yang ditangani secara salaf atau tradisional.
Indikasi keterpurukan madrasah dapat terlihat dengan jelas, dari tahun ke tahun partisipasi masyarakat untuk mengamanahkan anak-anak mereka di madrasah semakin rendah. Masyarakat seolah tak lagi menaruh harapan dari institusi pendidikan Islam. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam baik di jenjang MI, MTs, maupun MA identik menempati kelas nomor dua. Bahkan pemagzulan tersebut, berlanjut sampai di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. STAIN, IAIN dan UIN pun selalu menjadi pilihan terakhir, tatkala calon mahasiswa baru terpental dari PTN.
Reposisi Madrasah
Apa ada yang salah dengan institusi pendidikan Islam? Kalau tidak ada yang salah, kenapa sekarang institusi pendidikan Islam sulit mendapatkan tempat di hati masyarakat? Itulah pertanyaan yang selama ini menggelitik dalam benak penulis. Untuk mendapatkan jawaban yang akurat dari pertanyaan tersebut, tentu membutuhkan penelitian lebih lanjut. Namun bila menengok sejarah awal berdirinya madrasah di Indonesia, kita dapat segera menemukan jawaban sederhananya. Setidaknya, hal itu disebabkan karena pergeseran paradigma masyarakat modern.
Masyarakat modern dewasa ini lebih mengedepankan material oriented dari pada spiritual oriented. Disinyalir pergeseran paradigmatik ini akibat dari derasnya arus globalisasi dan pasar bebas. Sehingga tak mengherankan, jika lembaga pendidikan umum selalu menjadi rebutan, ketimbang lembaga pendidikan Islam. Dengan kata lain, sekolah umum menjadi anak emas dan madrasah selalu jadi anak tiri.
Dengan demikian, masyarakat modern lebih mengedepankan aneka ragam skill dan keahlian yang ditawarkan di lembaga pendidikan umum. Jadi, pilihan-pilihan itu, lantas memihak kepada sekolah-sekolah umum. Mengingat sekolah-sekolah agama (masih) miskin dengan skill keahlian. Sebaliknya, sangat kenyal dengan nilai-nilai religiusitas. Inilah tantangan terberat yang harus dipecahkan oleh para pengelola pendidikan Islam.
Pilihan-pilihan pragmatis tersebut, tentu sangat rasional di tengah himpitan perekonomian dan sulitnya lapangan pekerjaan. Walau harus diakui, tak ada jaminan bahwa tamatan sekolah umum, lebih mudah mendapatkan pekerjaan dibanding tamatan madrasah. Tapi secara jujur dapat dikatakan, bahwa aksesibiltas pendidikan umum lebih terbuka daripada pendidikan agama.
Persoalan ini sejatinya issu klasik, namun hingga kini sulit ditemukan pemecahannya. Fenomena merebaknya madrasah-madrasah salafiah (tradisional) berubah menjadi madrasah modern disejumlah daerah. Mengindikasikan lembaga pendidikan Islam mulai berbenah. Sekaligus mulai memperhitungkan posisi strategis keberadaannya di masyarakat sekitar.
Menjamurnya Pendidikan Islam Terpadu, semisal Madrasah Ibtidaiyyah Islam Terpadu (MIIT/SDIT), Madarasah Tsaniwiyyah Islam Terpadu (MTsIT/SMPIT) dan Madrasah Aliyah Islam Terpadu (MAIT/SMAIT) merupakan kabar gembira bagi dunia pendidikan kita. Namun perlu diingat, pihak pengelola hendaknya tetap konsisten menjaga garis-garis demarkasinya. Idealnya, lembaga pendidikan Islam tersebut, berada ditengah-tengah antara kesalafiahan dan kemodernan. Di sinilah, letak terberat posisi madrasah yang ikut bermetamorfosis mengenakan baju modernitas.
Bahkan Prof. Dr. Zakiah Darajat mengingatkan bahwa sikap madrasah yang terlalu konservatif akan mendorong lembaga itu terasing dan bahkan lenyap dari perkembangan modern. Sebaliknya, sikap akomodatif yang berlebihan terhadap kecenderungan pendidikan modern (sekuler), akan menjerumuskan madrasah ke dalam sistem pendidikan yang lepas dari nilai-nilai keislaman.
Di samping itu, perlu disadari pula perubahan madrasah salafiah menjadi madrasah modern (unggulan), hendaknya tidak lantas meninggikan biaya operasional madrasah. Jika hal itu terjadi, tentu menjadi preseden buruk bagi masyarakat tradisional (urban). Mengingat mayoritas konsumen madrasah adalah mereka yang berada dikalangan ekonomi menengah ke bawah. Sehingga manajemen dagang ala kapitalis, harus dibuang jauh-jauh dari benak para pengelola madrasah unggulan.
Citra Positif
Tak kalah pentingnya, meretasnya madrasah-madrasah unggulan saat ini hendaknya mampu mengayomi masyarakat kecil. Terutama menyangkut dengan pembiayaan pendidikan. Sehingga menetasnya madrasah-madrasah unggulan dari rahim lembaga pendidikan Islam, diharapkan posisinya sebagai anti tesis terhadap sekolah-sekolah unggulan. Yang sejak awal pendiriannya, identik dengan tingginya biaya operasional sekolah. Bukan sekadar dilandasi semangat persaingan 'dagang', agar bisa mematok biaya pendidikan setinggi langit.
Untuk itu, setidaknya ada tiga kiat dapat dipraktekkan para pengelola madrasah unggulan, agar tetap menjadi madrasah unggulan tetapi dengan biaya murah. Pertama, mengenakan kebijakan subsidi silang bagi wali murid yang mampu secara finansial. Kebijakan ini memang sering digembar-gemborkan pihak sekolah-sekolah unggulan, tetapi prakteknya belum maksimal. Dengan begitu, bagi wali murid yang mempunyai kecukupan finansial dikenakan beban operasional madrasah lebih tinggi. Sebaliknya, para wali murid yang berada diwilayah zona kritis, alias status ekonomi menengah ke bawah mereka diberi keringanan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Apalagi, trend yang berkembang mengindikasikan bahwa keberadaan madrasah-madrasah yang dikelola secara profesional, mulai dilirik oleh para pejabat, pengusaha-pengusaha muslim dan golongan-gologan high cllas, terutama bagi mereka yang tidak sempat lagi mengajarkan pendidikan agama di rumah. Dilevel inilah, kebijakan subsidi silang akan terasa lebih efektif manfaatnya.
Kedua, memberlakukan kebijakan orang tua asuh. Kebijakan ini menjadi menarik, mengingat masih banyak golongan elit--yang mempuyai kecukupan ekonomi--tapi tidak tahu bagaimana caranya mentasarufkan harta bendanya. Di sinilah pentingnya kerjasama antara pihak pengelola lembaga pendidikan Islam dengan instansi-instansi terkait. Semisal Rumah Zakat, BMT dan lembaga lain sejenisnya.
Ketiga, mengelola dan menjaga networking (jaringan) dengan baik. Sudah menjadi rahasia umum, jika eksistensi lembaga pendidikan Islam salah satunya ditopang oleh para donator (dermawan/aghniya'). Untuk itu, menjadi keniscahyaan apabila para pengelola madrasah unggulan, meningkatkan manajemen networkingnya secara akuntabel dan profesional.
Akhirnya, lahirnya madrasah-madrasah unggulan di pelbagai daerah saat ini tentu bisa menjadi rahmat, ditengah mahalnya biaya pendidikan. Lagi-lagi, kita berharap-harap cemas, mampukah madrasah-madrasah unggulan berani memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang memihak kepada kaum papa. Selain itu, kita berharap secara akademik agar madrasah-madrasah unggulan dapat sejajar dengan sekolah unggulan lainnya.

*Penulis adalah peneliti senior pada Madrasah Riset and Development Forum (Mardef) Yogyakarta .

Katasrofa Pendidikan Kita?

Katasrofa Pendidikan Kita?
Oleh: Mukodi, M.S.I*


Dimuat di Majalah CANDRA Dinas Pendidikan Yogyakarta.
Belum hilang dari ingatan kita, pemberitaan media massa yang mempertontonkan tinju bebas ala smackdown anak-anak muda yang tergambung dalam geng motor Bandung. Mereka menghajar sembilan remaja yang sedang melihat pemandangan dari atas jalan layang, hingga babak belur (Kompas, 2/9/2007).
Beberapa hari sesudahnya, pihak kepolisian pun berhasil meliput adegan kriminalitas sejenis. Yakni prosesi perekrutan anggota baru geng motor di kota Bandung. Kini, ingatan itu menguat kembali. Pemicunya juga sama, beredarnya video adegan premanisme geng Nero di Kota Pati. Tragisnya, anggotanya ternyata adalah para siswi di sejumlah sekolah wilayah Pati.
Kasus gengster yang terakhir ini, seolah memacu detak jantung kita lebih keras. Terutama bagi para pendidik, pemerhati pendidikan, pemerhati sosial, dan sejumlah orang tua. Pasalnya, kaum hawa (remaja putri) yang biasanya berbalutkan kain kelembutan, kasih sayang dan kemolekan budi malah merias diri mereka dengan busana kekerasan.
Padahal, Pati adalah kota kecil, kota yang dikenal ramah, kental nilai-nilai budaya jawa perdesaaan dan dikelilingi pondok pesantren salafiah. Logika sederhananya, jika di Pati saja seperti itu lantas bagaimana dengan kota-kota besar lainnya? Wajar kiranya, opini publik tergiring pada wacana bahwa sejatinya geng-geng ABG telah mengakar urat di komunitas-komunitas remaja. Hanya saja, kelompok-kelompok tersebut tak terekspos oleh media atau belum berani unjuk kebolehan.
Budaya Ngegeng
Dalam pandangan teori psikologi, terbangunnya geng-geng, klub-klub, komunitas-komunitas sebaya diantara para remaja sesungguhnya merupakan pertanda ditabuhnya masa remaja (adolesence) (Irwanto, 2002). Jadi, kasus munculnya geng motor di Bandung dan geng Nero di Pati Jawa Tengah tentu menjadi kewajaran. Permasalahan baru muncul, tatkala geng-geng tersebut, bergeser dari geng-geng lokal yang santun berafeliasi menjadi geng-geng preman-radikal.
Aksi-aksi premanisme peserta didik yang tergabung dalam geng motor tersebut, mengingatkan kita terhadap aksi-aksi serupa oleh sejumlah ormas dan organisasi akhir-akhir ini. Sebut saja, berita teranyar kasus berdarah FPI atas AKKBP pada 1 Juni di Monas, kekerasan aparat keamanan atas mahasiswa ke Universitas Nasional (Unas), tindakan barbar simpatisan partai tertentu akibat kekalahan Cagub-Cawagub dalam Pilkada di sejumlah daerah, dan tindak kekerasan lainnya.
Barangkali tindakan kekerasan para gengster ABG tersebut, sebagai pantulan atas tindakan seniornya (manusia dewasa). Karena masa remaja adalah masa-masa imitasi dan pencarian jati diri (Kartini Kartono, 1990). Ironisnya, budaya yang dipertontonkan orang dewasa saat ini adalah budaya barbar; tawuran, pertikaian, premanisme dan perselingkuhan. Salahkah, jika para remaja, menyontoh apa yang mereka saksikan sehari-hari?
Walau demikian, sebagai warga negara tentunya kita merasa prihatin dan berduka. Mungkin tergelitik pertanyaan dibenak kita, mengapa geng seolah menjadi trend di sekolah? Apakah tidak ada pilihan yang lebih bijak untuk mengisi masa-masa muda, ketimbang bergabung menjadi anggota geng? Lantas dimanakah peranan sekolah dalam membimbing peserta didiknya?
Pertanyaan semacam itu menjadi kelaziman, di tengah derasnya pemberitaan media massa atas tindakan oknom peserta didik yang berbuat ulah. Bahkan tak sedikit pihak sekolah terkesan sangat reaksionis. Sekolah yang mendapati peserta didiknya menjadi anggota geng pun mengambil tindakan. Mulai dari pemberian sanksi ringan, hingga sanksi terberat berupa pemecatan. Padahal, keprihatinan dan kekecewaan, tak harus dilakukan dengan pengusiran. Sebab hukuman ini kurang mendidik dan bisa menjadi preseden buruk terhadap perkembangan psikologi peserta didik.
Membuka Dialog
Dalam konteks ini, menurut hemat saya, pembinaan secara berkelanjutan bisa dijadikan pilihan bijak. Terutama untuk memperbaiki tingkah laku peserta didik yang nakal. Pembinaan ini tidak saja melibatkan guru, melainkan juga dari pihak orang tua siswa dan masyarakat. Sehingga sinerginitas Tri Pusat Pendidikan ini--meminjam bahasa Ki Hajar Dewantara--nantinya bisa efektif untuk mengarahkan peserta didik.
Selain itu, pihak sekolah pun harus lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan potensi peserta didiknya. Lebih-lebih di level SMP dan SMA. Karena dimasa-masa inilah tahap yang paling krusial dan menentukan. Bukan tidak mungkin, maraknya geng-geng motor dipelbagai daerah, akibat dari lemahnya responsibilitas sekolah. Minimnya aksesibilitas peserta didik dalam mengaktualisasikan diri di sekolah. Kemudian diekspresikan dengan membentuk tongrongan-tongrongan baru.
Untuk itu, mewabahnya komunitas geng-geng ABG akhir-akhir ini, hendaknya dijadikan ajang introspeksi sistemik. Khususnya bagi lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat. Di samping itu, sebagai wahana untuk mengoptimalkan organisasi-organisasi kepemudaan yang ada. Sehingga tatkala para peserta didik (remaja) terpuaskan olehnya, maka bentukan geng-geng baru akan menjadi minimal.
Namun, jika geng-geng baru terlanjur ditetaskan dari rahim komunitas ABG. Tentu tidaklah bijak, jika kita (manusia dewasa) mebuihkannya. Apalagi sampai memberangusnya. Tepat kiranya, jika kita malah melarutkan diri ke dalam komunitas-komunitas tersebut. Disinyalir sikap itu, akan membuka ruang dialog antara remaja, orang dewasa dan orang tua. Sehingga kondisi ini akan mendorong kedekatan emosional yang positif.
Dengan begitu, hubungan antar ketiganya akan menjadi harmonis. Imbasnya, para ABG akan selalu terpantau secara sosial, komunal, dan kultural. Akhirnya, pelbagai tindak negatif yang dilahirkan gengster pun dapat tereduksi. Bukan tidak mungkin aksi-aksi premanisme geng-geng ABG yang ada. Bermula dari ketidakharmonisan dan ketegangan antar generasi. Tidakkah itu, sangat disayangkan? []

