Ketika Guru Turun Ke Jalan
Oleh: Mukodi*
Oleh: Mukodi*
Terpujilah wahai engkau, ibu-bapak guru…. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku…. Engkau patriot pahlawan bangsa…., tanpa tanda jasa… Penggalan syair Himne Guru ini seolah menggambarkan takdir guru untuk pasrah menerima nasib, bekerja tanpa menggarap penghargaan yang layak, sekaligus sebagai legalitas doktrin penanaman keikhlasan.
Sekian lama menerima nasib dan pasrah dengan keadaan, akhirnya para guru pun berunjuk rasa menuntut hak dan pertanggungjawaban pemerintah. Tak disangkal, aksi demontrasi para guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) beberapa hari yang lalu merupakan puncak akumulasi kekecewaan mereka. Hal ini terlihat dari pelbagai tuntutan yang dialamatkan kepada pemerintah, misalnya realisasi anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN, implementasi UUGD No. 20/2003, tunjangan fungsional guru, standarisasi UN, pengesahan PP Guru dan pendanaan pendidikan.
Sungguh menyedihkan nasib para guru di negeri ini, dari masa ke masa nasibnya tak kunjung membaik. Padahal, tugas dan tanggung jawab mereka teramat berat, mendidik, membimbing sekaligus mengarahkan peserta didik menjadi pribadi yang cerdas, tangguh, kreatif, bermoral dan bertanggung jawab. Sehingga tututan para guru kepada pemerintah tersebut, tidaklah berlebihan dan menjadi sangat rasional. Mengingat UUGD pasal 14 ayat 1 dengan jelas menegaskan bahwa guru berhak: "memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.''
Namun realitas berbicara lain, gaji guru di negeri ini sangatlah rendah dan terkesan tidak ''manusiawi''. Terlebih gaji para guru non PNS, guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT). Mereka hanya menerima gaji rata-rata 300.000,- perbulan, bahkan ada yang digaji sebesar 100.000- perbulan. Jadi, sangat wajar jika banyak guru yang harus ngajar di banyak tempat. Bahkan tak sedikit, diantara mereka yang harus berwiraswasta, buka warung makan, menjadi sales, jualan sanyur di pasar, menjadi kuli bangunan dan pekerjaan kasar lainnya.
Akibatnya, proses belajar-mengajar di kelas pun tak maksimal, sebab para guru sudah capek bekerja di luar sekolah. Alhasil, peserta didiklah yang menjadi korban atas problem klasik ini. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan aneka macam persoalan pendidikan, khususnya masalah kesejahteraan guru. Menurut hemat penulis setidaknya ada dua hal yang bisa dijadikan alternatif solusi.
Pertama, pemerintah harus segera meningkatkan kesejahteraan para guru secara simultan. Setelah kesejahteraan para guru terpenuhi, baru pemerintah bisa menuntut mereka bekerja secara profesional. Sebab masalah kesejahteraan terkait dengan kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan. Kedua, pemerintah perlu melibatkan institusi swasta untuk menjabarkan UUGD. Dengan begitu, RPP Guru bisa cepat terealisasi dengan segera.
Semoga aksi demontrasi yang dilakukan para guru tak menjadi sia-sia. Akhirnya, para guru pun hanya bisa pasrah menunggu komitmen, loyalitas dan iktikad baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
* Penulis adalah praktisi pendidikan, sedang studi lanjut di S2 UIN Su-Ka Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar