Kamis, 22 Mei 2008

Film Fitna 'Nodai Ayat-Ayat Cinta'

Film Fitna 'Nodai Ayat-Ayat Cinta'
Oleh: Mukodi, M.S.I*

Dilansir dari Majalah Rindang Depag Jawa Tengah, 2 Mei 2008

Kesabaran bangsa Indonesia kembali diuji. Belum hilang kekesalan penduduk yang mayoritas beragama Islam ini, atas dimuatnya karikatur Nabi Muhammad di majalah Denmark. Kini film fitna yang dibuat politisi ekstrem Belanda Geert Wilders kembali menyulut api emosi. Mengapa demikan? Karena film ini mendiskriditkan Islam. Islam ditempatkan sebagai agama kekerasan. Agama anti perdamaian dan anti peradaban. Ayat-ayat al-Quran dinilai sebagai pemicu tindakan teroris dan pembunuhan. Sehingga keberislaman bangsa ini pun kembali bergolak.
Utungnya, para tokoh agamawan dan tokoh politik di tanah air menyikapi dengan santun. Mereka mengimbau agar umat Islam tidak terprovokasi dan tidak emosi menanggapi film fitna yang nyata-nyata menghina Islam. Tokoh-tokoh agamawan dan politik, mulai dari KH. Hasyim Muzadai, Prof Dr Din Syamsuddin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Yusuf Kalla, Agung Laksono, dan tokoh-tokoh lainnya, dengan penuh nuansa kedamaian mengajak umat Islam agar tetap bisa berpikir jernih.
Bahkan, Sekjen PBB Ban Ki-moon, secara keras juga mengecam film Fitna tersebut. Menurutnya, tidak ada hubungannya sama sekali apa yang dilakukan politisi Wilders tersebut dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Di Belanda sendiri, tempat Geert Wilders memproduksi film fitna muncul penolakan serupa, karena dinilai film fitna nyata-nyata mengandung penghinaan terhadap umat Islam.
Walau hanya sebuah film, namun hadirnya film fitna bagi kalangan muslim telah menjadi fitnah yang sangat berbahaya. Pasalnya, film ini sangat merugikan keberislaman, sekaligus akan melahirkan ancaman baru terhadap kerukunan antar-umat beragama. Sehingga eksistensi film fitna dibelantara per-filman, seakan telah menodai ayat-ayat perdamaian. Menodai cinta-kasih, kerukunan, keharmonisan dan tepo seliro (saling menghargai) antar umat beragama. Parahnya lagi, menodai hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda.
Tepat kiranya, pribahasa yang mengatakan, "akibat nila setitik, rusaklah susu sebelanga." Sebab ide yang ada dalam film fitna tersebut, bukanlah mewakili ide umat Kristen dan Belanda (Barat), melainkan hanyalah ide sesat dari seorang rasialis yang sarat dengan muatan politis. Itulah sebabnya pemerintah Belanda sendiri, Uni Eropa dan juga PBB mengutuk keras film fitna tersebut. Karena walaupun atas nama “kebebasan” bukanlah pada tempatnya digunakan untuk menghujat agama Islam.
Bersikap Profetik
Apa yang perlu kita lakukan? Bertindak dan bersikap arif bijaksana, itulah barangkali hal yang paling tepat, bagi kaum muslim di Indonesia saat ini. Inilah momentum istimewa, untuk mempraktekkan ajaran al-Quran secara benar. Sekaligus menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai, rahmat bagi sesama. Bukan seperti yang ada dalam film fitna. Sikap etik-profetik semacam ini perlu disamaikan kepada siapa saja yang belum mengenal Islam.
Persoalannya kemudian, mampukah kaum muslim mempraktekkan sikap kenabian tersebut? Pertanyaan ini menjadi kewajaran, mengingat sampai hari ini wajah Islam masih 'garang' di mata dunia internasional. Terlebih pasca peristiwa WTC, polemik kekerasan di Irak, Pakistan dan gejolak pertikaian di negara-negara Islam lainnya. Ditambah lagi, perbedaan penafsiran teks al-Quran, acapkali menampilkan wajah buram diantara kaum muslim dibelahan dunia.
Secara politis, pemeritahan SBY-JK pun telah bertindak tepat menghadapi gejolak penolakan terhadap film fitna. Kecaman dan pencekalan Geert Wilders datang keindonesia, merupakan bukti betapa seriusnya pemerintah menanggapi isu-isu toleransi. Bahkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Prof Ir H Mohammad Nuh secara cepat menindak-lanjutinya dengan memblokir film fitna agar tidak bisa diakses secara umum. Kebijakan itu, tentunya perlu didukung dan diapresiasi secara positif.
Banyak pelajaran bisa kita petik dari kasus film fitna, baik sebagai umat beragama maupun sebagai bangsa. Menjalin hidup bersama dengan menjaga harmoni, saling toleransi, bersikap menghormati dan menjaga hubungan baik, empati, saling menolong dan masih banyak yang lain. Peristiwa ini hendaknya dapat dijadikan momentum, bahwa kita juga mesti belajar bagaimana menghargai perbedaan. Bukan hanya menghadap-hadapkan kitab suci. Apalagi memberi makna yang tak sesuai dengan subtansinya.
Untuk itu, sikap profetik yang terkandung dalam al-Quran perlu dijalankan. Bukankah al-Quran senantiasa menyerukan sikap bijak, saling nasehat-menasehati, dan berdebat secara jernih terhadap perbedaan? (Baca, al-Nahl: 125). Sehingga demontrasi yang dilakukan umat Islam belakangan ini, hendaknya dibungkus dengan nilai-nilai etika. Etika santun, ramah dan bersahaja 'ala orang Timur' harus tetap kita pegang teguh. Walau hal itu, acapkali kita nodai dengan tindakan anarkis dan kekerasan.
Di sisi yang sama, umat Islam hendaknya tidak gampang terjebak emosi dan provokasi murahan dari kelompok yang membenci Islam, karena akan merugikan keberislaman itu sendiri. Bukan tidak mungkin, motif sang pembuat film, hanya ingin sekadar mencari sensasi di dunia Islam. Harapannya, polemik yang berkembang bisa dijadikan ajang populeritas untuk meraup keuntungan politis di negaranya.
Jelasnya, apa pun motif dari Geert Wilders, dialog antar umat beragama harus tetap dibudayakan. Bahkan intensitasnya, perlu ditingkatkan agar kedamaian dan kerukunan antar umat beragama bisa terperihara. Penghinaan terhadap agama, memang sangat keterlaluan dan akan mengusik kerukunan. Akan tetapi, lewat kejernihan berpikir, umat Islam tidak perlu terbuai dalam cawan kekerasan.
Dengan begitu, walau film fitna telah menodai ayat-ayat cinta kasih keberagamaan kita. Namun dengan semangat profetik dan kebinikaan, umat Islam di Indonesia tetap harus menunjukkan wajah manisnya. Bukankah ajaran Islam mengajarkan sikap asah, asih dan asuh, tak terkeculi kepada mereka yang membenci Islam? Bukankah hal serupa pun dilakukan pula oleh Nabi Muhammad? Semoga kebersamaan kita, tidak mudah luntur oleh krikil-krikil kecil yang datang menghadang.