* Penulis adalah Direktur L-PaS (Lembaga Pendidikan, Agama, dan Sosial) Yogyakarta. Peneliti utama CDASC Yogayakarta.

Kamis, 29 Mei 2008

Dilema Politik Praktis Kiyai Kampung

Dilema Politik Praktis Kiyai Kampung
Oleh Mukodi, M.S.I


Diposting dari Harian Joglo Semar, 29 Mei 2008
Menjelang perhelatan akbar Pemilihan Gubenur (Pilgub) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, tak sedikit kiai kampung terjerembab politik praktis. Para guru ngaji yang biasanya membicarakan persoalan pendidikan santri, kini mereka aysik-masyuk membicarakan partai dan kemenangan jagoan yang diusungnya. Bahkan ada kencenderungan, kiai kampung mulai terbuai dengan kekuasaan. Inilah trend perselingkuhan para kiai masa kini.Alam demokrasi, memang membebaskan siapa saja berpolitik. Memilih- dipilih, mendukung-didukung, memback-up-diback-up adalah sah-sah saja. Namun banyak pihak menyayangkan, tatkala area perpolitikan dirambah oleh para kiai. Pasalnya, dunia politik adalah dunia “remang-remang”, beraromakan tipu-daya dan nalar kuasa. Pertimbangan itulah, sejatinya yang menjadikan beberapa kalangan menyangsikan eksistensi para guru ngaji, ustadz langgar dan kiai kampung berpolitik. Sebab modal dasar ketulusan budi, keihlasan kehendak dan ketakziman mereka, tentunya belum cukup. Bisa jadi ”keluguan” para kiai tersebut, malah dimanfaatkan oleh lawan politiknya.Banyak cerita kiai berpolitik praktis, akhirnya masuk bui merupakan pelajaran berharga. Khususnya bagi mereka yang ingin terjun di dunia politik praktis. Karena dalam kamus perpolitikan, tak mengenal etika dan rasa iba. Sehingga tepat kiranya, beberapa hari yang lalu Prof Dr Mahfudh MD mengatakan, bahwa etika politik hanya ada di buku-buku dan forum diskusi di ruang perkuliahan semata, belum berlaku di kehidupan perpolitikan kita (baca: media).Lantas apa yang mesti dilakukan kiai kampung? Itulah barangkali sikap yang harus diperjelas terlebih dahulu, tatkala para guru ngaji ini didekati para politikus untuk direkrut menjadi tim sukses. Bahkan sekadar dimintai doa dan dukungannya terhadap figur tertentu. Karena sesungguhnya doa restu sang kiai berdampak signifikan terhadap jemaah yang mengelilinginya. Baik ditingkat lokalitas desa sampai ke tingkat kecamatan dan kabupaten.Tak disangkal, pelbagai respons pun akan segera mengemuka tatkala figur kiai kampung, guru ngaji dan ustadz mesjid memihak partai atau calon pasangan tertentu. Hal ini menjadi kelaziman, sebab masyarakat kita masih terkungkung pada satu identitas keberpihakan. Sehingga tatkala si fulan memback-up/memilih figur tertentu, maka bisa dipastikan ia sudah menjadi lawannya. Parahnya lagi, mindset (cara berfikir) masyarakat kita, lawan politik dianggap sebagai lawan bermasyarakat. Inilah kerancauan logika grass root di level bawah.Menurut hemat saya, kiai kampung atau apa pun namanya hendaknya tetap berpegang pada prinsip amaliah ala pesantren. Berkhidmah untuk kemaslahatan umat itulah barometernya. Sehingga penegasan wilayah demarkasi pengabdian ini satu hal yang utama. Walau tak diragukan, alasan dasar pemilihan politik praktis sejumlah kiai sejatinya demi kemaslahatan umat. Tapi praktiknya, niat awal tersebut acapkali berbelok arah manakala gemerlap fasilitas kekuasaan menawarkan aroma “perselingkuhan”. Teguh Berprinsip Belajar pada kasus kekalahan KH Hasyim Muzadi dalam Pilpres 2004 bersama Megawati, KH Hasyim yang kala itu hanya nonaktif dari ketua umum PB NU dan didukung sejumlah kiai NU, tak berdaya menghadapi pasangan SBY-Kalla. Kekalahan itu termasuk di wilayah Jawa Timur yang merupakan basis utama NU. Apa yang dapat dipetik dari kasus tersebut? Yaitu, majunya KH Hasyim Muzadi telah menimbulkan friksi-friksi, dan pertikaian di level bawah. Bukankah hal itu, sangat disayangkan?Apalagi saat ini moment Pilgub sejumlah daerah tengah berlangsung, figur otoritas pemimpin jemaah pun jadi rebutan. Suhu politik Pilpres 2009 ikut pula memperkeruh suasana. Sehingga idealnya kiai kultural di desa-desa, mampu menjalankan fungsi stabilisator dan penenang bagi masyarakat, bukan malah menjadi mesin politik partai atau calon tertentu. Mengingat bisa dipastikan pascaPilgub Jateng konflik sengketa Pilgub akan meninggi. Di situlah hadirnya sosok kiai dan pemimpin independent yang bisa diterima semua pihak sangat dibutuhkan.Namun persoalannya, siapa yang mampu menjalankan tugas dan peran maha berat tersebut? Mampukah kiai kampung mengemban amanat ini? Berkhidmah tanpa imbalan, bekerja tanpa berharap, alias ikhlas beramal tanpa pamrih. KH Sahal Mahfud adalah satu diantara sekian kiai yang mampu menjalankan peran strategis tersebut. Walau tak dipungkiri, beliau bukan lagi sosok kiai kampung, melainkan kiai khos level nasional. Namun begitu, ia tetap teguh menjadi kiai umat, bukan kiai partai. Ia juga tidak pernah menjual popularitasnya demi jabatan. Konsistensi dan kearifan budi KH Sahal inilah hendaknya bisa dijadikan teladan bagi para kiai kampung.Karena itu, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan para kiai kampung dalam menyikapi rayuan politik praktis Pilgub Jateng. Pertama, mengendalikan nafsu kuasa. Popularitas, kehormatan, dan jabatan merupakan busana yang mengiringi kekuasaan. Maka sebagai tokoh agamawan, hendaknya kiai kampung mampu menggendalikan syahwatnya, agar tidak mudah memakai busana tersebut. Jika hal itu dilakukan, bukan tidak mungkin ia akan lalai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemuka agama. Kedua, menjauhi keberpihakan. Keperpihakan adalah bagian dari kemanusian. Tentunya sangatlah logis, manakala seseorang memiliki kecenderungan bersimpati terhadap komunitas atau individu lain. Namun persoalannya menjadi berbeda, jika seorang kiai kampung bersimpati bahkan memihak terhadap pasangan tertentu dalam pertarungan Pilgub. Karena keberpihakan ini berpretensi menimbulkan konflik internal dikomunitas jamaahnya. Sehingga pemuka agama harus pandai-pandai bersimpati dan berempati terhadap figur calon pemimpin. Ketiga, mementingkan kemaslahatan umat. Secara teoritik, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai para pengikutnya. Ia mampu memberi kedamaian bagi halaqahnya. Dengan begitu, eksistensinya sebagai imam, hendaknya bersifat umum. Menjadi rahmat bagi semua orang. Tidak dibatasi dengan sekat-sekat kepentingan partai. Netralitas identitas sang kiai inilah yang akan mengantarkannya sebagai penjaga kemaslahan umat, minimal di kampungnya.Akhirnya, kesuksesan kiai kampung dalam berpolitik hakikatnya terletak pada konsistensinya dalam membina umat. Bukankah pembina umat harus terhindar dari kepentingan apa pun? Semoga kiai kampung tetap menjadi guru kultural bagi jamaahnya. Dengan begitu, ia tetap bisa menjadi pelita disaat kampung dilanda gelap gulita.
*Penulis adalah peneliti CDASC Yogyakarta dan Aktivis Muda NU Jepara

Kamis, 22 Mei 2008

Film Fitna 'Nodai Ayat-Ayat Cinta'

Film Fitna 'Nodai Ayat-Ayat Cinta'
Oleh: Mukodi, M.S.I*

Dilansir dari Majalah Rindang Depag Jawa Tengah, 2 Mei 2008

Kesabaran bangsa Indonesia kembali diuji. Belum hilang kekesalan penduduk yang mayoritas beragama Islam ini, atas dimuatnya karikatur Nabi Muhammad di majalah Denmark. Kini film fitna yang dibuat politisi ekstrem Belanda Geert Wilders kembali menyulut api emosi. Mengapa demikan? Karena film ini mendiskriditkan Islam. Islam ditempatkan sebagai agama kekerasan. Agama anti perdamaian dan anti peradaban. Ayat-ayat al-Quran dinilai sebagai pemicu tindakan teroris dan pembunuhan. Sehingga keberislaman bangsa ini pun kembali bergolak.
Utungnya, para tokoh agamawan dan tokoh politik di tanah air menyikapi dengan santun. Mereka mengimbau agar umat Islam tidak terprovokasi dan tidak emosi menanggapi film fitna yang nyata-nyata menghina Islam. Tokoh-tokoh agamawan dan politik, mulai dari KH. Hasyim Muzadai, Prof Dr Din Syamsuddin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Yusuf Kalla, Agung Laksono, dan tokoh-tokoh lainnya, dengan penuh nuansa kedamaian mengajak umat Islam agar tetap bisa berpikir jernih.
Bahkan, Sekjen PBB Ban Ki-moon, secara keras juga mengecam film Fitna tersebut. Menurutnya, tidak ada hubungannya sama sekali apa yang dilakukan politisi Wilders tersebut dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Di Belanda sendiri, tempat Geert Wilders memproduksi film fitna muncul penolakan serupa, karena dinilai film fitna nyata-nyata mengandung penghinaan terhadap umat Islam.
Walau hanya sebuah film, namun hadirnya film fitna bagi kalangan muslim telah menjadi fitnah yang sangat berbahaya. Pasalnya, film ini sangat merugikan keberislaman, sekaligus akan melahirkan ancaman baru terhadap kerukunan antar-umat beragama. Sehingga eksistensi film fitna dibelantara per-filman, seakan telah menodai ayat-ayat perdamaian. Menodai cinta-kasih, kerukunan, keharmonisan dan tepo seliro (saling menghargai) antar umat beragama. Parahnya lagi, menodai hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda.
Tepat kiranya, pribahasa yang mengatakan, "akibat nila setitik, rusaklah susu sebelanga." Sebab ide yang ada dalam film fitna tersebut, bukanlah mewakili ide umat Kristen dan Belanda (Barat), melainkan hanyalah ide sesat dari seorang rasialis yang sarat dengan muatan politis. Itulah sebabnya pemerintah Belanda sendiri, Uni Eropa dan juga PBB mengutuk keras film fitna tersebut. Karena walaupun atas nama “kebebasan” bukanlah pada tempatnya digunakan untuk menghujat agama Islam.
Bersikap Profetik
Apa yang perlu kita lakukan? Bertindak dan bersikap arif bijaksana, itulah barangkali hal yang paling tepat, bagi kaum muslim di Indonesia saat ini. Inilah momentum istimewa, untuk mempraktekkan ajaran al-Quran secara benar. Sekaligus menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai, rahmat bagi sesama. Bukan seperti yang ada dalam film fitna. Sikap etik-profetik semacam ini perlu disamaikan kepada siapa saja yang belum mengenal Islam.
Persoalannya kemudian, mampukah kaum muslim mempraktekkan sikap kenabian tersebut? Pertanyaan ini menjadi kewajaran, mengingat sampai hari ini wajah Islam masih 'garang' di mata dunia internasional. Terlebih pasca peristiwa WTC, polemik kekerasan di Irak, Pakistan dan gejolak pertikaian di negara-negara Islam lainnya. Ditambah lagi, perbedaan penafsiran teks al-Quran, acapkali menampilkan wajah buram diantara kaum muslim dibelahan dunia.
Secara politis, pemeritahan SBY-JK pun telah bertindak tepat menghadapi gejolak penolakan terhadap film fitna. Kecaman dan pencekalan Geert Wilders datang keindonesia, merupakan bukti betapa seriusnya pemerintah menanggapi isu-isu toleransi. Bahkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Prof Ir H Mohammad Nuh secara cepat menindak-lanjutinya dengan memblokir film fitna agar tidak bisa diakses secara umum. Kebijakan itu, tentunya perlu didukung dan diapresiasi secara positif.
Banyak pelajaran bisa kita petik dari kasus film fitna, baik sebagai umat beragama maupun sebagai bangsa. Menjalin hidup bersama dengan menjaga harmoni, saling toleransi, bersikap menghormati dan menjaga hubungan baik, empati, saling menolong dan masih banyak yang lain. Peristiwa ini hendaknya dapat dijadikan momentum, bahwa kita juga mesti belajar bagaimana menghargai perbedaan. Bukan hanya menghadap-hadapkan kitab suci. Apalagi memberi makna yang tak sesuai dengan subtansinya.
Untuk itu, sikap profetik yang terkandung dalam al-Quran perlu dijalankan. Bukankah al-Quran senantiasa menyerukan sikap bijak, saling nasehat-menasehati, dan berdebat secara jernih terhadap perbedaan? (Baca, al-Nahl: 125). Sehingga demontrasi yang dilakukan umat Islam belakangan ini, hendaknya dibungkus dengan nilai-nilai etika. Etika santun, ramah dan bersahaja 'ala orang Timur' harus tetap kita pegang teguh. Walau hal itu, acapkali kita nodai dengan tindakan anarkis dan kekerasan.
Di sisi yang sama, umat Islam hendaknya tidak gampang terjebak emosi dan provokasi murahan dari kelompok yang membenci Islam, karena akan merugikan keberislaman itu sendiri. Bukan tidak mungkin, motif sang pembuat film, hanya ingin sekadar mencari sensasi di dunia Islam. Harapannya, polemik yang berkembang bisa dijadikan ajang populeritas untuk meraup keuntungan politis di negaranya.
Jelasnya, apa pun motif dari Geert Wilders, dialog antar umat beragama harus tetap dibudayakan. Bahkan intensitasnya, perlu ditingkatkan agar kedamaian dan kerukunan antar umat beragama bisa terperihara. Penghinaan terhadap agama, memang sangat keterlaluan dan akan mengusik kerukunan. Akan tetapi, lewat kejernihan berpikir, umat Islam tidak perlu terbuai dalam cawan kekerasan.
Dengan begitu, walau film fitna telah menodai ayat-ayat cinta kasih keberagamaan kita. Namun dengan semangat profetik dan kebinikaan, umat Islam di Indonesia tetap harus menunjukkan wajah manisnya. Bukankah ajaran Islam mengajarkan sikap asah, asih dan asuh, tak terkeculi kepada mereka yang membenci Islam? Bukankah hal serupa pun dilakukan pula oleh Nabi Muhammad? Semoga kebersamaan kita, tidak mudah luntur oleh krikil-krikil kecil yang datang menghadang.

*Penulis adalah peneliti dan analis sosial-budaya. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta.