Minggu, 10 Februari 2008

Strategi Mendidik Anak yang "Bandel?"


Strategi Mendidik Anak yang "Bandel?"
Oleh: Mukodi*

Suatu pagi, berceritalah seorang teman tentang anak didiknya yang ''nakal'', alias ''bandel.'' Pak, serunya kepada saya, ''si A itu susah diatur, suka ribut sendiri di kelas, saya terkadang pusing dibuatnya'', kelunya. Sejurus kemudian, teman saya yang satunya, kebetulan duduk disampingku menimpali, ''Oh ya memang anak yang satu itu memang 'bandel', saya juga sering stres dibuatnya.''
Cerita di atas, adalah gambaran kecil realitas dari proses pendidikan di sekolah. Hal itu barangkali sebagai konsekuensi, dari pilihan kita bergelut di dunia pendidikan. Kita harus siap disibukkan dengan pelbagai tingkah laku dan karakteristik anak yang berbeda-beda. Sehingga seorang pendidik dituntut untuk senantiasa meng-up-date keilmuan yang dimilikinya setiap saat. Lebih-lebih belajar tentang buku-buku psikologi perkembangan anak, psikologi mental dan psikolgi belajar menjadi suatu keniscayaan. Mengapa hal itu menjadi penting? Perlu kita sadari, bahwa mendidik itu pada hakikatnya berbeda dengan mengajar.
Mengapa mendidik tidak sama dengan mengajar? Kalau yang terakhir, berarti menyampaikan, mentransformasikan ilmu pengetahuan dan hanya menyentuh diranah kognitif an-sich. Mengajar juga tidak berorientasi pada perubahan perilaku anak, baik diwilayah afektif maupun psikomotorik, melainkan hanya menitiktekankan pada perubahan pikir anak. Karena mengajar juga berarti transfer of knowlegd bukan transfer of value (character building). Maka tak heran, jika guru yang hanya berdiri pada posisi sebagai pengajar tidak memiliki ''tanggung jawab'' atas profesinya sebagai guru. Padahal, sosok guru dalam Jawa digambarkan sebagai jabatan yang ''istimewa'' guru berarti digugu lan ditiru.
Sedangkan mendidik, mempunyai makna yang lebih mendalam, yaitu memberikan penanaman nilai-nilai moral kepada peserta didik, baik berupa pengetahuan kognitif, dan yang diharapkan adalah perubahan sikap peserta didik yang mulanya acuh-tak acuh terhadap prilaku moralitas atau kebersamaan menjadi melek dan simpatik pada nilai-nilai kemanusiaan. Alih kata, mendidik mempunyai peran ganda, yaitu subyeknya harus menjadi pendidik sekaligus sebagai pengajar. Sehingga ia disyaratkan mempunyai kepekaan kemanusiaan yang tinggi dan prilaku pribadi yang bertanggung jawab, bukan malah pribadi-pribadi yang tidak berkarakter. Pendidik harus menjadi contoh hidup kebaikan bagi peserta didiknya, pada titik inilah pentingnya seorang pendidik yang bermoralitas, beragama yang kuat, dan berperadaban. Sebab pendidik harus mampu mensenergikan antara pikir dan zikir peserta didik, dengan berorientasi untuk menghidupkan hati nurani peserta didiknya.
Menjawab pertanyaan dari judul di atas, Imam Musbikin dalam kumpulan tulisannya, yang kemudian diterbitkan oleh Mitra Pustaka Yogyakarta (2003), dengan judul "Mendidik Anak Ala Shinchan", memberikan jawaban tentang bagaiman strategi mendidik anak yang 'bandel' seperti Shinchan. Seperti kita ketahui, bahwa Shinchan adalah tokoh bahkan ikon dari seorang anak yang terkenal sangat 'nakal', 'bandel', bahkan sangat 'kritis'. Karena itu tak jarang orang tua bahkan gurunya dibuat 'kewalahan' saat menjawab pertanyaan darinya, seperti: "Mama….., bagaimana sih adik bisa keluar dari perut mama?" Atau, "Papa……, bila Tuhan itu hanya satu, mengapa ada di mana-mana, serta bagaimana bentuk-Nya?".
Bimbinglah Anak dengan Bijak
Anak-anak yang 'bandel' seperti hanya Shinchan cenderung berbuat yang aneh-aneh. Ia cenderung bandel, tak mau menurut dan ingin berbuat sekehendaknya. Orang tua yang mempunyai anak tipe ini, memang perlu memiliki kesabaran yang besar. Bila tidak, mungkin hanya akan marah-marah saja dan bisa-bisa terjangkit penyakit "darah tinggi", bahkan struck.
Mahmud Mahdi al-Istanbuli berpendapat: "Anak seperti tipe ini, memang biasa disebut sebagai ulah 'anak nakal'. Akan tetapi bukan berarti orang tua harus mematikan 'kenakalannya'. Mematikan atau malah menekan anak dengan kecenderungan seperti itu malah akan membawa pengaruh yang tidak baik bagi perkembangannya. Bahkan 'tekanan' itu akan tetap ada dalam akal batin atau bawah sadar dan bisa menimbulkan beberapa penyakit syaraf, bahkan yang ekstrem bisa menyebabkan kegilaan".
Oleh sebab itu, untuk mengatasi 'kenakalan' anak yang demikian, orang tua, mungkin bisa membelokkan, mengangkat dan meningkatkan kecenderungan yang tampak 'nakal' itu ke arah lain. Itulah yang lebih baik dan bijaksana. Anak-anak dengan usia seperti Shinchan, memang seringkali bertanya yang aneh-aneh. Adakalanya pertanyaan mereka dianggap wajar oleh para orang tua, tetapi adakalanya juga dianggap tidak wajar (jorok). Seperti, "Mama…., adik itu asalnya dari mana, sih?"
Untuk itu, menghadapi pertanyaan anak yang seperti ini, kira-kira apa tindakan orang tua. Bolehkah orang tua menghukum atau marah mendengar pertanyaan anak yang dianggap jorok itu? Atau langsung menghukum dan bertindak kasar pada si anak? Dan biasanya pada saat itulah, waktu yang tepat bagi para orang tua untuk menunjukkan ekspresi kemarahan yang tepat. Apatah dengan memukul, membanting sesuatu, memaki, mengumpat atau cara lain sejenisnya?
Dalam posisi ini, adalah benar sebuah adagium, "Orang yang sabar bukanlah orang yang tidak pernah marah, tetapi orang yang sabar adalah orang yang bisa mengelola rasa marahnya"(ke arah yang lebih produktif). Karena itu, untuk menghadapi anak yang seperti ini, Anda harus memandang anak sebagai subyek, bukan obyek yang harus menurut kemauan dan obsesi Anda sebagai orang tua.
Dr. Kresno Mulyadi, seorang pemerhati anak-anak dan perkembangannya, mengatakan bahwa "Orang tua jangan menghalangi keingintahuan anak, seperti mengatakan 'hus', ngomong apa kamu?", "Biarkan anak bermain, bertanya apa saja, biarkan spontanitas anak berkembang, anak bukanlah mahasiswa kecil. Dunia anak adalah dunia bermain, dan setiap anak itu unik, anak berkembang secara bertahap."
Anak yang 'bandel' seperti Shinchan, memang cukup kritis. Setiap apa yang dilihat dan dirasakan, seringkali ia pertanyakan. Rasa ingin tahunya cukup besar. Mereka bertanya tentang hal-hal yang kadang-kadang bisa membuat orang tua sulit untuk menjawabnya, misalnya, "Mama…, Tuhan itu di mana yaa? Seperti apa sich bentuknya?
Untuk menjawab pertanyaan anak yang seperti ini, orang tua bisa menggunakan analogi-analogi sederhana. Misalnya dengan menjawab bahwa Tuhan itu ada di mana-mana, dan jika anak terus bertanya, "Katanya Tuhan itu satu, kok malah ada di mana-mana". Untuk menjawab pertanyaan ini, orang tua bisa membuatkan kiasan, misalnya: "Bulan itukan satu, tapi dimana-mana ada bulan; di Yogyakarta ada bulan, di Jakarta ada bulan, dan begitu seterusnya".
Bila anak memburu dengan pertanyaan bagaimana bentuk Tuhan? Anda bisa menjawabnya bahwa Tuhan itu tidak serupa dengan segala sesuatu yang Ia ciptakan; anda bisa mengambil analogi sebuah meja. Bila meja itu di buat oleh tukang meja, maka bentuknya tidak sama dengan tukangnya, begitu juga dengan buku, pensil, dan lainnya, ia tidak sama dengan pembuatnya. Oleh karena itu, para orang tua atau pendidik ditutut untuk rajin membaca, agar cakrawala pengetahuannya bertambah luas. Dengan begitu, mereka tidak akan mengalami kesulitan untuk menjawab pelbagai pertanyaan si anak yang terkadang cukup merepotkan.
Akhirnya, semoga kita selaku manusia yang lebih dewasa mampu menjadi pendidik yang benar-benar mendidik. Bukankah anak-anak adalah aset bangsa yang harus dijaga, dirawat, dididik dan ditempatkan sebagai pribadi yang harus dipenuhi hak-hak dan kebutuhannya?

*Penulis adalah pemerhati anak, sedang studi lanjut di S2 UIN Sunan Kalijaga.

Tidak ada komentar: