Kamis, 29 Mei 2008

Dilema Politik Praktis Kiyai Kampung

Dilema Politik Praktis Kiyai Kampung
Oleh Mukodi, M.S.I


Diposting dari Harian Joglo Semar, 29 Mei 2008
Menjelang perhelatan akbar Pemilihan Gubenur (Pilgub) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, tak sedikit kiai kampung terjerembab politik praktis. Para guru ngaji yang biasanya membicarakan persoalan pendidikan santri, kini mereka aysik-masyuk membicarakan partai dan kemenangan jagoan yang diusungnya. Bahkan ada kencenderungan, kiai kampung mulai terbuai dengan kekuasaan. Inilah trend perselingkuhan para kiai masa kini.Alam demokrasi, memang membebaskan siapa saja berpolitik. Memilih- dipilih, mendukung-didukung, memback-up-diback-up adalah sah-sah saja. Namun banyak pihak menyayangkan, tatkala area perpolitikan dirambah oleh para kiai. Pasalnya, dunia politik adalah dunia “remang-remang”, beraromakan tipu-daya dan nalar kuasa. Pertimbangan itulah, sejatinya yang menjadikan beberapa kalangan menyangsikan eksistensi para guru ngaji, ustadz langgar dan kiai kampung berpolitik. Sebab modal dasar ketulusan budi, keihlasan kehendak dan ketakziman mereka, tentunya belum cukup. Bisa jadi ”keluguan” para kiai tersebut, malah dimanfaatkan oleh lawan politiknya.Banyak cerita kiai berpolitik praktis, akhirnya masuk bui merupakan pelajaran berharga. Khususnya bagi mereka yang ingin terjun di dunia politik praktis. Karena dalam kamus perpolitikan, tak mengenal etika dan rasa iba. Sehingga tepat kiranya, beberapa hari yang lalu Prof Dr Mahfudh MD mengatakan, bahwa etika politik hanya ada di buku-buku dan forum diskusi di ruang perkuliahan semata, belum berlaku di kehidupan perpolitikan kita (baca: media).Lantas apa yang mesti dilakukan kiai kampung? Itulah barangkali sikap yang harus diperjelas terlebih dahulu, tatkala para guru ngaji ini didekati para politikus untuk direkrut menjadi tim sukses. Bahkan sekadar dimintai doa dan dukungannya terhadap figur tertentu. Karena sesungguhnya doa restu sang kiai berdampak signifikan terhadap jemaah yang mengelilinginya. Baik ditingkat lokalitas desa sampai ke tingkat kecamatan dan kabupaten.Tak disangkal, pelbagai respons pun akan segera mengemuka tatkala figur kiai kampung, guru ngaji dan ustadz mesjid memihak partai atau calon pasangan tertentu. Hal ini menjadi kelaziman, sebab masyarakat kita masih terkungkung pada satu identitas keberpihakan. Sehingga tatkala si fulan memback-up/memilih figur tertentu, maka bisa dipastikan ia sudah menjadi lawannya. Parahnya lagi, mindset (cara berfikir) masyarakat kita, lawan politik dianggap sebagai lawan bermasyarakat. Inilah kerancauan logika grass root di level bawah.Menurut hemat saya, kiai kampung atau apa pun namanya hendaknya tetap berpegang pada prinsip amaliah ala pesantren. Berkhidmah untuk kemaslahatan umat itulah barometernya. Sehingga penegasan wilayah demarkasi pengabdian ini satu hal yang utama. Walau tak diragukan, alasan dasar pemilihan politik praktis sejumlah kiai sejatinya demi kemaslahatan umat. Tapi praktiknya, niat awal tersebut acapkali berbelok arah manakala gemerlap fasilitas kekuasaan menawarkan aroma “perselingkuhan”. Teguh Berprinsip Belajar pada kasus kekalahan KH Hasyim Muzadi dalam Pilpres 2004 bersama Megawati, KH Hasyim yang kala itu hanya nonaktif dari ketua umum PB NU dan didukung sejumlah kiai NU, tak berdaya menghadapi pasangan SBY-Kalla. Kekalahan itu termasuk di wilayah Jawa Timur yang merupakan basis utama NU. Apa yang dapat dipetik dari kasus tersebut? Yaitu, majunya KH Hasyim Muzadi telah menimbulkan friksi-friksi, dan pertikaian di level bawah. Bukankah hal itu, sangat disayangkan?Apalagi saat ini moment Pilgub sejumlah daerah tengah berlangsung, figur otoritas pemimpin jemaah pun jadi rebutan. Suhu politik Pilpres 2009 ikut pula memperkeruh suasana. Sehingga idealnya kiai kultural di desa-desa, mampu menjalankan fungsi stabilisator dan penenang bagi masyarakat, bukan malah menjadi mesin politik partai atau calon tertentu. Mengingat bisa dipastikan pascaPilgub Jateng konflik sengketa Pilgub akan meninggi. Di situlah hadirnya sosok kiai dan pemimpin independent yang bisa diterima semua pihak sangat dibutuhkan.Namun persoalannya, siapa yang mampu menjalankan tugas dan peran maha berat tersebut? Mampukah kiai kampung mengemban amanat ini? Berkhidmah tanpa imbalan, bekerja tanpa berharap, alias ikhlas beramal tanpa pamrih. KH Sahal Mahfud adalah satu diantara sekian kiai yang mampu menjalankan peran strategis tersebut. Walau tak dipungkiri, beliau bukan lagi sosok kiai kampung, melainkan kiai khos level nasional. Namun begitu, ia tetap teguh menjadi kiai umat, bukan kiai partai. Ia juga tidak pernah menjual popularitasnya demi jabatan. Konsistensi dan kearifan budi KH Sahal inilah hendaknya bisa dijadikan teladan bagi para kiai kampung.Karena itu, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan para kiai kampung dalam menyikapi rayuan politik praktis Pilgub Jateng. Pertama, mengendalikan nafsu kuasa. Popularitas, kehormatan, dan jabatan merupakan busana yang mengiringi kekuasaan. Maka sebagai tokoh agamawan, hendaknya kiai kampung mampu menggendalikan syahwatnya, agar tidak mudah memakai busana tersebut. Jika hal itu dilakukan, bukan tidak mungkin ia akan lalai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemuka agama. Kedua, menjauhi keberpihakan. Keperpihakan adalah bagian dari kemanusian. Tentunya sangatlah logis, manakala seseorang memiliki kecenderungan bersimpati terhadap komunitas atau individu lain. Namun persoalannya menjadi berbeda, jika seorang kiai kampung bersimpati bahkan memihak terhadap pasangan tertentu dalam pertarungan Pilgub. Karena keberpihakan ini berpretensi menimbulkan konflik internal dikomunitas jamaahnya. Sehingga pemuka agama harus pandai-pandai bersimpati dan berempati terhadap figur calon pemimpin. Ketiga, mementingkan kemaslahatan umat. Secara teoritik, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai para pengikutnya. Ia mampu memberi kedamaian bagi halaqahnya. Dengan begitu, eksistensinya sebagai imam, hendaknya bersifat umum. Menjadi rahmat bagi semua orang. Tidak dibatasi dengan sekat-sekat kepentingan partai. Netralitas identitas sang kiai inilah yang akan mengantarkannya sebagai penjaga kemaslahan umat, minimal di kampungnya.Akhirnya, kesuksesan kiai kampung dalam berpolitik hakikatnya terletak pada konsistensinya dalam membina umat. Bukankah pembina umat harus terhindar dari kepentingan apa pun? Semoga kiai kampung tetap menjadi guru kultural bagi jamaahnya. Dengan begitu, ia tetap bisa menjadi pelita disaat kampung dilanda gelap gulita.
*Penulis adalah peneliti CDASC Yogyakarta dan Aktivis Muda NU Jepara