Minggu, 10 Februari 2008

Ketika Orang Besar Sakit

Ketika Orang Besar Sakit
Oleh: Mukodi*


"Bagaimana info terbaru perkembangan Bapak? Baiklah, saya akan melaporkan kondisi terkini kesehatan Pak Harto……" Begitulah kira-kira, para reporter televisi melaporkan perkembangan terbaru mantan presiden Soeharto dari RSU Pertamamina Jakarta. Tak dipungkiri, berita tentang sakitnya matan orang nomor satu tersebut seakan menjadi drama publik. Hal ini seolah menjadi pertanda bahwa pamor sang mantan Jenderal Besar memang masih ada. Bahkan tak sedikit masyarakat yang menaruh iba, bahkan simpati terhadap sosok sang Jenderal. Atau hanya sekadar merindukan zaman di era kepemimpinan Soeharto.
Kerinduan era orba semacam ini sejatinya merupakan kewajaran, ditengah himpitan krisis multi kultural yang berkepanjangan. Terlebih harga kebutuhan bahan pokok melonjak beralih harga, dari "hampir terjangkau" menjadi "sangat tak terjangkau." Kelangkaan minyak tanah, kebijakan konversi minyak tanah ke kompor gas, melambungnya harga tahu-tempe. Disusul rentetan bencana alam yang datang silih-berganti, seakan menambah lengkap penderitaan rakyat kecil.
Sehingga tak sedikit rakyat kecil bergumam dalam hati, "andai Pak Harto masih berkuasa, mungkin nasib kita tak seberat ini." Inilah gambaran betapa masyarakat masih merindukan figur kepemimpinan laiknya Soeharto. Bagi rakyat kecil, era orde baru adalah masa ketenangan. Masa dimana masyarakat dapat hidup tenang. Papan, sandang, dan pangan bisa didapatkan dengan "mudah." Walau sejatinya ketenangan dan kemudahan tersebut hanyalah kamuflase, dan lipstik kekuasaan semata. Tapi masyarakat tidak memperdulikan semua itu, yang penting bagi mereka, bisa hidup tenteram dan mudah mencari makan.
Romantisme Masa Lalu
Dalam kajian sejarah, sikap romantisme masa lalu, merupakan puncak akumulasi kekecewaan terhadap gagalnya suatu rezim. Hal ini kalau dibiarkan berlarut-larut rakyat kecil akan terjangkit wabah "penyakit prostasi." Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang berkepanjangan adalah penyebab utama dari penyakit ini. Padahal, dalam kaca mata kaum sosialis, penyakit ini merupakan penyakit yang sangat mengerikan. Lama-kelamaan penyakit ini akan melahirkan, pudarnya sikap nasionalis, berujung pada hilangnya kepercayaan terhadap eksistensi suatu negara. Meminjam bahasanya Gus Dur, bisa melahirkan terjadinya revolusi sosial. Kalau hal ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin revolusi sosial akan benar-benar terjadi.
Semestinya pemerintah harus segera mengerti bahwa batas kesabaran masyarakat kita, tak sekokoh masa lalu, yang hanya diam menunggu dan menggerutu. Masyarakat sekarang sudah mulai cerdas, bagaimana semestinya bertindak dan bersikap. Sungguh merupakan suatu keniscayaan, apabila pemerintah mulai menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya, yaitu menyejahterakan rakyatnya. Masyarakat sebetulnya tidak menuntut yang neko-neko, alias yang aneh-aneh. Mereka hanya butuh, pangan, papan dan sandang. Karena kebutuhan ini adalah kebutuhan dasar yang harus mereka miliki. Tapi apa yang terjadi? sampai hari ini kebutuhan dasar tersebut, belum sepenuhnya terwujud.
Memaafkan
Seiring dengan memburuknya kondisi kesehatan Pak Harto, seiring pula kontroversi kasus hukumnya diperdebatkan. Pertanyaannya kemudian, apakah tindakan tersebut layak dilakukan? Padahal, pelbagai agama mengajarkan "etika duka", bahwa dalam suasana duka tidak etis membicarakan aib seseorang. Terlebih orang tersebut adalah orang yang sangat berjasa bagi bangsa dan negara, terlepas pelbagai tindak kesalahan yang pernah dilakukan. Namun beginilah bangsa kita, budaya santun alias sungkan agaknya mulai menjauh dari kebudayaan kita. Bukankah salah-satu nilai adi luhung bangsa ini adalah budaya santun? Dimanakah budaya tersebut? Lantas, mungkinkah bangsa kita harus memaafkan Pak Harto?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini merupakan kewajaran, ditengah sakitnya Pak Harto. Perlu diingat, bahwa kata maaf adalah ekspresi dari kearifan. Meski kearifan yang kontradiktif, karena meniadakan bagian dari keadilan itu sendiri, yaitu "rasa keadilan." Memaafkan segala kesalahan Pak Harto di masa lalu sama dengan mengubur rasa kepedihan orang-orang yang diperlakukan tidak adil oleh lembar sejarah. Tetapi, tidak mau memaafkan sama sekali, bukan pula tindakan bijaksana secara kemanusiaan dan agama. Di sinilah, sakit Pak Harto meninggalkan delema historis antara rasa maaf dan rasa keadilan (Yasraf Amir Pialang, Kompas/21/1/2007).
Sungguh pun demikian, semestinya bangsa kita harus memaafkan kesalahan-kesalahan Pak Harto. Mengingat jasa dan perjuangannya sangat besar bagi kemajuan bangsa. Namun memaafkan kesalahannya, bukan berarti mengihlaskan pelbagai tindak korupsi yang telah dilakukan. Melainkan memaafkan atas nama kemanusiaan, sekaligus memproses kasus hukumnya atas nama kemanusiaan pula. Itulah sikap barangkali yang lebih bijak yang dapat kita lakukan. Bukankah bangsa yang bijak adalah bangsa yang mengenal balas budi?

* Penulis adalah mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar: