Minggu, 10 Februari 2008

Potret Perempuan Dalam Pendidikan


Potret Perempuan Dalam Pendidikan
Oleh: Mukodi*

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sampai hari ini perempuan masih mengalami diskriminasi dalam pendidikan. Walaupun kita tidak menutup mata akan kemajuan-kemajuan yang dialami oleh kaum perempuan saat ini. Terbukti dimana masih banyak ditemukan perempuan yang mengalami berbagai diskriminasi. Mulai diskriminasi dalam mendapatkan hak dan kewajiban untuk hidup, kesenjangan dalam bekerja, khususnya kesenjangan dalam mengenyam bangkau pendidikan.
Terlebih lagi, bagi para perempuan yang tinggal di pedesaan ataupun di pelosok pegunungan. Mereka acapkali masih diposisikan sebagai konco wingking (‘pelengkap rumah tangga’), yang tak punya bargaining position dalam pengambilan keputusan keluarga. Layaknya “air di atas daun talas” yang tak mampu menolak kehendak orang tua, atau suaminya.
Diskriminasi-diskriminasi terhadap kaum hawa seakan menjadi sebuah kewajaran. Bila kita menengok temuan UNDP 2006, yang menyebutkan bahwa perempuan dewasa lebih banyak buta huruf (baca: tidak bisa membaca dan menulis) ketimbang kaum laki-laki. Setiap 100 orang laki-laki hanya 8 orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Sedangkan setiap 100 orang perempuan 17 orang yang tidak bisa membaca dan menulis.
Logikanya, perbandingan jumlah perempuan yang buta huruf alias tidak bisa membaca dan menulis dua kali lipat lebih banyak daripada kaum adam. Dengan kata lain, separuh dari kaum perempuan kita masih terjerembab dalam jurang kebodohan. Data UNDP tersebut merupakan bukti nyata atas pengabaian hak-hak perempuan dalam pendidikan.
Sehingga, tak mengherankan jika sampai sekarang banyak kaum perempuan yang menjadi obyek kekerasan. Fenomena penindasan yang dialami TKW Seriati, asal Brebes Jawa Tengah, Kurniati asal Demak, dan banyak semisalnya seakan memperjelas betapa kaum perempuan saat ini masih tersisihkan. Apalagi pelbagai kasus kekerasan perempuan yang terjadi dalam rumah tangga seakan mengisyaratkan bahwa kita masih belum mampu memposisikan perempuan sebagai partnership yang harus dihargai hak-haknya dan martabatnya.
Tentunya ketidakadilan yang dialami kaum perempuan bukan tanpa sebab, akan tetapi lebih diakibatkan oleh rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Keterbatasan pengetahuan dan skill mereka berujung pada rendahnya peluang dalam mendapatkan pekerjaan yang layak. Jadi tidak diragukan, manakala kaum perempuan masih mendominasi pekerjaan-pekerjaan kasar, seperti buruh-buruh pabrik, TKW, pedagang asongan, buruh tani bahkan ada yang menjadi kernet-kernet bus angkutan umum.
Di sisi lainnya, tidak sedikit dari kaum perempuan masih dianggap sebagai obyek komoditi, layaknya “barang dagangan” yang bisa diperjualbelikan. Dalam konteks ini kaum perempuan pun acapkali dijadikan sebagai pemuas nafsu bagi para lelaki hidung belang. Alhasil, julukan “kupu-kupu malam” yang dialamatkan kepada kaum perempuan seakan menjadi “identitas paten”.
Keterpurukan kaum tuna susila masih berlanjut, tak hanya di ruang privat semata melainkan masuk ke ruang-ruang kemasyarakatan. Dari hari ke hari kaum tuna susila pun terus dipojokkan dan dimarjinalkan. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa mereka layaknya “sampah” yang harus dibuang jauh-jauh. Padahal bila dicermati secara seksama, rasanya tak ada satu pun kaum perempuan yang berkeinginan menjadi wanita tuna susila.
Membangun Kesadaran
Membangun kesadaran akan kesetraan berpendidikan merupakan keniscayaan di tengah arus globalisasi dewasa ini. Sehingga setidaknya ada beberapa hal yang perlu dibenahi untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pendidikan, yaitu:
Pertama, membangun kesadaran masyarakat. Pada prinsipnya salah satu penyebab terjadinya diskriminasi berkelanjutan terhadap kaum perempuan, lebih diakibatkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya penghormatan terhadap kaum perempuan. Ketidakmampuan memposisikan kaum perampuan sebagai mitra sejajar biasanya sering terjadi dalam masyarakat tradisionalis. Untuk membongkar frame berpikir seperti ini diperlukan adanya kesadaran semua pihak, baik itu pada tatanan keluarga, masyarakat bahkan negara sekalipun. Di dataran keluarga misalnya, orang tua lebih memberikan kebebasan bagi anak perempuan dalam meniti jalan hidupnya, seperti kebebasan bersekolah, kebebasan memilih jodoh dan sebagainya. Sedangkan di wilayah sosio-kemasyarakatan, kaum perempuan harus lebih dilibatkan dalam pelbagai kegiatan yang ada. Dalam wilayah negara, kaum perempuan pun ditempatkan sebagaimana mestinya.
Kedua, meningkatkan aksesabilitas pendidikan. Pendidikan yang selama ini terkesan tak ramah bagi kaum perempuan sudah saatnya untuk dibenahi. Khususnya pemberian porsi yang sepadan bagi kaum hawa. Negara dalam hal ini seharusnya bertindak bijak dalam menyikapi persoaalan aksesabiltas pendidikan.
Ketiga, menaruh kepercayaan terhadap kaum perempuan. Kurangnya kepercayaan bagi kaum perempuan terkadang menjadikan bangsa ini terkesan menutup mata terhadap kualitas kaum perempuan. Padahal, apabila mereka diberi kepercayaan, niscaya mereka akan mampu berekpresi.
Akhirnya, melalui tulisan ini mari kita belajar menghormati, menghargai hak dan martabat kaum perempuan. Bukankah perempuan mengidam-idamkan terwujudnya kesetaraan dalam pendidikan? Sudah saatnya masyarakat Jepara mengambil ruh perjuangan RA. Kartini. Semoga kita bersama mampu mengemban amanat tersebut.
Penulis adalah Praktisi Pendidikan, sedang studi lanjut di S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: