Kamis, 13 November 2008

Pendidikan Anti Korupsi

Pendidikan Anti Korupsi
Oleh: Mukodi, M.SI*

Disampaikan Pada Diskusi Kelas Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Paradoksal memang virus korupsi di negeri kita. Korupsi, laiknya drama kolosal. Tiap hari berganti-berganti episode. Pemerannya pun, bermuka-muka. Sebagai penonton, masyarakat seolah dimanjakan. Tinggal mau melihat kasus korupsi yang mana? Mulai dijajaran eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. Semua tersaji secara lengkap.
Realitas tersebut, tentu sangat ironi. Mengingat kebanyakan koruptor adalah kaum cerdik pandai. Bahkan tak sedikit mereka, meyandang gelar doktor dan profesor. Gelar kepakaran, yang semestinya digunakan memberdayakan rakyat. Sebaliknya, malah digunakan memperdayai rakyat.
Apa yang salah dengan pendidikan kita? Barangkali pertanyaan ini yang menghinggap dihati sanubari kita. Ditengah pelbagai kesaksian dan pengakuan para koruptor di televisi.
Pertanyaan itu, menjadi wajar. Karena koruptor terlahir dari rahim institusi pendidikan. Mengurai persoalan pendidikan kita, ibarat mengurai benang kusut. Semakin diurai, semakin runyam (Prof. Mastuhu, 2002). Namun, hal mendasar yang paling merisaukan adalah persoalan kurikulum. Kurikulum pendidikan kita, nampaknya padat isi, tapi miskin refleksi (penghayatan).
Alhasil, siswa dijejali pelbagai disiplin ilmu, tapi minim wahana pengamalan. Jadi, teori sekadar teori. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Idealnya, kurikulum itu sedikit materi, keyal isi (Suparlan Suhartono, Ph.D, 2006). Walau, berganti-ganti kurikulum, nyatanya pendidikan kita masih padat materi. Sehingga pergantian kurikulum, kurang begitu efektif. Apakah hal itu, penyebab korupsi?
Mempertebal Pendidikan Agama
Imbas over load-nya muatan kurikulum kita, menyebabkan Mapel tertentu di sepelekan siswa. Salah satu contohnya adalah pendidikan agama. Kini, pendidikan agama mulai tereliminasi. Ia seakan menjadi Mata Pelajaran pelengkap. Lebih-lebih, nasib pedidikan agama di sekolah umum. Padahal, sejatinya pendidikan agama merupakan pelajaran inti. Karena didalamnya terkandung filsafat moral. Mulai dari penilaian halal-haram, boleh-tidak boleh, baik-buruk, etis-tidak etis, sampai etika lingkungan disajikan.
Jika, hal itu terus dibiarkan, bisa menjadi preseden buruk bagi out-put pendidikan kita. Analoginya sederhana, kalau dulu pendidikan agama mendapat perhatian dari siswa saja, ketika mereka dewasa dan tua tetap "hobi berkorupsi" (baca sekitar). Apalagi belakangan ini, nasib pendidikan agama diremehkan siswa, bisa jadi virus korupsi semakin beranak pinak di bumi pertiwi ini.
Untuk itu, sudah saatnya pendidikan agama dipoulerkan kembali. Mengapa hal ini penting? Sebab mempopulerkan pendidikan agama, berarti membasmi virus korupsi sejak dini. Khususnya, disanubari anak-anak. Mengingat apa pun agamanya, doktrin ajarannya selalu menempatkan korupsi sebagai musuh. Tinggal bagaimana kita mampu memformat pendididikan anti korupsi, menjadi bagian dari pendidikan agama. Itulah, yang perlu dipikirkan?
Tripartit Pendidikan
Menurut hemat saya, untuk melaksanakan pendidikan anti korupsi integral dengan pendidikan agama ada tiga cara. Ketiganya, sering disebut sebagai tripartit pendidikan, alias tri pusat pendidikan. Yaitu, pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Pertama, pendidikan anti korupsi di keluarga. Menipisnya pendidikan di keluarga, disinyalir ikut serta mengingis kepribadian anak (Kartini Kartono, 2004). Apalagi, yang terkikis itu pendidikan agama. Tentu menjadi semakin parah. Semestinya, keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak. Tak mustahil, para koruptor, waktu kecilnya kurang asupan ilmu agama di rumah. Atau mereka tak memahami nilai-nilai luhur pendidikan agamanya.
Parahnya lagi, para orang tua sudah terlanjur mempercayakan pendidikan buah hatinya sepenuhnya ke pihak sekolah. Sehingga pendidikan agama pun jarang sekali--untuk tidak mengatakan--tak pernah lagi diajarkan di keluarga. Praktis, anak-anak pun miskin ilmu agama. Menginjak dewasa, ia pun lantas tak mengenal etika. Untuk itu, pendidikan agama di keluarga harus diperkuat kembali. Harapannya, kelak ia akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang beradap, tak berkorupsi.
Kedua, pendidikan anti korupsi di sekolah. Tentu perwujudannya tak harus dilegalkan dalam bentuk Mapel baru, melainkan bisa dimasukkan dalam sub kurikulum pada pelajaran terkait. Misalnya dimasukkan pada Mapel agama, PPKN, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan sejenisnya. Dengan begitu, akhirnya pendidikan anti korupsi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pelbagai macam pelajaran. Keuntungannya, gerakan melawan korupsi bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bidang studi, melainkan tanggung jawab seluruh guru yang ada di sekolah.
Di samping itu, pendidikan anti korupsi perlu dipraktekkan secara langsung di sekolah. Misalnya, sekolah mengilangkan tradisi menyontek, memberikan penghargaan (reward) bagi siswa-siswi yang jujur dan memberikan hukuman (punishment) terhadap mereka yang berdusta. Sekolah pun perlu mengintensifkan pendidikan di luar kelas, misalnya mengajak siswa-siswi berkunjung ke tempat panti asuhan dan anak-anak jalanan. Tujuannya, agar kelak mereka tumbuh kepekaan sosialnya. Sehingga di kemudian hari, jika mereka menduduki posisi apa pun. Mereka selalu ingat dengan nasip orang-orang yang termajinalkan, alias kaum papa.
Ketiga, pendidikan anti korupsi di masyarakat. Praktiknya, di setiap event kemasyarakatan, ketua RT, RW atau pemuka lainnya hendaknya mengingatkan warganya untuk menjauhi tindak korupsi. Cara ini memang klasik, tapi efektif jika dijalankan. Minimal dapat memperkecil syahwat masyarakat berkorupsi.
Dengan demikian, akhirnya virus korupsi lambat laun akan mejadi kredil dan mati. Bukankah korupsi adalah musuh kemanusiaan yang harus dilawan? Jelasnya, pendidikan anti korupsi dapat menjadi imun terbaik untuk melawan wabah korupsi.

*Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Budaya, tinggal di Yogyakarta.

Dilema Madrasah Unggulan

Dilema Madrasah Unggulan
Oleh: Mukodi, M.S.I*


Disampaikan Pada Diskusi Kelas Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta

Memasuki abad 21, kini eksistensi madrasah di Indonesia berada serba dilematis. Di satu sisi, madrasah dituntut untuk adaptif dengan perubahan dan perkembangan zaman. Di sisi lainnya, madrasah dituntut pula untuk tetap menjaga tradisi dan ciri khas ke-madrasaan-nya.
Kedua hal itulah yang menjadikan dilema bagi keberadaan madrasah dewasa ini. Karena pilihan menempuh jalan masing-masing dari keduanya, mengandung kosekuensi logis tersendiri. Memilih menjadikan madrasah yang adaptif dengan perubahan, berarti siap meleburkan madrasah ke dalam modernitas. Imbasnya, nilai-nilai ke-salafiahan madrasah akan segera memuai dan mememudar. Sedangkan kekeh mempertahankan ciri khas madrasah, otomatis rela terhanyut ke dalam tradisi salafiyah yang mabni (konstan). Parahnya, madrasah model ini semakin sulit mendapat tempat dikalangan masyarakat modern.
Dengan demikian, tak berlebihan jika kebanyakan praktisi pendidikan meramalkan kondisi madrasah lambat laun ibarat hidup segan mati pun tak mau. Mengapa demikian? Sebab kondisi madrasah pada umumnya lemah dalam struktur dan infrastrukturnya. Apalagi madrasah yang ditangani secara salaf atau tradisional.
Indikasi keterpurukan madrasah dapat terlihat dengan jelas, dari tahun ke tahun partisipasi masyarakat untuk mengamanahkan anak-anak mereka di madrasah semakin rendah. Masyarakat seolah tak lagi menaruh harapan dari institusi pendidikan Islam. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam baik di jenjang MI, MTs, maupun MA identik menempati kelas nomor dua. Bahkan pemagzulan tersebut, berlanjut sampai di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. STAIN, IAIN dan UIN pun selalu menjadi pilihan terakhir, tatkala calon mahasiswa baru terpental dari PTN.
Reposisi Madrasah
Apa ada yang salah dengan institusi pendidikan Islam? Kalau tidak ada yang salah, kenapa sekarang institusi pendidikan Islam sulit mendapatkan tempat di hati masyarakat? Itulah pertanyaan yang selama ini menggelitik dalam benak penulis. Untuk mendapatkan jawaban yang akurat dari pertanyaan tersebut, tentu membutuhkan penelitian lebih lanjut. Namun bila menengok sejarah awal berdirinya madrasah di Indonesia, kita dapat segera menemukan jawaban sederhananya. Setidaknya, hal itu disebabkan karena pergeseran paradigma masyarakat modern.
Masyarakat modern dewasa ini lebih mengedepankan material oriented dari pada spiritual oriented. Disinyalir pergeseran paradigmatik ini akibat dari derasnya arus globalisasi dan pasar bebas. Sehingga tak mengherankan, jika lembaga pendidikan umum selalu menjadi rebutan, ketimbang lembaga pendidikan Islam. Dengan kata lain, sekolah umum menjadi anak emas dan madrasah selalu jadi anak tiri.
Dengan demikian, masyarakat modern lebih mengedepankan aneka ragam skill dan keahlian yang ditawarkan di lembaga pendidikan umum. Jadi, pilihan-pilihan itu, lantas memihak kepada sekolah-sekolah umum. Mengingat sekolah-sekolah agama (masih) miskin dengan skill keahlian. Sebaliknya, sangat kenyal dengan nilai-nilai religiusitas. Inilah tantangan terberat yang harus dipecahkan oleh para pengelola pendidikan Islam.
Pilihan-pilihan pragmatis tersebut, tentu sangat rasional di tengah himpitan perekonomian dan sulitnya lapangan pekerjaan. Walau harus diakui, tak ada jaminan bahwa tamatan sekolah umum, lebih mudah mendapatkan pekerjaan dibanding tamatan madrasah. Tapi secara jujur dapat dikatakan, bahwa aksesibiltas pendidikan umum lebih terbuka daripada pendidikan agama.
Persoalan ini sejatinya issu klasik, namun hingga kini sulit ditemukan pemecahannya. Fenomena merebaknya madrasah-madrasah salafiah (tradisional) berubah menjadi madrasah modern disejumlah daerah. Mengindikasikan lembaga pendidikan Islam mulai berbenah. Sekaligus mulai memperhitungkan posisi strategis keberadaannya di masyarakat sekitar.
Menjamurnya Pendidikan Islam Terpadu, semisal Madrasah Ibtidaiyyah Islam Terpadu (MIIT/SDIT), Madarasah Tsaniwiyyah Islam Terpadu (MTsIT/SMPIT) dan Madrasah Aliyah Islam Terpadu (MAIT/SMAIT) merupakan kabar gembira bagi dunia pendidikan kita. Namun perlu diingat, pihak pengelola hendaknya tetap konsisten menjaga garis-garis demarkasinya. Idealnya, lembaga pendidikan Islam tersebut, berada ditengah-tengah antara kesalafiahan dan kemodernan. Di sinilah, letak terberat posisi madrasah yang ikut bermetamorfosis mengenakan baju modernitas.
Bahkan Prof. Dr. Zakiah Darajat mengingatkan bahwa sikap madrasah yang terlalu konservatif akan mendorong lembaga itu terasing dan bahkan lenyap dari perkembangan modern. Sebaliknya, sikap akomodatif yang berlebihan terhadap kecenderungan pendidikan modern (sekuler), akan menjerumuskan madrasah ke dalam sistem pendidikan yang lepas dari nilai-nilai keislaman.
Di samping itu, perlu disadari pula perubahan madrasah salafiah menjadi madrasah modern (unggulan), hendaknya tidak lantas meninggikan biaya operasional madrasah. Jika hal itu terjadi, tentu menjadi preseden buruk bagi masyarakat tradisional (urban). Mengingat mayoritas konsumen madrasah adalah mereka yang berada dikalangan ekonomi menengah ke bawah. Sehingga manajemen dagang ala kapitalis, harus dibuang jauh-jauh dari benak para pengelola madrasah unggulan.
Citra Positif
Tak kalah pentingnya, meretasnya madrasah-madrasah unggulan saat ini hendaknya mampu mengayomi masyarakat kecil. Terutama menyangkut dengan pembiayaan pendidikan. Sehingga menetasnya madrasah-madrasah unggulan dari rahim lembaga pendidikan Islam, diharapkan posisinya sebagai anti tesis terhadap sekolah-sekolah unggulan. Yang sejak awal pendiriannya, identik dengan tingginya biaya operasional sekolah. Bukan sekadar dilandasi semangat persaingan 'dagang', agar bisa mematok biaya pendidikan setinggi langit.
Untuk itu, setidaknya ada tiga kiat dapat dipraktekkan para pengelola madrasah unggulan, agar tetap menjadi madrasah unggulan tetapi dengan biaya murah. Pertama, mengenakan kebijakan subsidi silang bagi wali murid yang mampu secara finansial. Kebijakan ini memang sering digembar-gemborkan pihak sekolah-sekolah unggulan, tetapi prakteknya belum maksimal. Dengan begitu, bagi wali murid yang mempunyai kecukupan finansial dikenakan beban operasional madrasah lebih tinggi. Sebaliknya, para wali murid yang berada diwilayah zona kritis, alias status ekonomi menengah ke bawah mereka diberi keringanan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Apalagi, trend yang berkembang mengindikasikan bahwa keberadaan madrasah-madrasah yang dikelola secara profesional, mulai dilirik oleh para pejabat, pengusaha-pengusaha muslim dan golongan-gologan high cllas, terutama bagi mereka yang tidak sempat lagi mengajarkan pendidikan agama di rumah. Dilevel inilah, kebijakan subsidi silang akan terasa lebih efektif manfaatnya.
Kedua, memberlakukan kebijakan orang tua asuh. Kebijakan ini menjadi menarik, mengingat masih banyak golongan elit--yang mempuyai kecukupan ekonomi--tapi tidak tahu bagaimana caranya mentasarufkan harta bendanya. Di sinilah pentingnya kerjasama antara pihak pengelola lembaga pendidikan Islam dengan instansi-instansi terkait. Semisal Rumah Zakat, BMT dan lembaga lain sejenisnya.
Ketiga, mengelola dan menjaga networking (jaringan) dengan baik. Sudah menjadi rahasia umum, jika eksistensi lembaga pendidikan Islam salah satunya ditopang oleh para donator (dermawan/aghniya'). Untuk itu, menjadi keniscahyaan apabila para pengelola madrasah unggulan, meningkatkan manajemen networkingnya secara akuntabel dan profesional.
Akhirnya, lahirnya madrasah-madrasah unggulan di pelbagai daerah saat ini tentu bisa menjadi rahmat, ditengah mahalnya biaya pendidikan. Lagi-lagi, kita berharap-harap cemas, mampukah madrasah-madrasah unggulan berani memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang memihak kepada kaum papa. Selain itu, kita berharap secara akademik agar madrasah-madrasah unggulan dapat sejajar dengan sekolah unggulan lainnya.