*Penulis adalah peneliti dan analis sosial-budaya. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta.
Sertifikasi: Meretas Budaya Tulis
Oleh: Mukodi*

Dimuat di Koran Republika, 21 Mei 2008

Tak disangkal, budaya menulis di negeri ini sangatlah rendah, kalau tidak dikatakan sangat langkah. Budaya kita masih terhenti pada budaya lisan, alias budaya tutur. Sehingga acapkali ada persoalan atau isu-isu yang seharusnya membutuhkan analisis secara tertulis dan sistematis, kita lebih senang menyelesaikannya lewat budaya tutur. Akibatnya setelah tersampaikan argumen-argumen itu kepada teman ngobrol, ide bahkan gagasan yang boleh jadi cemerlang tersebut menjadi terlupakan bahkan hilang begitu saja tanpa terdokumentasikan.
Memang benar adanya, kalau kita renungkan kata Pramoedya Ananta Toer 'bahwa orang yang tak pernah menulis akan dilupakan sejarah'. Di tengah rendahnya budaya tulis di negeri seribu etnis ini, kita patut bersyukur dengan adanya kebijakan sertifikasi yang digulirkan pemerintah dalam UU Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005.
Sertifikasi seolah membawa angin segar bagi terwujudnya budaya tulis di negeri ini. Sebab salah-satu dari persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan sertifikasi adalah bukti portofolio berupa karya pengembangan profesi, baik berupa karya ilmiah, buku maupun artikel. Sehingga tak heran, jika saat ini banyak guru dan dosen saling berlomba dalam menulis di berbagai media massa untuk bisa memenuhi standar minimal portfolio yang dibutuhkan dalam sertifikasi.
Dengan begitu, tak disadari budaya tulis di negeri ini telah dimulai secara legal formal oleh negara. Pro dan kontra mengenai kebijakan serfikasi guru dan dosen terus berlanjut, ada yang secara tegas mengecam bahkan menolak dan tak sedikit pula yang mendukungnya. Namun, menurut hemat penulis, salah satu manfaat terbesar dari kebijakan sertifikasi adalah tumbuhnya budaya tulis dikalangan para guru.
Kalau kondisi ini bisa terwujud, niscaya dunia persekolahan kita akan sedikit demi sedikit bergeser dari yang 'tak berkualitas' menjadi berkualitas. Mengapa demikian? Sebab budaya tulis ini akan melahirkan anak kandung berupa budaya baca alias gemar membaca.
Lahirnya anak kandung berupa gemar membaca ini pun dengan sendirinya akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan para guru, karena dunia tulis-menulis memerlukan bahan, dan bahan yang paling efektif adalah dengan membaca. Apabila budaya tulis-menulis benar-benar sudah menjadi bagian dari kebiasaan para guru kita, bukan tidak mungkin kemajuan pendidikan di negeri ini akan jauh lebih baik.
Budaya tulis yang dijalankan oleh para guru, secara tidak langsung akan berdampak positif terhadap berjalannya proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang dilakukan oleh seorang guru di dalam kelas. Bagaimana tidak, dengan gemar menulis berarti guru semakin kaya akan cakrawala wawasan dan pengetahuannya. Dengan begitu, wawasannya pun akan ditranformasikan kepada anak didiknya.
Di sisi lainnya, budaya tulis juga akan ikut meminimalisir kemelut kebangsaan yang akhir-akhir ini menyeruak, seperti maraknya kenakalan remaja, kasus korupsi, illegal logging, budaya amuk massa, dan persoalan-persoalan kemasyarakatan lainnya. Melalui budaya tulis, diharapkan masing-masing individu akan bisa mengungkapkan gagasan, ide bahkan memberikan solusi atas persoalan-persoalan kebangsaan yang sedang terjadi, secara lebih sistematis dan argumentatif.
Solusi-solusi yang ditawarkan pun nantinya akan terekspos/terbaca secara lebih luas, sehingga setiap orang dapat membaca dan mencermati tawaran ide yang diusulkan. Di samping itu, tingkat keilmiahan budaya tulis pun bisa dipertanggungjawabkan secara lebih baik, ketimbang dari budaya tutur yang selama ini kita jalankan.
Harus diakui, budaya tulis-menulis tentunya tidak begitu saja hadir dengan tiba-tiba, melainkan butuh proses dan kebiasaan. Agar dunia tulis-menulis bisa menjadi sebuah habit sesungguhnya hal itu bisa dimulai dari sesuatu yang kecil. Misalnya membiasakan diri dengan menulis catatan harian, berusaha mengungkapkan ide dan gagasan dengan tulisan, atau lain sejenisnya.
Secara legal formal, budaya tulis-menulis bisa dibudayakan di institusi pendidikan, terutama ditingkat sekolah dasar. Misalnya, sekolah menetapkan pelajaran tulis-menulis sebagai pelajaran muatan lokal sekolah (Mulok) atau sebagai program ekskul.
Mengapa demikian? Sebab sampai hari ini pelajaran bahasa Indonesia , disinyalir belum mampu melahirkan para penulis/sastrawan muda berbakat. Paradoksal memang realitas dunia persekolahan di negeri ini. Mata pelajaran bahasa Indonesia yang diharapkan bisa melahirkan dari garba rahimnya sosok sastrawan/esais/penulis. Belakangan ini malah menjadi semacam mata pelajaran dogmatis, menghafal dan hanya mengenal sastra, tak lebih dari itu. Indikasi sederhana bisa dibuktikan, dengan melihat prosentase para penulis yang dilahirkan dari rahim persekolahan relatif sangat minim,--kalau tidak dibilang_tidak ada. Para penulis/sastrawan/esais biasanya malah belajar secara otodidak, bukan dari proses pembelajaran di sekolahan. Bukankah hal ini perlu diperbaiki?
Terakhir, sudah saatnya budaya tulis di negeri ini kita mulai, agar kita lebih menghargai ide-ide dan gagasan yang kita miliki. Bukankah salah satu ciri bangsa besar adalah kuatnya budaya baca dan tulis? Tak inginkah kita menjadi bangsa yang maju dan bermartabat? Bukankah sakit rasanya, kita selalu dipandang sebelah mata oleh bangsa-bangsa lain? Sehingga sepantasnyalah kebijakan sertifikasi guru dan dosen ini disyukuri eksistensinya, karena akan memberi secercah asa, yaitu tumbuhnya gairah menulis di samping terpenuhinya tingkat kesejahteraan guru. Semoga kita mampu melaksanakannya.
*Penulis adalah praktisi pendidikan di Yogyakarta