*Penulis adalah peneliti senior pada Madrasah Riset and Development Forum (Mardef) Yogyakarta .

Katasrofa Pendidikan Kita?

Katasrofa Pendidikan Kita?
Oleh: Mukodi, M.S.I*


Dimuat di Majalah CANDRA Dinas Pendidikan Yogyakarta.
Belum hilang dari ingatan kita, pemberitaan media massa yang mempertontonkan tinju bebas ala smackdown anak-anak muda yang tergambung dalam geng motor Bandung. Mereka menghajar sembilan remaja yang sedang melihat pemandangan dari atas jalan layang, hingga babak belur (Kompas, 2/9/2007).
Beberapa hari sesudahnya, pihak kepolisian pun berhasil meliput adegan kriminalitas sejenis. Yakni prosesi perekrutan anggota baru geng motor di kota Bandung. Kini, ingatan itu menguat kembali. Pemicunya juga sama, beredarnya video adegan premanisme geng Nero di Kota Pati. Tragisnya, anggotanya ternyata adalah para siswi di sejumlah sekolah wilayah Pati.
Kasus gengster yang terakhir ini, seolah memacu detak jantung kita lebih keras. Terutama bagi para pendidik, pemerhati pendidikan, pemerhati sosial, dan sejumlah orang tua. Pasalnya, kaum hawa (remaja putri) yang biasanya berbalutkan kain kelembutan, kasih sayang dan kemolekan budi malah merias diri mereka dengan busana kekerasan.
Padahal, Pati adalah kota kecil, kota yang dikenal ramah, kental nilai-nilai budaya jawa perdesaaan dan dikelilingi pondok pesantren salafiah. Logika sederhananya, jika di Pati saja seperti itu lantas bagaimana dengan kota-kota besar lainnya? Wajar kiranya, opini publik tergiring pada wacana bahwa sejatinya geng-geng ABG telah mengakar urat di komunitas-komunitas remaja. Hanya saja, kelompok-kelompok tersebut tak terekspos oleh media atau belum berani unjuk kebolehan.
Budaya Ngegeng
Dalam pandangan teori psikologi, terbangunnya geng-geng, klub-klub, komunitas-komunitas sebaya diantara para remaja sesungguhnya merupakan pertanda ditabuhnya masa remaja (adolesence) (Irwanto, 2002). Jadi, kasus munculnya geng motor di Bandung dan geng Nero di Pati Jawa Tengah tentu menjadi kewajaran. Permasalahan baru muncul, tatkala geng-geng tersebut, bergeser dari geng-geng lokal yang santun berafeliasi menjadi geng-geng preman-radikal.
Aksi-aksi premanisme peserta didik yang tergabung dalam geng motor tersebut, mengingatkan kita terhadap aksi-aksi serupa oleh sejumlah ormas dan organisasi akhir-akhir ini. Sebut saja, berita teranyar kasus berdarah FPI atas AKKBP pada 1 Juni di Monas, kekerasan aparat keamanan atas mahasiswa ke Universitas Nasional (Unas), tindakan barbar simpatisan partai tertentu akibat kekalahan Cagub-Cawagub dalam Pilkada di sejumlah daerah, dan tindak kekerasan lainnya.
Barangkali tindakan kekerasan para gengster ABG tersebut, sebagai pantulan atas tindakan seniornya (manusia dewasa). Karena masa remaja adalah masa-masa imitasi dan pencarian jati diri (Kartini Kartono, 1990). Ironisnya, budaya yang dipertontonkan orang dewasa saat ini adalah budaya barbar; tawuran, pertikaian, premanisme dan perselingkuhan. Salahkah, jika para remaja, menyontoh apa yang mereka saksikan sehari-hari?
Walau demikian, sebagai warga negara tentunya kita merasa prihatin dan berduka. Mungkin tergelitik pertanyaan dibenak kita, mengapa geng seolah menjadi trend di sekolah? Apakah tidak ada pilihan yang lebih bijak untuk mengisi masa-masa muda, ketimbang bergabung menjadi anggota geng? Lantas dimanakah peranan sekolah dalam membimbing peserta didiknya?
Pertanyaan semacam itu menjadi kelaziman, di tengah derasnya pemberitaan media massa atas tindakan oknom peserta didik yang berbuat ulah. Bahkan tak sedikit pihak sekolah terkesan sangat reaksionis. Sekolah yang mendapati peserta didiknya menjadi anggota geng pun mengambil tindakan. Mulai dari pemberian sanksi ringan, hingga sanksi terberat berupa pemecatan. Padahal, keprihatinan dan kekecewaan, tak harus dilakukan dengan pengusiran. Sebab hukuman ini kurang mendidik dan bisa menjadi preseden buruk terhadap perkembangan psikologi peserta didik.
Membuka Dialog
Dalam konteks ini, menurut hemat saya, pembinaan secara berkelanjutan bisa dijadikan pilihan bijak. Terutama untuk memperbaiki tingkah laku peserta didik yang nakal. Pembinaan ini tidak saja melibatkan guru, melainkan juga dari pihak orang tua siswa dan masyarakat. Sehingga sinerginitas Tri Pusat Pendidikan ini--meminjam bahasa Ki Hajar Dewantara--nantinya bisa efektif untuk mengarahkan peserta didik.
Selain itu, pihak sekolah pun harus lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan potensi peserta didiknya. Lebih-lebih di level SMP dan SMA. Karena dimasa-masa inilah tahap yang paling krusial dan menentukan. Bukan tidak mungkin, maraknya geng-geng motor dipelbagai daerah, akibat dari lemahnya responsibilitas sekolah. Minimnya aksesibilitas peserta didik dalam mengaktualisasikan diri di sekolah. Kemudian diekspresikan dengan membentuk tongrongan-tongrongan baru.
Untuk itu, mewabahnya komunitas geng-geng ABG akhir-akhir ini, hendaknya dijadikan ajang introspeksi sistemik. Khususnya bagi lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat. Di samping itu, sebagai wahana untuk mengoptimalkan organisasi-organisasi kepemudaan yang ada. Sehingga tatkala para peserta didik (remaja) terpuaskan olehnya, maka bentukan geng-geng baru akan menjadi minimal.
Namun, jika geng-geng baru terlanjur ditetaskan dari rahim komunitas ABG. Tentu tidaklah bijak, jika kita (manusia dewasa) mebuihkannya. Apalagi sampai memberangusnya. Tepat kiranya, jika kita malah melarutkan diri ke dalam komunitas-komunitas tersebut. Disinyalir sikap itu, akan membuka ruang dialog antara remaja, orang dewasa dan orang tua. Sehingga kondisi ini akan mendorong kedekatan emosional yang positif.
Dengan begitu, hubungan antar ketiganya akan menjadi harmonis. Imbasnya, para ABG akan selalu terpantau secara sosial, komunal, dan kultural. Akhirnya, pelbagai tindak negatif yang dilahirkan gengster pun dapat tereduksi. Bukan tidak mungkin aksi-aksi premanisme geng-geng ABG yang ada. Bermula dari ketidakharmonisan dan ketegangan antar generasi. Tidakkah itu, sangat disayangkan? []

* Penulis adalah Direktur L-PaS (Lembaga Pendidikan, Agama, dan Sosial) Yogyakarta. Peneliti utama CDASC Yogayakarta.

Kamis, 29 Mei 2008

Dilema Politik Praktis Kiyai Kampung

Dilema Politik Praktis Kiyai Kampung
Oleh Mukodi, M.S.I


Diposting dari Harian Joglo Semar, 29 Mei 2008
Menjelang perhelatan akbar Pemilihan Gubenur (Pilgub) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, tak sedikit kiai kampung terjerembab politik praktis. Para guru ngaji yang biasanya membicarakan persoalan pendidikan santri, kini mereka aysik-masyuk membicarakan partai dan kemenangan jagoan yang diusungnya. Bahkan ada kencenderungan, kiai kampung mulai terbuai dengan kekuasaan. Inilah trend perselingkuhan para kiai masa kini.Alam demokrasi, memang membebaskan siapa saja berpolitik. Memilih- dipilih, mendukung-didukung, memback-up-diback-up adalah sah-sah saja. Namun banyak pihak menyayangkan, tatkala area perpolitikan dirambah oleh para kiai. Pasalnya, dunia politik adalah dunia “remang-remang”, beraromakan tipu-daya dan nalar kuasa. Pertimbangan itulah, sejatinya yang menjadikan beberapa kalangan menyangsikan eksistensi para guru ngaji, ustadz langgar dan kiai kampung berpolitik. Sebab modal dasar ketulusan budi, keihlasan kehendak dan ketakziman mereka, tentunya belum cukup. Bisa jadi ”keluguan” para kiai tersebut, malah dimanfaatkan oleh lawan politiknya.Banyak cerita kiai berpolitik praktis, akhirnya masuk bui merupakan pelajaran berharga. Khususnya bagi mereka yang ingin terjun di dunia politik praktis. Karena dalam kamus perpolitikan, tak mengenal etika dan rasa iba. Sehingga tepat kiranya, beberapa hari yang lalu Prof Dr Mahfudh MD mengatakan, bahwa etika politik hanya ada di buku-buku dan forum diskusi di ruang perkuliahan semata, belum berlaku di kehidupan perpolitikan kita (baca: media).Lantas apa yang mesti dilakukan kiai kampung? Itulah barangkali sikap yang harus diperjelas terlebih dahulu, tatkala para guru ngaji ini didekati para politikus untuk direkrut menjadi tim sukses. Bahkan sekadar dimintai doa dan dukungannya terhadap figur tertentu. Karena sesungguhnya doa restu sang kiai berdampak signifikan terhadap jemaah yang mengelilinginya. Baik ditingkat lokalitas desa sampai ke tingkat kecamatan dan kabupaten.Tak disangkal, pelbagai respons pun akan segera mengemuka tatkala figur kiai kampung, guru ngaji dan ustadz mesjid memihak partai atau calon pasangan tertentu. Hal ini menjadi kelaziman, sebab masyarakat kita masih terkungkung pada satu identitas keberpihakan. Sehingga tatkala si fulan memback-up/memilih figur tertentu, maka bisa dipastikan ia sudah menjadi lawannya. Parahnya lagi, mindset (cara berfikir) masyarakat kita, lawan politik dianggap sebagai lawan bermasyarakat. Inilah kerancauan logika grass root di level bawah.Menurut hemat saya, kiai kampung atau apa pun namanya hendaknya tetap berpegang pada prinsip amaliah ala pesantren. Berkhidmah untuk kemaslahatan umat itulah barometernya. Sehingga penegasan wilayah demarkasi pengabdian ini satu hal yang utama. Walau tak diragukan, alasan dasar pemilihan politik praktis sejumlah kiai sejatinya demi kemaslahatan umat. Tapi praktiknya, niat awal tersebut acapkali berbelok arah manakala gemerlap fasilitas kekuasaan menawarkan aroma “perselingkuhan”. Teguh Berprinsip Belajar pada kasus kekalahan KH Hasyim Muzadi dalam Pilpres 2004 bersama Megawati, KH Hasyim yang kala itu hanya nonaktif dari ketua umum PB NU dan didukung sejumlah kiai NU, tak berdaya menghadapi pasangan SBY-Kalla. Kekalahan itu termasuk di wilayah Jawa Timur yang merupakan basis utama NU. Apa yang dapat dipetik dari kasus tersebut? Yaitu, majunya KH Hasyim Muzadi telah menimbulkan friksi-friksi, dan pertikaian di level bawah. Bukankah hal itu, sangat disayangkan?Apalagi saat ini moment Pilgub sejumlah daerah tengah berlangsung, figur otoritas pemimpin jemaah pun jadi rebutan. Suhu politik Pilpres 2009 ikut pula memperkeruh suasana. Sehingga idealnya kiai kultural di desa-desa, mampu menjalankan fungsi stabilisator dan penenang bagi masyarakat, bukan malah menjadi mesin politik partai atau calon tertentu. Mengingat bisa dipastikan pascaPilgub Jateng konflik sengketa Pilgub akan meninggi. Di situlah hadirnya sosok kiai dan pemimpin independent yang bisa diterima semua pihak sangat dibutuhkan.Namun persoalannya, siapa yang mampu menjalankan tugas dan peran maha berat tersebut? Mampukah kiai kampung mengemban amanat ini? Berkhidmah tanpa imbalan, bekerja tanpa berharap, alias ikhlas beramal tanpa pamrih. KH Sahal Mahfud adalah satu diantara sekian kiai yang mampu menjalankan peran strategis tersebut. Walau tak dipungkiri, beliau bukan lagi sosok kiai kampung, melainkan kiai khos level nasional. Namun begitu, ia tetap teguh menjadi kiai umat, bukan kiai partai. Ia juga tidak pernah menjual popularitasnya demi jabatan. Konsistensi dan kearifan budi KH Sahal inilah hendaknya bisa dijadikan teladan bagi para kiai kampung.Karena itu, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan para kiai kampung dalam menyikapi rayuan politik praktis Pilgub Jateng. Pertama, mengendalikan nafsu kuasa. Popularitas, kehormatan, dan jabatan merupakan busana yang mengiringi kekuasaan. Maka sebagai tokoh agamawan, hendaknya kiai kampung mampu menggendalikan syahwatnya, agar tidak mudah memakai busana tersebut. Jika hal itu dilakukan, bukan tidak mungkin ia akan lalai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemuka agama. Kedua, menjauhi keberpihakan. Keperpihakan adalah bagian dari kemanusian. Tentunya sangatlah logis, manakala seseorang memiliki kecenderungan bersimpati terhadap komunitas atau individu lain. Namun persoalannya menjadi berbeda, jika seorang kiai kampung bersimpati bahkan memihak terhadap pasangan tertentu dalam pertarungan Pilgub. Karena keberpihakan ini berpretensi menimbulkan konflik internal dikomunitas jamaahnya. Sehingga pemuka agama harus pandai-pandai bersimpati dan berempati terhadap figur calon pemimpin. Ketiga, mementingkan kemaslahatan umat. Secara teoritik, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai para pengikutnya. Ia mampu memberi kedamaian bagi halaqahnya. Dengan begitu, eksistensinya sebagai imam, hendaknya bersifat umum. Menjadi rahmat bagi semua orang. Tidak dibatasi dengan sekat-sekat kepentingan partai. Netralitas identitas sang kiai inilah yang akan mengantarkannya sebagai penjaga kemaslahan umat, minimal di kampungnya.Akhirnya, kesuksesan kiai kampung dalam berpolitik hakikatnya terletak pada konsistensinya dalam membina umat. Bukankah pembina umat harus terhindar dari kepentingan apa pun? Semoga kiai kampung tetap menjadi guru kultural bagi jamaahnya. Dengan begitu, ia tetap bisa menjadi pelita disaat kampung dilanda gelap gulita.
*Penulis adalah peneliti CDASC Yogyakarta dan Aktivis Muda NU Jepara

Kamis, 22 Mei 2008

Film Fitna 'Nodai Ayat-Ayat Cinta'

Film Fitna 'Nodai Ayat-Ayat Cinta'
Oleh: Mukodi, M.S.I*

Dilansir dari Majalah Rindang Depag Jawa Tengah, 2 Mei 2008

Kesabaran bangsa Indonesia kembali diuji. Belum hilang kekesalan penduduk yang mayoritas beragama Islam ini, atas dimuatnya karikatur Nabi Muhammad di majalah Denmark. Kini film fitna yang dibuat politisi ekstrem Belanda Geert Wilders kembali menyulut api emosi. Mengapa demikan? Karena film ini mendiskriditkan Islam. Islam ditempatkan sebagai agama kekerasan. Agama anti perdamaian dan anti peradaban. Ayat-ayat al-Quran dinilai sebagai pemicu tindakan teroris dan pembunuhan. Sehingga keberislaman bangsa ini pun kembali bergolak.
Utungnya, para tokoh agamawan dan tokoh politik di tanah air menyikapi dengan santun. Mereka mengimbau agar umat Islam tidak terprovokasi dan tidak emosi menanggapi film fitna yang nyata-nyata menghina Islam. Tokoh-tokoh agamawan dan politik, mulai dari KH. Hasyim Muzadai, Prof Dr Din Syamsuddin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Yusuf Kalla, Agung Laksono, dan tokoh-tokoh lainnya, dengan penuh nuansa kedamaian mengajak umat Islam agar tetap bisa berpikir jernih.
Bahkan, Sekjen PBB Ban Ki-moon, secara keras juga mengecam film Fitna tersebut. Menurutnya, tidak ada hubungannya sama sekali apa yang dilakukan politisi Wilders tersebut dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Di Belanda sendiri, tempat Geert Wilders memproduksi film fitna muncul penolakan serupa, karena dinilai film fitna nyata-nyata mengandung penghinaan terhadap umat Islam.
Walau hanya sebuah film, namun hadirnya film fitna bagi kalangan muslim telah menjadi fitnah yang sangat berbahaya. Pasalnya, film ini sangat merugikan keberislaman, sekaligus akan melahirkan ancaman baru terhadap kerukunan antar-umat beragama. Sehingga eksistensi film fitna dibelantara per-filman, seakan telah menodai ayat-ayat perdamaian. Menodai cinta-kasih, kerukunan, keharmonisan dan tepo seliro (saling menghargai) antar umat beragama. Parahnya lagi, menodai hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda.
Tepat kiranya, pribahasa yang mengatakan, "akibat nila setitik, rusaklah susu sebelanga." Sebab ide yang ada dalam film fitna tersebut, bukanlah mewakili ide umat Kristen dan Belanda (Barat), melainkan hanyalah ide sesat dari seorang rasialis yang sarat dengan muatan politis. Itulah sebabnya pemerintah Belanda sendiri, Uni Eropa dan juga PBB mengutuk keras film fitna tersebut. Karena walaupun atas nama “kebebasan” bukanlah pada tempatnya digunakan untuk menghujat agama Islam.
Bersikap Profetik
Apa yang perlu kita lakukan? Bertindak dan bersikap arif bijaksana, itulah barangkali hal yang paling tepat, bagi kaum muslim di Indonesia saat ini. Inilah momentum istimewa, untuk mempraktekkan ajaran al-Quran secara benar. Sekaligus menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai, rahmat bagi sesama. Bukan seperti yang ada dalam film fitna. Sikap etik-profetik semacam ini perlu disamaikan kepada siapa saja yang belum mengenal Islam.
Persoalannya kemudian, mampukah kaum muslim mempraktekkan sikap kenabian tersebut? Pertanyaan ini menjadi kewajaran, mengingat sampai hari ini wajah Islam masih 'garang' di mata dunia internasional. Terlebih pasca peristiwa WTC, polemik kekerasan di Irak, Pakistan dan gejolak pertikaian di negara-negara Islam lainnya. Ditambah lagi, perbedaan penafsiran teks al-Quran, acapkali menampilkan wajah buram diantara kaum muslim dibelahan dunia.
Secara politis, pemeritahan SBY-JK pun telah bertindak tepat menghadapi gejolak penolakan terhadap film fitna. Kecaman dan pencekalan Geert Wilders datang keindonesia, merupakan bukti betapa seriusnya pemerintah menanggapi isu-isu toleransi. Bahkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Prof Ir H Mohammad Nuh secara cepat menindak-lanjutinya dengan memblokir film fitna agar tidak bisa diakses secara umum. Kebijakan itu, tentunya perlu didukung dan diapresiasi secara positif.
Banyak pelajaran bisa kita petik dari kasus film fitna, baik sebagai umat beragama maupun sebagai bangsa. Menjalin hidup bersama dengan menjaga harmoni, saling toleransi, bersikap menghormati dan menjaga hubungan baik, empati, saling menolong dan masih banyak yang lain. Peristiwa ini hendaknya dapat dijadikan momentum, bahwa kita juga mesti belajar bagaimana menghargai perbedaan. Bukan hanya menghadap-hadapkan kitab suci. Apalagi memberi makna yang tak sesuai dengan subtansinya.
Untuk itu, sikap profetik yang terkandung dalam al-Quran perlu dijalankan. Bukankah al-Quran senantiasa menyerukan sikap bijak, saling nasehat-menasehati, dan berdebat secara jernih terhadap perbedaan? (Baca, al-Nahl: 125). Sehingga demontrasi yang dilakukan umat Islam belakangan ini, hendaknya dibungkus dengan nilai-nilai etika. Etika santun, ramah dan bersahaja 'ala orang Timur' harus tetap kita pegang teguh. Walau hal itu, acapkali kita nodai dengan tindakan anarkis dan kekerasan.
Di sisi yang sama, umat Islam hendaknya tidak gampang terjebak emosi dan provokasi murahan dari kelompok yang membenci Islam, karena akan merugikan keberislaman itu sendiri. Bukan tidak mungkin, motif sang pembuat film, hanya ingin sekadar mencari sensasi di dunia Islam. Harapannya, polemik yang berkembang bisa dijadikan ajang populeritas untuk meraup keuntungan politis di negaranya.
Jelasnya, apa pun motif dari Geert Wilders, dialog antar umat beragama harus tetap dibudayakan. Bahkan intensitasnya, perlu ditingkatkan agar kedamaian dan kerukunan antar umat beragama bisa terperihara. Penghinaan terhadap agama, memang sangat keterlaluan dan akan mengusik kerukunan. Akan tetapi, lewat kejernihan berpikir, umat Islam tidak perlu terbuai dalam cawan kekerasan.
Dengan begitu, walau film fitna telah menodai ayat-ayat cinta kasih keberagamaan kita. Namun dengan semangat profetik dan kebinikaan, umat Islam di Indonesia tetap harus menunjukkan wajah manisnya. Bukankah ajaran Islam mengajarkan sikap asah, asih dan asuh, tak terkeculi kepada mereka yang membenci Islam? Bukankah hal serupa pun dilakukan pula oleh Nabi Muhammad? Semoga kebersamaan kita, tidak mudah luntur oleh krikil-krikil kecil yang datang menghadang.

*Penulis adalah peneliti dan analis sosial-budaya. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta.
Sertifikasi: Meretas Budaya Tulis
Oleh: Mukodi*

Dimuat di Koran Republika, 21 Mei 2008

Tak disangkal, budaya menulis di negeri ini sangatlah rendah, kalau tidak dikatakan sangat langkah. Budaya kita masih terhenti pada budaya lisan, alias budaya tutur. Sehingga acapkali ada persoalan atau isu-isu yang seharusnya membutuhkan analisis secara tertulis dan sistematis, kita lebih senang menyelesaikannya lewat budaya tutur. Akibatnya setelah tersampaikan argumen-argumen itu kepada teman ngobrol, ide bahkan gagasan yang boleh jadi cemerlang tersebut menjadi terlupakan bahkan hilang begitu saja tanpa terdokumentasikan.
Memang benar adanya, kalau kita renungkan kata Pramoedya Ananta Toer 'bahwa orang yang tak pernah menulis akan dilupakan sejarah'. Di tengah rendahnya budaya tulis di negeri seribu etnis ini, kita patut bersyukur dengan adanya kebijakan sertifikasi yang digulirkan pemerintah dalam UU Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005.
Sertifikasi seolah membawa angin segar bagi terwujudnya budaya tulis di negeri ini. Sebab salah-satu dari persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan sertifikasi adalah bukti portofolio berupa karya pengembangan profesi, baik berupa karya ilmiah, buku maupun artikel. Sehingga tak heran, jika saat ini banyak guru dan dosen saling berlomba dalam menulis di berbagai media massa untuk bisa memenuhi standar minimal portfolio yang dibutuhkan dalam sertifikasi.
Dengan begitu, tak disadari budaya tulis di negeri ini telah dimulai secara legal formal oleh negara. Pro dan kontra mengenai kebijakan serfikasi guru dan dosen terus berlanjut, ada yang secara tegas mengecam bahkan menolak dan tak sedikit pula yang mendukungnya. Namun, menurut hemat penulis, salah satu manfaat terbesar dari kebijakan sertifikasi adalah tumbuhnya budaya tulis dikalangan para guru.
Kalau kondisi ini bisa terwujud, niscaya dunia persekolahan kita akan sedikit demi sedikit bergeser dari yang 'tak berkualitas' menjadi berkualitas. Mengapa demikian? Sebab budaya tulis ini akan melahirkan anak kandung berupa budaya baca alias gemar membaca.
Lahirnya anak kandung berupa gemar membaca ini pun dengan sendirinya akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan para guru, karena dunia tulis-menulis memerlukan bahan, dan bahan yang paling efektif adalah dengan membaca. Apabila budaya tulis-menulis benar-benar sudah menjadi bagian dari kebiasaan para guru kita, bukan tidak mungkin kemajuan pendidikan di negeri ini akan jauh lebih baik.
Budaya tulis yang dijalankan oleh para guru, secara tidak langsung akan berdampak positif terhadap berjalannya proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang dilakukan oleh seorang guru di dalam kelas. Bagaimana tidak, dengan gemar menulis berarti guru semakin kaya akan cakrawala wawasan dan pengetahuannya. Dengan begitu, wawasannya pun akan ditranformasikan kepada anak didiknya.
Di sisi lainnya, budaya tulis juga akan ikut meminimalisir kemelut kebangsaan yang akhir-akhir ini menyeruak, seperti maraknya kenakalan remaja, kasus korupsi, illegal logging, budaya amuk massa, dan persoalan-persoalan kemasyarakatan lainnya. Melalui budaya tulis, diharapkan masing-masing individu akan bisa mengungkapkan gagasan, ide bahkan memberikan solusi atas persoalan-persoalan kebangsaan yang sedang terjadi, secara lebih sistematis dan argumentatif.
Solusi-solusi yang ditawarkan pun nantinya akan terekspos/terbaca secara lebih luas, sehingga setiap orang dapat membaca dan mencermati tawaran ide yang diusulkan. Di samping itu, tingkat keilmiahan budaya tulis pun bisa dipertanggungjawabkan secara lebih baik, ketimbang dari budaya tutur yang selama ini kita jalankan.
Harus diakui, budaya tulis-menulis tentunya tidak begitu saja hadir dengan tiba-tiba, melainkan butuh proses dan kebiasaan. Agar dunia tulis-menulis bisa menjadi sebuah habit sesungguhnya hal itu bisa dimulai dari sesuatu yang kecil. Misalnya membiasakan diri dengan menulis catatan harian, berusaha mengungkapkan ide dan gagasan dengan tulisan, atau lain sejenisnya.
Secara legal formal, budaya tulis-menulis bisa dibudayakan di institusi pendidikan, terutama ditingkat sekolah dasar. Misalnya, sekolah menetapkan pelajaran tulis-menulis sebagai pelajaran muatan lokal sekolah (Mulok) atau sebagai program ekskul.
Mengapa demikian? Sebab sampai hari ini pelajaran bahasa Indonesia , disinyalir belum mampu melahirkan para penulis/sastrawan muda berbakat. Paradoksal memang realitas dunia persekolahan di negeri ini. Mata pelajaran bahasa Indonesia yang diharapkan bisa melahirkan dari garba rahimnya sosok sastrawan/esais/penulis. Belakangan ini malah menjadi semacam mata pelajaran dogmatis, menghafal dan hanya mengenal sastra, tak lebih dari itu. Indikasi sederhana bisa dibuktikan, dengan melihat prosentase para penulis yang dilahirkan dari rahim persekolahan relatif sangat minim,--kalau tidak dibilang_tidak ada. Para penulis/sastrawan/esais biasanya malah belajar secara otodidak, bukan dari proses pembelajaran di sekolahan. Bukankah hal ini perlu diperbaiki?
Terakhir, sudah saatnya budaya tulis di negeri ini kita mulai, agar kita lebih menghargai ide-ide dan gagasan yang kita miliki. Bukankah salah satu ciri bangsa besar adalah kuatnya budaya baca dan tulis? Tak inginkah kita menjadi bangsa yang maju dan bermartabat? Bukankah sakit rasanya, kita selalu dipandang sebelah mata oleh bangsa-bangsa lain? Sehingga sepantasnyalah kebijakan sertifikasi guru dan dosen ini disyukuri eksistensinya, karena akan memberi secercah asa, yaitu tumbuhnya gairah menulis di samping terpenuhinya tingkat kesejahteraan guru. Semoga kita mampu melaksanakannya.
*Penulis adalah praktisi pendidikan di Yogyakarta

Jumat, 04 April 2008

Kinerja Komite Sekolah

Kinerja Komite Sekolah
Oleh: Mukodi, S. Pd.I*

Dimuat di Radar Banjar Masin, 3 April 2008

Dewasa ini keberadaan komite sekolah di tengah masyarakat pengguna jasa pendidikan, rasanya tak asing lagi, khususnya bagi para orang tua/ wali peserta didik. Bagaimana tidak, setiap ada pelbagai persoalan yang menyangkut hajat sekolah, di sana pula ada komite sekolah/madrasah yang ikut berperan aktif.
Secara historis, komite sekolah lahir dari rahim kebijakan pengganti Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0293/U/1993 tentang Pembentukan Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Pergantian nama dari BP3 menjadi komite sekolah seolah menagasikan bahwa pemerintah mulai serius mendorong peran aktif masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Bahkan keseriusan ini tercermin pula dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Tepatnya pada pasal 1 ayat (24) yang berbunyi; Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. Dan ayat (25) Komite Sekolah/Madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komite sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
Persoalannya kemudian adalah sejauhmana komite sekolah mampu meningkatkan kinerja sekolah? Mampukah komite sekolah mensinergikan sekolah yang bersangkutan? Pertanyaan semacam ini menjadi kelaziman, mengingat hingga saat ini tak sedikit sekolah yang lamban meningkatkan kualitas para lulusannya. Diperparah lagi dengan datangnya musibah (bencana) yang datang silih berganti, kenaikan harga sejumlah bahan pokok, dan krisis multi dimensi yang tak kunjung usai, disinyalir akan banyak sekolah yang semakin terpuruk. Ini semua merupakan tantangan berat bagi pihak sekolah, bersama komite sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolah.
Fungsi Komite Sekolah
Tak dipungkiri, bahwa maju mundurnya suatu sekolah sesungguhnya bergantung pada tiga komponen dasar. Yaitu kepala sekolah bersama para stafnya, komite sekolah dan partisipasi aktif masyarakat sekitar. Sehingga ketiga kompenen ini idealnya harus berjalan seirama, dan sehaluan. Untuk itu, dibutuhkan adanya stabilisator (penyeimbang), agar roda sekolah bisa berjalan sesuai dengan visi dan misi sekolah yang bersangkutan.
Di sinilah, peran komite sekolah diharapkan bisa menempati wilayah yang strategis tersebut. Mengapa komite sekolah yang harus menempati post ini? Sebab ditilik berdasar pada acuan pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah, komite sekolah berfungsi sebagai; pemberi pertimbangan (Advisory Agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.
Pendukung (Supporting Agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengontrol (Controlling Agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan dan mediator antara pemerintah (Eksekutif) dan DPRD (Legislatif) dengan masyarakat.
Di samping itu, komite sekolah juga berfungsi diantaranya mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Melaksanakan kerjasama dengan masyarakat perseorangan/organisasi, pemerintah dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Menampung dan menganalisa aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan peningkatan pendidikan termasuk melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan.
Pelbagai fungsi, tugas dan tanggung jawab dewan pendidikan serta komite sekolah yang sangat berat tersebut, tentunya membutuhkan figur anggota komite sekolah yang benar-benar solid. Baik solid dalam menggalang ide-ide kreatif, inovatif dan visioner dari masyarakat, maupun kompak dalam mengawal visi dan misi sekolah. Sehingga pihak sekolah pun dituntut kerja ekstra, untuk mencari dan menemukan sosok ideal anggota komite sekolah yang memenuhi kreateria semacam ini.
Revitalisasi Kinerja
Seiring bergulirnya era otonomi sekolah dan berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP), kini sekolah menjalani babak baru. Babak dimana kreatifitas dan kepiawaian sekolah dipertaruhkan. Mengapa demikian? Karena otonomi sekolah dan KTSP mensyaratkan adanya kemandirian dan kreatifitas. Semakin kreatif suatu sekolah dalam beradaptasi, membaca peluang dan menutupi kekurangannya, maka ia akan bertahan bahkan bisa berkembang. Sebaliknya, semakin statis suatu sekolah, maka ia pun akan segera meredup dan akhirnya gugur berjatuhan.
Apalagi di era sekarang ini, media informasi sedemikian derasnya sehingga masyarakat dengan mudah dapat mencari kategori sekolah yang dianggap berkualitas lewat internet. Dengan begitu, sekolah dituntut segera melakukan revitalisasi kinerjanya. Artinya sekolah bersama komite sekolah dan masyarakat sekitar harus segera memetakan master plan-nya (rencana pokok) program kerja sekolah secara jelas. Keterukuran terlaksananya indikator suatu program merupakan barometer master plan ini. Sehingga daya forecasting atau peramalan secara mendalam dari setiap indikator pun akhirnya menjadi penentu. Berjalan atau mandeknya sekolah tersebut mewujudkan mimpinya.
Terkait hal itu, komite sekolah yang berasal dari "jelmaan" wali murid, pemerhati pendidikan, tokoh masyarakat, dan masyarakat sekitar diharapkan bisa menjadi mitra sejajar sekolah, agar bisa mengantarkan sekolah bersaing di era mendatang. Terlebih belakangan ini, banyak negara maju mulai gencar mempromosikan lembaga-lembaga pendidikan mereka di Indonesia. Seiring akan bergulirnya AFTA, NAFTA dan pasar bebas. Hal ini tentunya berdampak pada; meningkatnya jumlah peserta didik yang belajar ke luar negeri, dibukanya kelas jauh yang berafiliasi ke lembaga di negara maju tersebut, pembelajaran jarak jauh (distance learning) melalui media internet, dan lain sebagainya.
Menyikapi fenomena tersebut, diperlukan adanya komitmen, loyalitas dan kebersamaan antara pihak sekolah, komite sekolah dan peran aktif masyarakat untuk menggalang kekuatan. Kekuatan untuk merekayasa menciptakan sekolah yang lebih berkualitas. Baik berkualitas secara akademik, pelayanan kemasyarakatan, maupun berkualitas akhlakul karimah para lulusannya. Akhirnya hanya dengan kinerja yang baiklah, hal itu bisa terwujud. Dengan begitu, niscaya hadirnya sekolah unggulan akan segera terpenuhi. []
*) Penulis adalah Paktisi Pendidikan, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kamis, 03 April 2008

Pendidikan Sastra Ala 'Ayat-Ayat Cinta"

Pendidikan sastra ala 'Ayat-ayat Cinta'
Oleh: Mukodi, S.Pd.I*
Dilansir dari Koran Sore Wawasan, 2 April 2008

BELAKANGAN ini, sebagian besar kaum muda kita baru terjangkit gejala demam. Demam yang pada mulanya mewabah di kalangan para remaja, kini mulai menular ke kalangan anak-anak, bahkan tak sedikit orang dewasa dan kaum tua pun ikut tertular. Ya, ’’demam Ayat- Ayat Cinta,” demikianlah, barangkali simiotik bahasa membahasakannya. Bahkan layaknya virus, sindrom AAC menyebar secara cepat seantero nusantara.
Tak dipungkiri, novel Ayat-Ayat Cinta karangan Habiburrahman El Shirazy yang kemudian difilmkan besutan sutradara Hanung Bramantyo seakan menjadi obat penghibur, di tengah kejenuhan publik akan tontonan film-film religius yang digarap secara berlebih. Bagi sebagian siswa, film AAC seolah menjadi media penyegar (refresh). Mengingat persiapan Ujian Nasional (UN) baik di tingkat SD (UASBN), SMP maupun SMA di bulan Mei mendatang, banyak menguras energi mereka.
Tak mengherankan, jika sebagian besar peserta didik saat ini sangat antusias untuk menyaksikan film AAC. Tentunya, dengan motif dan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang sekadar ingin mencocokkan isi novel dengan ilustrasi film AAC, sebagain lainnya hanya penasaran dan ada pula yang murni ingin menghilangkan kepenatan rutinitas belajar. Jelasnya, film AAC bagi para peserta didik bisa menjadi asupan gizi yang menyehatkan.
Di sisi yang sama, bagi sebagian kalangan dewasa, orang tua, dan masyarakat pada umumnya, hadirnya film AAC ini seakan menjadi obat generik. Pelipur lara di saat bahan sembako beralih harga, dari ’’hampir terjangkau” menjadi ’’tak terjangkau.” Sulit dan mahalnya minyak tanah, minimnya lahan kerja, bencana banjir, tanah longgsor yang datang silihberganti, dan keluh kesah semacamnya. Singkatnya, masyarakat kian terhibur dan sejenak melupakan beragam persoalan kehidupan yang semakin mengimpit.
Meledaknya film AAC menjadi film favorit dikalangan anak-anak, remaja bahkan kaum tua seolah menggambarkan apresiasi yang tinggi masyarakat akan dunia per-filman. Sekaligus menjadi pertanda, mulai bangkitnya karya sastra di kalangan remaja, khususnya para peserta didik. Terbukti predikat novel AAC menjadi novel yang paling dicari di kalangan remaja, alias novel best seller di tokotoko buku.
Realitas tersebut, tentunya sangat membanggakan bagi dunia pendidikan kita. Sebab streotip yang berkembang selama ini menyebutkan bahwa budaya baca sastra di kalangan peserta didik sangat lemah. Dengan demikian, fenomena ’’demamnya” kaum muda terhadap novel AAC bisa menjadi titik tolak bangkitnya dunia sastra. Sekadar mengingatkan, sesungguhnya masih banyak karya sastra bermutu tinggi, tapi sekian lama terabaikan.
Novel Sitti Nurbaya misalnya, yang menceritakan kawin paksa di daerah Minangkabau. Abdul Moeis dengan novelnya Salah Asuhan yang mengajukan gambaran anak muda didikan Eropa yang hendak bebas dan kebaratbaratan (baca: menjadi barat). Selain itu, Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dengan sajak terkenal Menuju ke Laut. Mochtar Lubis, dengan karya fenomenalnya berjudul, Jalan Tak Ada Ujung dan masih banyak karya sastra besar lainnya. Baik di masa periode pra kemerdekaan hingga periode era modern yang patut dijadikan referensi bacaan.
Apa yang ingin saya katakan di sini, tak lain adalah tingginya animo para peserta didik (kaum muda) membaca novel AAC hendaknya bisa dijadikan momentum yang tepat oleh para pendidik. Terlebih untuk mempopulerkan karya-karya sastra di lingkungan sekolah. Persoalannya kemudian, sejauhmana komitmen pihak sekolah memopulerkan karyakarya sastra tersebut? Sejauhmana pula upaya sekolah untuk membangkitkan minat baca sastra di sekolah?
Tantangan sekolah Pertanyaan-pertanyaan tersebut, merupakan suatu kewajaran mengingat tak banyak peserta didik yang suka terhadap karya sastra. Rendahnya peserta didik mengenal, selanjutnya mencintai karya sastra disinyalisasi akibat dari kurang cakapnya seorang pendidik dalam menyampaikan pelajaran sastra.
Diperparah pula, dengan minimnya bahan bacaan pendidik mengenai karya sastra. Sehingga proses belajar mengajar karya sastra, yang dibungkus Mapel Bahasa Indonesia menjadi monoton dan kering dengan analisis. Apalagi sampai pada kritik pendidik terhadap sebuah teks sastra, hampir dipastikan tidak ditemukan.
Di samping itu, padatnya materi yang harus disampaikan kepada peserta didik membuat pelajaran sastra terasa hambar dan kaku. Padahal, semestinya pelajaran sastra merupakan pelajaran yang sangat menarik dan menyenangkan. Sebab pelajaran sastra, tidak saja melatih keterampilan para peserta didik bagaimana caranya menulis, mengarang dan mengkritisi tulisan secara baik dan benar. Di sana pula, dikisahkan pelbagai pemikiran para tokoh, sastrawan dan bujangga meretas karya-karyanya.
Setidaknya ada tiga solusi alternatif dapat dilakukan pihak sekolah untuk memopulerkan karya sastra di kalangan pelajar. Pertama, dibutuhkannya tenaga pendidik yang benar-benar profesional di bidang sastra. Hadirnya pendidik yang kompeten di bidang sastra menjadi kata kunci. Mengapa demikian? Sebab tak sulit dijumpai dibeberapa sekolah, masih menggunakan jasa pendidik yang mismatch di Mapel Bahasa Indonesia.
Dengan kata lain, para pendidik yang mengampu Mapel Bahasa Indonesia tidak mempunyai basic keilmuan yang sesuai. Akibatnya, proses belajar mengajar Bahasa Indonesia disampaikan dengan strategi ’’asal jalan” dan metode ’’otoriter.” Pola pendidikan seperti ini hendaknya segera diubah oleh pihak sekolah, karena hal ini akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan dunia pendidikan sastra kita. Sastra akan kehilangan ruh nilai-nilai adiluhungnya, bahkan lambat laun peserta didik pun akan semakin terasing dengan karya sastra.
Kedua, diperlukan kebijakan gemar membaca sastra di sekolah. Solusi ini memang terkesan klasik, acapkali diperbincangkan dipelbagai forum. Namun jarang dijalankan ’kalau tidak dikatakan’ tidak pernah dijalankan. Kebijakan gemar membaca sastra menjadi sangat penting. Seiring semakin redupnya budaya baca sastra di kalangan kaum muda. Kebijakan ini diharapkan bisa menjadi pemicu minat baca di kalangan peserta didik sejak dini. Untuk itu, perpustakaan sekolah harus tersedia referensi sastra yang cukup.
Ketiga, perlunya muatan lokal (mulok) atau ekstrakulikuler (ekskul) sastra. Kebijakan ini merupakan strategi sekolah untuk menyiasati minimnya alokasi waktu Mapel Bahasa Indonesia. Mulok/ekskul sastra juga dapat dijadikan wadah/komunitas bagi peserta didik untuk mengasah kecerdasan sastra. Sehingga kurikulum mulok/ekskul sastra hendaknya difokuskan untuk mem-back-up proses KBM Mapel Bahasa Indonesia, di samping sebagai proses pengkayaan. kurikulumnya, bisa berfariasi di antaranya; cara tulis-menulis cerpen, novel dan esai, forum kritik sastra, dan ajang baca sastra.
Dengan begitu, diharapkan kaum muda kita bisa mengenal, dan mencintai kekayaan adiluhung sastra. Bukankah novel AAC merupakan bagian kecil dari sastra kita? hf

Penulis adalah Pegiat Sastra Indonesia, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Minggu, 10 Februari 2008

Sertifikasi dan Kesejahteraan Guru

Sertifikasi dan Kesejahteraan Guru
Oleh: Mukodi, S.Pd. I*
Dimuat Koran Kedaulatan Rakyat

Sertifikasi adalah awal menuju pendidikan berkualitas, sekaligus menjadi penentu kesejahteraan guru yang selama ini terabaikan.
Bagi para guru dan dosen, saat ini mereka bisa sedikit tersenyum dan bermimpi akan kesejahteraan. Pasalnya, hadirnya UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 seolah membawa angin sejuk terwujudnya setitik asa. Asa itu adalah kesejahteraan, yang dulu masih dianggap sakral dan tabuh diperbincangkan. Pertanyaannya kemudian, apakah kehadiran UUGD tersebut bisa benar-benar memperbaiki benang kusut pendidikan? Apakah dengan sertifikasi guru benar-benar berdampak positif terhadap profesionalitas seorang guru? Mungkinkah sertifikasi bisa mengembalikan citra guru menjadi sosok digugu dan ditiru sekaligus meningkatkan kesejahteraannya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seakan menjadi kewajaran dan acapkali diperbincangkan banyak pakar, dan para guru. Apalagi, ditengah bergulirnya pergantian Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sungguh terwujudnya sertifikasi pendidik di semua jenjang pendidikan merupakan satu terobosan baru bagi dunia pendidikan. Terlebih sertifikasi juga diharapkan bisa meningkatkan kualitas para guru menjadi guru yang lebih profesional di tengah terpuruknya pendidikan nasional.
Menimbang Kebijakan Sertikasi
Tak dipungkiri, sertifkasi merupakan salah satu kebijakan populis pemerintah yang saat ini masih berbentuk wacana. Sehingga sebagian besar masyarakat, pemerhati pendidikan dan praktisi pendidikan, khususnya para guru dan dosen memberikan respon positif akan terlaksananya kebijakan ini. Walau demikian, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi terkait akan diberlakukannya kebijakan sertifikasi.
Pertama, implementasi pelaksanaan sertifikasi yang ditargetkan pemerintah selama 10 tahun disinyalir akan menuai kegagalan. Mengingat masih banyak tenaga pendidik yang sampai hari belum memenuhi standar kualifikasi akademik. Berdasarkan catatan Human Development Index (HDI) 2004, sekitar 50% guru di Indonesia tidak memiliki kualitas yang standar. Lebih lanjut, dari publikasi statistik HDI disebutkan setidaknya terdapat 60% guru SD, 40% SLTP, SMA 43%, SMK 34% dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Diperparah dengan adanya sebanyak 17,2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Fakta ini menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar.
Dengan demikian, secara kalkulatif negara Indonesia masih sulit untuk mencapai standar kualifikasi tenaga pendidik yang profesional. Hal ini berdampak pada sulitnya pemerintah untuk memenuhi target 10 tahun dalam menuntaskan sertifikasi pendidik. Efek dari gagalnya pemerintah memenuhi target sertifikasi pendidik menyebabkan kesejahteraan guru menjadi taruannya. Sehingga tunjangan kesejahteraan para guru pun masih sulit terealisasikan.
Terlebih uji sertifikasi bagi sebagian para guru rupanya hanya menjadi mimpi yang sulit diwujudkan. Mengingat sulit terpenuhinya sejumlah syarat yang ditawarkan oleh pemerintah. Misalnya untuk bisa mendaftar uji sertifikasi ditingkat SMP, seorang guru harus: mempunyai golongan IV a; masa kerja 20 tahun; memiliki jumlah jam 24 jam perminggu; pendidikan S1, dan usia maxsimum 55 tahun; dan diprioritaskan bagi guru yang berprestasi. (Baca, mass media). Kriteria tersebut memunculkan sejumlah pertayaan, bagaimana nasib guru-guru muda yang produktif tapi tidak cukup syarat? Bagaimana nasib guru-guru swasta yang sudah mengabdi selama berpuluh-puluh tahun?
Kedua, munculnya kecemburuan sosial diantara para guru akibat tidak meratanya quata pembagian sertifikasi. Pelbagai syarat atministratif dan terbatasnya jumlah guru yang mendapat jatah sertifikasi akan melahirkan problem baru. Problem terberat menurut hemat penulis adalah kecemburuan sosial yang terjadi antara guru yang mendapatkan hak mengikuti sertifikasi dengan para guru yang belum mendapatkan hak mengikuti sertifikasi. Akibatnya akan menyebabkan ketidakharmonisan diantara para tenaga pendidik. Dampak terburuknya adalah akan terjadi saling melempar tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik. Alhasil, peserta didik pun akhirnya akan menjadi korban dari pertikaian.
Sehingga proses Kegiatan Belajar Mengajar pun menjadi tidak maksimal dan kualitasnya bisa dipertanyakan. Sertifikasi yang awalnya bertujuan sebagai solusi untuk memperbaiki kualitas pendidik dalam KBM beralih fungsi menjadi bagian dari problem (part problem) dari proses KBM itu sendiri. Sehingga kualitas peningkatan mutu pendidikan di sekolah yang diharapkan lahir dari “rahim sertifikasi” pun akhirnya jauh dari harapan.
Berdasar dari dua permasalahan tersebut di atas, penulis menawarkan dua alternatif solusi. Pertama, untuk merealisasikan program pelaksanaan sertifikasi. Pemerintah perlu meninjau ulang kreteria status kepangkatan bagi PNS dan jumlah jam mengajar sebanyak 24 perminggu. Status kepangkatan PNS perlu ditinjau ulang, sebab kreteria ini akan menutup akses bagi para tenaga honorer swasta yang kompeten untuk mengikuti uji sertifikasi. Demikian pula dengan jumlah jam mengajar sebanyak 24 perminggu akan menjadikan guru menjadi semakin sulit hidupnya. Karena seperti kita ketahui bersama, kebanyakan para guru honorer dalam memenuhi kebutuhan kesehariannya, mereka acapkali mengajar dibeberapa sekolah atau harus ngobyek di mana-mana.
Kedua, munculnya kecemburuan sosial di antara para guru akibat tidak meratanya quata pembagian sertifikasi. Maka, pemerintah perlu melakukan pemerataan sertifikasi dengan model terbuka. Artinya para guru baik swasta, maupun negeri dibebaskan mengikuti uji sertifikasi asalkan mereka telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Dengan demikian, kecemburuan sosial diantara para pendidik menjadi berkurang. Sebab semua guru mendapat kesempatan untuk melakukan uji sertifikasi. Tinggal kompetensi dan kemampuan persoanallah yang menentukan, lulus atau tidaknya guru dalam mendapatkan sertifikasi pendidik.
Akhirnya, semoga kebijakan sertifikasi bagi tenaga edukatif merupakan awal dari kesejahteraan guru yang selama ini terlupakan. Bukankah kesejahteraan guru berdampak positif terhadap etos kerja dan kualitas pengajaran? Bukankah guru adalah guru bangsa yang butuh diperhatikan?
Penulis adalah Mahasiswa S2 UIN Su-Ka Yogyakarta.

Nasib Anak Di Hari Anak

Nasib Anak Di Hari Anak
Oleh: Mukodi*

Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat
Untuk melihat format masa depan, tidak perlu superkomputer untuk memproyeksikan masa depan kita, karena apa yang terjadi pada millennium yang akan datang dapat dengan mudah direfleksikan dari seberapa jauh perhatian kita pada anak-anak kita saat ini. Mungkin di era yang akan datang akan dipenuhi dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai macam tekhnologi mutakhir, tetapi lebih dari itu, semua itu sudah harus terbentuk dalam diri dan mental anak-anak kita saat ini. (Kofi Annan).
Dalam kaitannya dengan Hari Anak Nasional, ungkapan di atas, akan terlintas dalam benak kita bahwa masa depan bangsa ini terletak pada seberapa maksimalkah perhatian kita terhadap anak-anak kita? karena anak adalah aset orang tua, dan keluarga. Lebih dari itu, anak adalah aset bangsa yang kelak akan menjadi tokoh utama yang akan menjalankan lokomotif pembanguan dan kemajuannya.
Di sisi yang sama, masa depan bangsa dua sampai tiga puluh tahun yang akan datang akan sangat tergantung pada kualitas anak-anak yang kini berusia 0-18 tahun. Untuk tumbuh menjadi generasi yang berkualitas, anak-anak meniscayakan perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya, kesehatan serta kesejahteraannya, dengan tanpa diskriminasi. Dengan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Hal itulah yang menjadi salah satu pertimbangan disahkannya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun realitas berbicara lain, seperti diberitakan dipelbagai media massa bahwa nasib dan kondisi anak-anak bangsa kita sangatlah memperhatinkan. Betapa tidak, saat ini masih banyak ditemukan kasus yang menimpa anak-anak dibawah umur. Mulai dari kasus busung lapar, gizi buruk yang menimpa sejumlah daerah di Indonesia terutama daerah-daerah pedesaan, kasus muntaber yang merenggut banyak korban jiwa, kasus polio bahkan kasus bunuh diri anak. Kekerasan pada anak-anak jalanan, prostitusi yang melibatkan anak dibawah umur, jual beli anak untuk dipekerjakan atau untuk kepentingan lainnya sampai pada masalah pendidikan.
Lantas siapa yang paling bertanggungajawab mengemban tugas ini? Semua pihak selayaknya harus mempunyai tanggung jawab dan kesadaran terhadap masa depan anak. Sebab bagiamana pun juga, nasib bangsa dan negara terletak dipundak anak-anak kita saat ini. Orang tua, keluarga, pengajar, ormas-ormas, lembaga-lembaga pemerhati anak, media massa, partai politik, khususnya pemerintah harus memberikan perhatian penuh terhadap masa depan dan hak-hak anak Indonesia. Secara lebih tegas dapat dikatakan, semestinya lembaga-lembaga pemegang kebijakan publik haruslah mempunyai agenda khusus untuk mensejahterakan dan melindungi hak-hak anak.
Dengan begitu, barulah anak-anak kita bisa berkata "Aku Bangga Menjadi Anak Indonesia" karena mereka diperhatikan dan hak-hak mereka terpenuhi. Akhirnya, anak-anak kita lebih berpeluang menjadi sehat, cerdas, ceria, berprestasi, dan berbudi luhur. Bukankah anak adalah amanah yang harus dilindungi dan diperhatikan hak-haknya? Semoga kita semua bisa menjaganya.

* Penulis adalah praktisi pendidikan, sedang studi lanjut di S2 UIN Su-Ka Yogyakarta

Efektifitas Pemantau Independen UN

Efektifitas Pemantau Independen UN
Oleh: Mukodi*

Diposting dari Koran BanjamasinPost

Eksistensi Tim Pemantau Independen (TPI) UN merupakan suatu keniscayaan dalam proses evaluasi pendidikan.
Genderang Ujian Nasional (UN) telah ditabuh, terhitung mulai 17-19 April UN dilaksanakan secara serentak di tingkat SMA/MA/SMK, 24-26 April di tingkat SMP/MTs dan 8-10 Mei di tingkat SD/MI. Ada hal yang berbeda dalam pelaksanaan UN ditahun ini. Perbedaannya terletak pada proses pemantauan, kalau dulu pemantauan UN dilakukan oleh para pengawas yang dibentuk DIKNAS/DEPAG sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Tapi sekarang pemantauan UN diserahkan kepada Tim Pemantau Independen (TPI).
Sungguh pembentukan TPI UN 2007 oleh BSNP merupakan langkah maju pemerintah yang perlu didukung semua pihak. Dalam surat tertanggal 26, Desember 2006 Dirjen Dikti meminta agar pimpinan perguruan tinggi ikut membantu BSNP dalam proses pemantauan UN (Baca, Media) Pertanyaannya kemudian, sejauh mana efektifitas TPI UN? Mampukah TPI meminimalisir penyimpangan UN?
Kegelisahan-kegelisahan seperti ini seakan menjadi kewajaran ditengah banyaknya kasus penyimpangan dan pelanggaran dalam pelaksanaan UN. Terkait hal itu, upaya Dikti mengundang civitas akademisi perguruan tinggi dalam proses pemantauan UN merupakan iktikad baik (good will) pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sehingga kehadiran TPI UN ini diharapkan benar-benar bisa dijadikan sebagai media penjamin mutu pendidikan.
Di sisi yang sama, hadirnya TPI UN ini merupakan indikasi keseriusan pemerintah. Terlebih dalam menyikapi terpuruknya dunia pendidikan di mata internasional akhir-akhir ini. Sehingga pelaksanaan UN bisa menjadi lebih terkontrol dan bisa dipertanggung jawabkan validitasnya. Sebab bagaimana pun juga pembentukan TPI UN adalah modal awal pemerintah yang cukup efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pelbagai temuan yang dihasilkan oleh tim ini nantinya, bisa dijadikan acuan pemerintah dalam melaksanakan evaluasi pendidikan kearah yang lebih baik.
TPI Kontrol Kualitas
Tak dapat dipungkiri, kualitas pendidikan di negara kita seperti berjalan di tempat. Terlebih kalau membandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara tetangga, semisal Singapura, Brunei dan Malaysia. Pendidikan kita rasanya semakin jauh tertinggal--kalau tidak dikatakan “terbelakang”. Sehingga terbentuknya TPI UN ini menjadikan masyarakat bisa sedikit berharap akan terwujudnya kualitas pendidikan yang lebih baik. Tentunya tidak menutup mata atas pelbagai pandangan yang pro dan kontra akan efektifitas pelaksanaan UN.
Namun demikian, terlepas dari pro dan kontra UN, eksistensi TPI UN merupakan suatu keniscayaan dalam proses evaluasi pendidikan. Terlebih komposisi tim pemantau tersebut terdiri dari pelbagai kalangan yang secara akademik, mereka tak diragukan lagi kridibilitasnya. Persoalannya kemudian, siapkah kedua belah pihak (antara pemerintah dan tim pemantau) menjalin hubungan yang sinergi.
Di satu sisi, pemerintah memberi kewenangan secara proporsional kepada TPI UN untuk melaksanakan pemantauan dan pengawasan. Di sisi lainnya, pemerintah mau menerima secara legowo hasil temuan tim dan siap dikritik. Dengan begitu, keberadaan TPI UN ini menjadi sangat strategis sekaligus menjadi elan vital dari proses peningkatan kualitas pendidikan.
Disinilah urgensitas keberadaan TPI UN, di mana ia bereperan sebagai kontrol kualitas pendidikan kita. Dalam konteks ini, tujuannya hanyalah untuk meningkatkan pengawasan, yang berujung pada tingginya kualitas out put yang dihasilkan. Bukan malah berpretensi dalam politik praktis diwilayah kepentingan-kepentingan birokrasi pendidikan an-sich. Kontrol kualitas pendidikan melalui TPI UN merupakan langhkah nyata pemerintah untuk memeratakan kualitas pendidikan nasional.
Dengan demikian, kehadiran TPI UN 2007 setidaknya dapat meminimalisir pelbagai polemik penyimpangan dan pelanggaran UN. Sehingga kinerja TPI UN ini harus ditempatkan sebagai media perekayasa mutu (engineering quality) UN, yang keberadaannya mutlak diperlukan/melekat (built in) dalam setiap pelaksanaan UN.
Akhirnya, semoga lahirnya TPI UN bisa menjadi bagian dari proses pencerdasan anak bangsa. Menuju pendidikan berkualitas, bermartabat dan berdaulat baik ditingkat nasional maupun internasional. Bukankah eksistensi TPI UN adalah bagian dari proses pencerdasan anak bangsa?

Penulis adalah praktisi pendidikan, studi lanjut di Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ketika Penculikan Anak Menjadi Trend

Ketika Penculikan Anak Menjadi Trend
Oleh: Mukodi*
Diposting dari Koran Banjarmasin Post

Negeri kita kini kian tak aman lagi bagi anak-anak. Bayangkan saja sejak Juni hingga pertengahan Agustus ini telah terjadi 14 kasus penculikan. Itu kasus yang baru terungkap di depan publik. Bisa jadi, karena alasan keamanan, banyak masyarakat yang menyimpan berita buruk itu. Artinya, kasus sesungguhnya bisa lebih banyak lagi (Baca: Media).
Angka penculikan yang tinggi itu membuktikan betapa anak-anak memang rentan menjadi sasaran kejahatan. Korbannya bisa menimpa anak dari keluarga mana saja: tentara, polisi, pengusaha, dan orang biasa. Penculikan juga bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Yang sering memudahkan kejahatan itu berlangsung, biasanya para penculik telah mengenal keluarga korban. Hubungan seperti itulah yang justru menjadi 'modal' bagi para penculik untuk beraksi.
Dipertegas oleh kriminolog UI, Adrianus Meliala bahwa tren di Indonesia penculikan anak masih berkisar pada orang-orang yang mengenal korban dan merasa sakit hati pada korban atau keluarga. ''Artinya bukan penculik profesional,'' jelasnya. Setelah terungkap, pelaku penculikan biasanya teman, rekan usaha, mantan tukang kebun, atau pembantu rumah tangga yang sakit hati. ''Trennya masih diwarnai rasa balas dendam.''
Motif penculikan memang bermacam-macam. Ada motif uang dengan meminta tebusan atau untuk diperdagangkan. Namun, ada pula yang bermotif dendam dan persaingan bisnis. Apa pun motifnya semuanya bisa berimplikasi serius pada aspek kejiwaan anak. Itu karena para pelaku tak segan-segan melakukan kekerasan fisik.
Kasus yang menimpa Raisah Ali, siswi Taman Kanak-Kanak Al-Ikhsan Jakarta Timur beberapa minggu yang lalu adalah salah-satu kasus dari sederet kasus penculikan anak. Bocah berusia lima tahun anak pasangan Ali Said dan Nizmah Mucksin Thalib itu diculik, Rabu (15/8), ketika bersama pembantunya tengah pulang dari sekolah. Untungnya, Raisah Ali segera ditemukan dan pelakunya pun berhasil dibekuk oleh polisi, karena kesigapan mereka dalam menangani kasus ini. Namun bagaimana dengan nasib anak-anak korban penculikan lainnya? Mengapa penanganannya terkesan lamban? Bukankah mereka butuh diselamatkan dengan segera? Penculikan Raisah dan beberapa bocah yang marak akhir-akhir ini seolah menagasikan bahwa penculikan anak sekarang menjadi ''trend'' dari modus kejahatan.
Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Seto Mulyadi, beberapa kasus penculikan anak tidak bisa dilepaskan dari lemahnya perhatian sekolah dalam memberikan perlindungan. ''Penculikan atau kekerasan anak itu sejatinya terjadi karena adanya pembiaran,'' ujar Seto di Jakarta, Selasa (21/8).
Simulasi Penculikan Anak Di Sekolah
Untuk itu, simulasi bagaimana modus penculikan anak menjadi penting diketahui. Tugas memberikan simulasi itu, menurut Seto yang akrab dipanggil Kak Seto, tidak mutlak menjadi beban sekolah. Aparat penegak hukum, orang tua, dan masyarakat luas punya proporsi peran yang sama. ''Tapi, kalau dilakukan di sekolah, simulasi itu lebih efektif dan mudah dilakukan.''
Mensimulasikan proses penculikan anak, menurutnya, berguna untuk menumbuhkan pemahaman anak-anak melindungi dirinya. Melalui simulasi, mereka diberi informasi pola atau modus penculikan. Diharapkan, jika menemui kasus serupa, mereka punya kesadaran untuk menghindar. Di beberapa negara, memberikan simulasi penculikan anak sudah masuk kurikulum sekolah. Bahkan di Jepang, masyarakatnya sangat aktif memahamkan tindakan yang harus ditempuh anak bila menemukan gejala yang mengarah penculikan.
Di sisi yang sama, para orang tua pun hendaknya harus lebih preventif dalam menjaga, dan melindungi anak-anaknya. Sehingga mereka perlu mengajari anak-anaknya kompetensi dasar. Misalnya mengenal data keluarga, seperti: nama orang tua, alamat tempat tinggal, keluarga dekat, kerabat, tetangga, dan teman-temannya. Bahkan di era telekomunikasi ini anak-anak pun harus dididik untuk mengingat nomor telephon rumah dan nomor sejenisnya yang bisa mereka gunakan jika terjadi sesuatu yang menimpanya.
Terakhir, apa pun motifnya penculikan anak/kekerasan terhadap anak sesungguhnya adalah tindakan kriminal. Negara, orang tua, pendidik, dan masyarakat hendaknya melindungi anak-anak. Sebab masa depan bangsa dua sampai tiga puluh tahun yang akan datang akan sangat tergantung pada kualitas anak-anak yang kini berusia 0-18 tahun. Untuk tumbuh menjadi generasi yang berkualitas, anak-anak meniscayakan perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya, kesehatan serta kesejahteraannya, dengan tanpa diskriminasi. Dengan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Hal itulah yang menjadi salah satu pertimbangan disahkannya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Perlu diingat, bahwa anak-anak adalah aset bangsa yang paling berharga. Semoga kita semua mampu menjaganya.[].

*Penulis adalah pemerhati pendidikan, aktif dikajian diskusi IKMP UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dua Stanza, Kado Kemerdekaan?

Dua Stanza, Kado Kemerdekaan?
Oleh: Mukodi*
Diposting dari Majalah Glora Bumi Kartini Jepara

Sudah menjadi tradisi bahwa disetiap upacara pengibaran bendera sang saka merah putih, lagu Indonesia Raya selalu dikumandangkan. Bahkan menjadi salah satu lagu wajib di sekolah, yang harus dihafal mulai di tingkat TK sampai SMA. Di samping dinyanyikan dalam pelbagai upaca resmi kenegaraan. Jadi, hampir dapat dipastikan setiap warga negara dapat menghafal lirik lagu Indonesia raya dengan baik dan benar.
Namun alangkah terkejutnya bangsa ini, di sela-sela gegap gempitanya masyarakat menyambut momentum HUT kemerdekaan RI ke-62. KRMT Suryo Notodiprojo, Heru Nugroho dan tim Air Putih menemukan dua stanza lagi lagu kebangsaan Indonesia Raya di Server Leiden, Belanda.
Dalam dokumen tersebut, lagu Indonesia Raya ternyata berisi tiga stanza. Sementara lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan selama ini, hanya satu stanza, yaitu stanza pertama. Sedangkan dua stanza lainnya tak pernah dinyanyikan, dan tak diketahui rimbanya. Kini sekian lama bangsa kita merdeka, tiba-tiba di bulan istimewa ini rakyat Indonesia mendapat ''kado istimewa'' berupa penemuan dua stanza lagu kebangsaan.
Bermacam-macam reaksi masyarakat bermunculan, ada yang bereaksi biasa-biasa saja, cuek bebek. Ada pula yang menyatakan baru tahu bahwa lagu kebangsaan kita itu sedemikian panjang, indah bahkan syahdu penuh makna. Sementara ada yang mengaku pernah tahu, namun tidak perlu diperdebatkan karena tidak yakin akan mengubah nasib bangsa yang terus menerus terpuruk. Bahkan sekelas Wakil Presiden Jusuf Kalla pun, saat diwawancarai di sebuah stasiun televisi nampak bereaksi 'dingin-dingin' saja (KR 8, Agustus 2007).
Memaknai Tiga Stanza
Konon lagu Indonesia Raya tiga stanza ini sudah jauh-jauh hari dipersiapkan oleh pengarangnya, Wage Rudolf Soepratman untuk persiapan kemerdekaan. Namun entah mengapa WR Soepratman di Kongres Pemuda I, pada 28 Oktober 1928 akhirnya hanya memperdengarkan dan memainkan stanza lagu pertama saja dari lagu Indonesia Raya. Tak heran, jika bayak pakar berspekulasi kenapa dulu WR Soepratman tak menyanyikan ketiga stanzanya secara sekaligus. Terlepas dari perdebatan tersebut, yang terpenting bagi bangsa Indonesia saat ini, bagaimana kita semua bisa merenungkan dan melaksanakan amanat ketiga stanza lagu Indionesia Raya.
Sekali lagi, perlu dingat bahwa esensi sebuah lagu kebangsaan adalah pengamalan dan pelaksanaan atas pesan syairnya, bukan panjang pendeknya sebuah lagu. Jika dicermati, ternyata lirik lagu Indonesia Raya dari stanza satu sampai stanza tiga itu bukan sekedar rekaan-rekaan sajak agar enak didengar, melainkan mengandung alur filosofis yang berkesinambungan. Kita tidak tahu secara pasti kenapa hingga sekarang hanya stanza satu yang dinyanyikan oleh bangsa Indonesia. Bagaimana posisi stanza dua dan tiga yang disinyalir mempunyai nilai-nilai religius yang lebih tinggi dibanding stanza satu? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tentunya perlu kita renungkan bersama. Coba perhatikan dengan cermat, stanza-stanza berikut dengan ejaan yang sudah dibakukan:
Stanza I: Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku / Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku / Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku / Marilah kita berseru, Indonesia bersatu // Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku / bangsaku, rakyatku, semuanya / Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya / Untuk Indonesia raya // Ref: Indonesia raya / Merdeka, merdeka / Tanahku, negeriku yang kucinta // Indonesia raya, merdeka, merdeka / Hiduplah Indonesia raya // Indonesia raya, merdeka, merdeka / tanahku negeriku yang kucinta // Indonesia raya, merdeka, merdeka / hiduplah Indonesia raya.
Stanza II: Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya / Disanalah aku berada, untuk slama-lamanya / Indonesia tanah pusaka / pusaka kita semuanya / Marilah kita mendo'a, Indonesia bahagia // Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya rakyatnya semuanya / sadarlah hatinya, sadarlah budinya untuk Indonesia raya // Reff…
Stanza III: Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti / Disanalah aku berdiri jaga ibu sejati / Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi / Marilah kita berjanji Indonesia abadi // Slamatkan rakyatnya, slamatkan putranya / pulaunya, lautnya semuanya / Majulah negerinya, majulah pandunya / untuk Indonesia raya // Reff…
Dua Stanza Yang Hilang, Mungkinkah Dinyanyikan?
Bila direnungkan dalam stanza satu, (stanza yang biasa kita nyanyikan) di baris ke-4, liriknya berbunyi: ''Marilah kita berseru, Indonesia bersatu''. Lalu baris ke-6 ''Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya''. Ini dapat diartikan bahwa stanza satu itu mencerminkan bahwa kita sedang membentuk sebuah bangsa. Kita berseru agar bangkit dan bersatu.
Jika baris ke-4 dan ke-6 dari stanza satu itu ditarik sejajar ke stanza dua, liriknya tidak lagi berbunyi ''berseru'', melainkan (baris ke-4): ''Marilah kita mendo'a, Indonesia bahagia''. Inilah cermin bahwa kita juga memiliki landasan moral etik Ilahiyah. Manusia hanya berusaha, Tuhanlah yang maha menentukan segalanya, mudah-mudahan doĆ” itu terkabul. Oleh karena itu, dibaris ke-6 berbunyi, ''sadarlah hatinya, sadarlah budinya''.
Setelah kita berhasil membentuk sebuah bangsa, dan kemudian berdoa, maka mulailah kita bersikap realistis. Ini tercermin dalam stanza tiga di baris ke-4, baitya tidak lagi ''berseru'' dan ''mendoa'', melainkan ''marilah kita berjanji, Indonesia abadi''. Agar dapat melaksanakan janji tersebut, maka dalam baris ke-5 bunyi liriknya: ''Slamatkan tanahnya, slamatkan rakyatnya, pulaunya, lautnya, semuanya''. Baris ke-6 ''Majulah negerinya, majulah pandunya, untuk Indonesia raya''. Pandu adalah petunjuk jalan, artinya kepemimpinan.
Jadi, dalam strata tiga itulah terkandung amanat perjuangan kemerdekaan ''menyelamatkan semuanya''. Rakyatnya, tanahnya, pulaunya, lautnya, semuanya harus diselamatkan. Mungkin kalau stanza ini bisa direnungkan dengan baik, khususnya oleh para pandu bangsa, maka lepasnya Timor-timur, pulau Sipadan dan Ligitan, kasus Ambalat, illegal logging, penambangan liar, korupsi dan lain sebagainya tidak akan terjadi di bumi pertiwi.
Sayangnya, kita tidak pernah menyanyikan stanza II dan III, maka barang kali kita memang tidak merasa berjanji untuk menyelamatkan semua itu. Yang terjadi kemudian adalah "Babatlah hutannya / kuraslah minyaknya / tambangnya, lautnya semuanya // Tipulah rakyatnya / ambillah uangnya / untuk para penguasa.'' Akhirnya, dari hari ke hari bangsa kita mengalami keterpurukan dan keterbelakangan.
Sebelum kerusakan bumi pertiwi tak terkendali, agaknya kita harus dengan segera menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan tiga stanza sekaligus, sehingga kita dapat memetik maknanya untuk mengemban amanat ibu pertiwi tercinta. Sungguh dihari kemerdekaan ini adalah saat yang tepat untuk mulai melaksanakan amanah tersebut, demi untuk mewariskan Indonesia yang lebih baik kepada anak cucu kita. Semoga bangsa kita selalu jaya, menuju bangsa yang berdaulat adil, dan makmur. Merdeka !!!

*Mukodi adalah Kordinator Diskusi Ikatan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana (IKMP) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Hardiknas dan Qua Vadis Pendidikan

Hardiknas dan Qua Vadis Pendidikan
Oleh: Mukodi*

Setiap tanggal 2 Mei bangsa kita memperingati hari Pendidikan Nasional. Tanggal dimana Bapak Pendidikan Nasional dilahirkan, pendiri Taman Siswa yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Sungguh merupakan suatu keniscayaan apabila di hari yang bersejarah ini, kita berkontemplasi dan berinstropeksi sejenak akan pendidikan kita. Sebab diakui atau tidak kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan—kalau tidak dikatakan berjalan di tempat.
Ada dua asumsi pendukung dari statmen di atas. Pertama, semakin terpuruknya kualitas pendidikan kita di kancah internasional. Hal ini tercermin dari laporan yang diterbitkan oleh Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS: 2003) yang menempatkan para siswa SLTP kelas dua di Indonesia berada diposisi ke 34, jauh dibawah Singapura dan Malaysia yang masing-masing menempati urutan pertama dan kesepuluh. Bukankah ini merupakan indikasi betapa rendahnya kualitas siswa kita secara komunal dibanding kualitas anak-anak di negara lainnya?
Realitas yang memukul dunia pendidikan kita ini, menjadi semakin lengkap, apabila kita kaitkan juga dengan laporan dari UNDP yang telah dipublikasikan. Dimana berdasarkan laporan program HDI (Human Development Index) tahun 2006. Negara kita hanya mampu menempati peringkat ke 108 dari 175 negara. Jauh tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Singapura (25), Brunei (34), Malaysia (61), Thailand (74), dan Filipina (84). (Baca, Human Developmen Report 2006).
Kedua, sampai hari ini negara kita belum mampu memenuhi kewajibannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Sehingga tidaklah sulit mencari anak-anak di usia sekolah yang menjadi pekerja pabrik, pedagang asongan, kernet-kernet bus, kuli bangunan, pengamen, bahkan sampai menjadi pelayan-pelayan lelaki hidung belang. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar 1945, dengan tegas disebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dan diperkuat pula dengan ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Dampak dari ketidakmampuan negara dalam mencerdaskan anak bangsa, bisa kita lihat, mengacu pada data Education for All (EFA) Global Monitoring Report tahun 2005. Indonesia adalah negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia, yakni sekitar 18,4 juta orang buta huruf di Indonesia. Yang mayoritasnya adalah orang miskin yang tinggal di pelosok-pelosok dan pegunungan. Hal ini semakin mempertegas bahwa pendidikan kita “telah gagal” dalam mengemban misinya sebagai wadah untuk mencerdaskan anak bangsa.
Dengan demikian, secara sederhana pendidikan kita mempunyai dua tugas besar. Disatu pihak negara bertanggung jawab mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan dilevel internasional. Dipihak lainnya, negara harus memenuhi kewajibannya, mencerdaskan anak bangsa.
Pendidikan Berkualitas
“Banyak jalan menuju roma.” Itulah kata pepatah yang cukup representatif mengambarkan betapa banyaknya cara menuju pendidikan berkualitas. Pendidikan berkualitas tidaklah harus mahal, meskipun kita tidak menutup mata terwujudnya pendidikan berkualitas membutuhkan sumber dana yang cukup. Namun demikian, kualitas pendidikan tidak hanya diukur dengan mahalnya biaya pendidikan. Alih kata, terwujudnya kualitas pendidikan bukan hanya ditentukan dan dicipta melalui tingginya biaya pendidikan an-sich.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga kata kunci dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pertama, hadirnya pendidik (guru) yang berkualitas. Pendidik yang berkualitas merupakan keniscayaan di tengah keterpurukan kualitas pendidikan dewasa ini. Sebab ditangan pendidik yang profesionallah keterbatasan sarana-prasana bisa disulap menjadi kelebihan yang luar biasa. Sehingga tak heran, jika ungkapan the man behind the gun dialamatkan padanya.
Ungkapan di atas tersebut, menggambarkan bahwa keahlian dan kepiawaian seseorang menggunakan dan memegang senjata, sangat menentukan keunggulan dan kedahsyatan sebuah senjata. Pengajar dalam hal ini pendidik adalah the man yang akan menentukan keberhasilan dan kualitas pendidikan, melalui sarana dan prasarana (the gun) yang dimiliki sekolah. Bergulirnya wacana sertifikasi pendidikan bagi tenaga edukatif membuka sedikit angin segar akan terwujudnya tenaga pendidik yang berkualitas.
Kedua, adanya kurikulum pendidikan yang berbasis realitas. Tak dipungkiri, bahwa kurikulum yang baik adalah kurikulum yang relevan dengan kebutuhan ummat. Namun realitas berbicara lain, kurikulum di negeri ini bagaikan menara gading, yang sangat jauh dari realitas kebutuhan masyarakat (grass root). Hal ini bisa dilihat betapa banyaknya masyarakat yang bodoh dan tidak berdaya (terutama melihat potensi daerah/lokal). Lahirnya kurikulum KBK dan KTSP akhir-akhir ini setidaknya bisa menjadi awal dari pemberdayaan ummat.
Ketiga, lembaga pendidikan harus senantiasa memperluas relasi dan networking. Relasi dan networking merupakan dua entitas yang sangat menentukan dalam lapangan kerja. Diakui atau tidak, dunia pendidikan sekarang ini mau tidak mau harus mengikuti logika “pasar”. Apalagi jika mengacu pada konsep Total Quality Management (TQM), jelas sekali disebutkan bahwa persekolahan harus memperhatikan apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan oleh pelanggan atau pengguna jasa pendidikan. Sehingga semakin banyak relasi dan networking sebuah lembaga pendidikan akan senantiasa bisa suvive. Di sinilah man action (para leader) memegang peranan penting untuk melakukan interkoneksitas dengan pengguna jasa pendidikan
Pendidikan Berkeadilan
Tak dipungkiri, dewasa ini masih banyak anak-anak di usia sekolah yang belum mengenyam pendidikan secara semestinya. Terutama bagi anak-anak yang berasal dari kalangan papa (kaum miskin). Mereka hanya bisa menyaksikan teman-temannya menjinjing tas dan masuk ke gedung-gedung yang dikelilingi pagar—yang lazim disebut sekolah. Kemiskinan dan lemahnya perekonomian keluarga acapkali menjadi alasan kenapa anak-anak tersebut tidak bisa mengakses pendidikan.
Data Bank Bunia pun, menunjukkan bahwa hampir separo penduduk Indonesia atau 108,78 juta (49%) masuk kategori miskin dan rentan miskin (Desember 2006). Sehingga sangatlah logis apabila lemahnya perekonomian keluarga menjadi akar pangkal dari ketidak berpihakan anak-anak untuk bersekolah. Untuk itu, pemerintah harus segera merealisasikan 20 % anggaran pendidikan seperti yang termuat dalam UUD 45 pasal 31 ayat 1. Agar semua kalangan bisa merasakan enaknya bangkau sekolah.
Dengan demikian, terpenuhinya anggaran pendidikan menjadi 20 % merupakan langkah awal menuju perubahan. Perubahan dari pendidikan eksklusif menuju pendidikan inklusif dan populis. Pendidikan yang hanya milik kalangan elit “berkemakmuran.” Menjadi pendidikan yang memihak kepada rakyat kecil, bagi kaum papa, dan bagi anak-anak yang tersisihkan dari kemewahan. Keberpihakan pendidikan ini akan melahirkan pendidikan murah menuju pendidikan gratis. Sehingga diperlukan adanya komitmen dan iktikad baik (good will) pemerintah, khususnya untuk segera merealisasikan anggaran pendidikan sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Akhirnya, melalui momentum Hari Hardiknas ini marilah kita tingkatkan kualiatas pendidikan. Sungguh hanya dengan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan, kaum papa bisa menikmati bangkau sekolah. Menuju terciptanya generasi yang tangguh, berkualitas, dan berkarakter. Semoga bangsa ini bisa bermartabat dan berdaulat dipentas internasional sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Penulis adalah Pemerhati pendidikan dan Praktisi Pendidikan.

Dongeng, Tradisi yang Hilang?

Dongeng, Tradisi yang Hilang?
Oleh: Mukodi*
Dimuat di Majalah Candra Yogyakarta

Dulu sewaktu zaman tak semaju sekarang, banyak orang tua terbiasa mendongengi anak-anaknya, baik menjelang mereka tidur maupun di waktu-waktu luang. Berbagai kisah pun diceritakan oleh para orang tua. Mulai dari kisah legenda, seperti si kancil yang cerdik ataupun si singa ‘sang raja hutan’ bahkan sampai kisah-kisah nyata keseharian.
Kegiatan mendongeng seperti itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat, bahkan menjadi trend budaya kemasyarakatan. Sayangnya, seiring perkembangan teknologi yang serba canggih, tradisi mendongeng sudah mulai memudar, bahkan bisa dikatakan sudah punah, layaknya binatang "dinosaurus" yang meningkalkan kita.
Maraknya tayangan dongeng yang menghiasi kaca-kaca TV sekarang ini, disinyalir membuat para orang tua mulai meninggalkan “ritual” mendongeng, disamping kesibukan mereka dalam keseharian. Terlebih sinetron dan film di TV seakan telah memberikan warna baru dihati anak. Tak heran jika anak-anak lebih tertarik untuk melihat tayangan TV, ketimbang mendengarkan dongeng dari kedua orang tuanya.
Bila dicermati lebih dalam, hilangnya tradisi mendongeng saat ini tentunya tak hanya disebabkan oleh kemunculan dongeng-dongeng di layar kaca. Akan tetapi juga disebabkan oleh hilangnya kesadaran orang tua akan pentingnya mendongeng bagi anak-anak.
Parahnya lagi, perkembangan teknologi juga ikut menyeret kesibukan anak-anak untuk bermain dengan aneka permainan elektronik. Akibatnya, interaksi antara anak dan orang tua pun semakin renggang. Kerenggangan ini bisa jadi akan terus berlanjut sampai si anak menginjak dewasa.
Alhasil, anak-anak dewasa di generasi teknologi ini kurang akrap dengan orang tuanya. Kalau hal ini sampai benar-benar terjadi, akan menjadi bumerang dikemudian hari. Hal ini dipertegas oleh pendapat sejumlah kriminolog yang mengatakan, maraknya kriminalitas dan kenakalangan para pelajar akhir-akhir ini salah satunya disebabkan karena hilangnya keharmonisan antara para orang tua dan anak-anaknya.
Imajinasi dan Daya Kritis Anak
Tak disangkal, bahwa kegiatan mendongeng sesungguhnya memiliki dampak positif yang sangat kaya akan "petuah". Mendongeng bukanlah sekedar bercerita, yang hanya membuang-buang waktu. Akan tetapi mendongeng bisa dijadikan sarana untuk mendidik dan menyampaikan pesan-pesan moral kepada anak-anak. Sekaligus bisa menjadi salah satu metode dalam mendidik anak.
Ada beberapa sisi positif dari kegiatan mendongeng. Pertama, dongeng bisa membangun imajinasi anak sejak dini. Melalui dongeng, anak akan berusaha membuat gambaran konkret dalam pikirannya tentunya dari dongeng yang ia dengarkan. Misalnya, anak mencoba membayangkan sosok manusia yang tampan dan baik hati ataupun si kancil yang cerdik, yang mampu mengalahkan penguasa-penguasa hutan.
Daya berpikir imajinasi seperti ini, pada akhirnya akan membantu anak dalam mengembangkan kreatifitasnya. Namun perlu disadari bahwa tidak semua dongeng baik untuk perkembangan imajinasi anak. Contohnya cerita tentang hantu atau makhluk halus tidak begitu bagus untuk psikologis anak.
Menurut para pakar kejiwaan, bahwa cerita-cerita tentang hantu sesungguhnya memiliki dampak negatif terhadap perkembangan mental psikis anak. Anak-anak yang sering mendengar cerita tentang hantu berpotensi besar menjadi seorang yang penakut alias berjiwa kerdil. Untuk itu, dibutuhkan kreatifitas dan kecerdasan orang tua dalam memilih dongeng yang baik untuk membangkitkan imajinasi dan kreatifitas anak.
Kedua, dongeng bisa mengakrapkan antara anak dan orang tua. Tak diragukan lagi bahwa kegiatan mendongeng merupakan salah satu bentuk komunikasi yang baik antara anak dan orang tua. Kegiatan mendongeng pun bisa menjadi momentum yang tepat bagi orang tua untuk menjalin keintiman dengan anak.
Sentuhan, belaian dan dekapan yang diberikan orang tua dikala mendongeng, merupakan bentuk cinta kasih yang nyata pada anak. Sehingga anak merasa semakin dekat secara emosional dengan orang tuanya. Tentunya kedekatan seperti ini, kiranya sulit ditemukan pada momen-momen yang lain.
Ketiga, dongeng bisa menumbuhkan daya kritis anak. Kegiatan mendongeng pada hakekatnya sangat membantu anak dalam mengembangkan daya kritisnya. Dimana dalam proses mendongeng akan terjadi komunikasi secara langsung antara anak dan orang tua. Misalnya anak mencoba mempertanyakan kejadian-kejadian yang belum pernah ia temui atau belum dapat dipahami.
Proses tanya jawab semacam ini pada akhirnya akan menumbuhkan daya kritis anak terhadap suatu permasalahan. Yang tidak kalah penting adalah anak mulai berani untuk belajar berbicara dan berani berdialog dengan lawan bicaranya. Hal ini tentunya berbeda dengan melihat dongeng dan film di televisi, yang hanya terjadi dialog satu arah.
Di sisi lain, dongeng juga sangat berperan dalam mengembangkan kepribadian anak. Melalui dongeng sesungguhnya banyak pesan moral bisa disampaikan pra orang tua tanpa harus mendikte si anak. Melihat arti pentingnya mendongeng bagi anak, sudah saatnya kita hidupkan kembali “ritual” mendongeng sebagai salah satu metode dalam mendidik anak. Wallahu a’lam bisshawaf.

* Penulis adalah pemerhati anak, studi lanjut di S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Budaya Baca Masyarakat Jepara

Budaya Baca Masyarakat Jepara
Oleh: Mukodi*

Dimuat di Majalah Glora Bumi Kartini Jepara
Buku adalah jendela dunia, dan membaca adalah modal awal untuk membuka cakrawala dunia.
Perkataan Tantowi Yahya di salah satu iklan televisi benar adanya, bahwa “keterbelakangan sangat dekat dengan kebodohan, dan kebodohan identik dengan kemiskinan.” Ucapan itu, mengajak kita untuk senantiasa melalui hari demi hari dengan membaca. Agar kita dapat keluar dari jeratan kebodohan dan kemiskinan yang acapkali mengahantui dan menyapa kita.
Sungguh perkataan Tantowi Yahya tersebut, singkron dengan laporan hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards in Indonesia”. Dimana kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Hal ini merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri dan harus segera dicarikan solusinya. Pertanyaannya kemudian, tindakan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya baca masayarakat Indonesia?
Sebagai warga negara kita harus merasa prihatin dan berduka dengan hasil penelitian tersebut. Terlebih akhir-akhir ini prestasi akademik bangsa ini sedang mengalami keterpurukan dan keterbelakangan ditingkat internasional. Sehingga perlu diupayakan adanya problem solving yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satu solusinya adalah dengan membangun budaya baca diperbagai wilayah.
Budaya baca ini hendaknya bisa menjadi bagian dari solusi pemerintah. Dan bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah semata, melainkan tanggung jawab dari semua pihak. Sebab sudah menjadi rahasia umum, bahwa tugas pendidikan membaca biasanya hanya diplotkan/diserahkan kepada sekolah. Alhasil, minat baca dikalangan masayarakat (generasi muda) pun sangat rendah dan jauh dari harapan. Konklusi semacam ini merupakan generalisasi dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Lantas bagaimana dengan masyarakat Jepara?
Menurut hemat penulis, budaya baca masyarakat Jepara sampai hari ini tak jauh berbeda dengan kebanyakan masyarakat Indonesia pada umumnya, yang cenderung ''malas baca.'' Bahkan ada indikasi budaya baca masyarakat Jepara lebih memprihatinkan, kalau tidak dikatakan ''sangat mengenaskan" ketimbang masyarakat di kota-kota lainnya. Indikasi lemahnya minat baca anak-anak Jepara bisa terlihat dengan minimnya volume para pelajar yang mengunjungi Perpustakaan Daerah (Perpusda), perpustakaan sekolah atau kegiatan semacamnya.
Lemahnya minat baca masyarakat Jepara pun, akhirnya berdampak negatif terhadap minat masyarakat untuk belajar di sekolah formal. Hal ini tebukti dari data BPS tahun 2004 Perguruan Tinggi yang ada di Kabupaten Jepara (STIPI, UNDIP, INISNU, STPDNU, STIENU) hanya memiliki mahasiswa 1.531. Berarti 1:691, atau 0,14 % adalah masyarakat Jepara (Generasi Muda Jepara) yang sempat mengenyam pendidikan Perguruan Tinggi, sedangkan selebihnya 99,86 % adalah masyarakat Jepara yang belum pernah belajar di Perguruan Tinggi (walaupun tidak mengesampingkan kaum muda Jepara yang belajar di kota-kota lainnya).” Angka statistik ini di tahun 2007 ini pun tidak ada perubahan yang signifikan.
Membangun Budaya Baca
Oleh karena itu, untuk membangun budaya baca dikalangan masyarakat Jepara setidaknya ada beberapa kebijakan (policy) yang dapat diambil pemerintah, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, pengadaan bazar buku murah. Tak bisa dipungkiri bahwa mahalnya harga buku di negeri ini, merupakan salah satu penyebab rendahnya daya beli masyarakat terhadap buku. Buku di negeri ini lebih identik dengan “kaum terpelajar,” sedangkan masayarakat pada umum belum familiar dengan buku. Dengan demikian, langkah konkret pemerintah dalam membangun budaya baca adalah dengan mengadakan bazar buku murah. Pemerintah dalam hal ini bisa menjalin kerja sama dengan LSM maupun organisasi kemasyarakat lainnya untuk mengadakan bazar buku murah. Misalnya dengan melaksanakan bazar buku di berbagai daerah, baik di perguruan tinggi/di sekolah-sekolah maupun dipelosok-pelosok desa.
Kedua, memaksimalkan perpustakaan. Keberadaan perpustakaan merupakan keniscayaan dalam mengakrapkan buku ke masyarakat. Selama ini, keberadaan perpustakaan di Kecamatan-Kecamatan di Kabupaten Jepara masih “langka”, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Untuk mensiasati hal ini, pemerintah perlu membangun perpustakaan di setiap desa,--paling tidak--dalam satu kecamatan terdapat satu perpustakaan. Selain itu, pemerintah bisa memaksimalkan perpustakaan keliling. Melalui mobil-mobil dinas perpustakaan terkait. Mengingat kesadaran membaca di lingkungan masyarakat Jepara, khususnya masyarakat di pedesaan sangat rendah.
Tidak hanya di lingkungan masayarakat, budaya baca pun perlu disosialisasikan sejak dini di lingkungan sekolah. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab rendahnya budaya baca tidak hanya terjadi pada masyarakat umum akan tetapi juga merambah pada kaum terpelajar. Apalagi era globalisasi telah memanjakan generasi muda dengan pelbagai kemudahan elektronika. Tak urung HP, video game, play station pun menjadi pilihan empuk mereka. Ketimbang memilih berteman dengan buku-buku apalagi menyibukkan diri di perpustakan.
Untuk membangkitkan minat baca dikalangan peserta didik sejak dini, maka sekolah – sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah -- harus berani mengeluarkan kebijakan yang harus ditaati oleh peserta didik. Misalnya, syarat untuk bisa mengikuti ujian semester, atau ulangan harian peserta didik harus menyelesaikan bacaan dengan tema tertentu, atau peserta didik diberi tugas meresensi karya sastra dan lain sebagainya.
Selain itu, langkah yang dilakukan adalah dengan meningkatkan minat dunia tulis-menulis dikalangan peserta didik bisa dengan menggunakan pelbagai media yang ada. Sekolah dalam hal ini bisa memaksimalkan fungsi mading sebagai media transformasi ide dan gagasan anak. Mading ini hendaknya dikelola secara serius oleh pihak sekolah dengan melibatkan peran aktif peserta didik. Dengan demikian, budaya baca akan menjadi bagian yang tak perpisahkan dari kehidupan peserta didik, sebab dunia tulis-menulis memerlukan bahan, dan bahan yang paling efektif adalah dengan membaca.
Di sisi yang sama, perlunya membangun iklim budaya baca yang kondusif dan menyenangkan di lingkungan sekolah. Terwujudnya sekolah yang kondusif dan menyenangkan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan ini. Sehingga sekolah dalam hal ini, perlu menata tata ruang kelas, tempat perpustakan dan tata letak lainnya secara rapi, asri, indah, nyaman dan elegan. Dengan kondisi penampilan sekolah yang sedemikian rupa, diharapkan dapat memacu terwujudnya budaya baca di lingkungan sekolah dengan segera.
Dengan pelbagai kebijakan (policy) tersebut, niscaya terwujudnya budaya baca masyarakat Jepara bukan lagi sebuah impian, melainkan sebuah kenyataan yang segera terwujud. Menuju daerah yang bermartabat baik ditingkat lokal maupun nasional, semoga kita semua bisa mewujudkannya.[]

*Penulis adalah Praktisi Pendidikan asal Krapyak Jepara