Minggu, 10 Februari 2008

Agama Dan Proteksi Lingkungan

Agama Dan Proteksi Lingkungan
Oleh: Mukodi, S.Pd.I*
Dilansir dari Majalah Rindang Semarang

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali pada jalan yang benar” (Q.S Ar-Rum: 41).
Hingga kini bencana alam rasanya tak kunjung redah menghantui bangsa Indonesia, mulai dari bencana Tsunami di Nanggro Aceh, bencana tanah longsor di daerah Cilacap, Purworejo, Kulonprogo, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Surmatera, bahkan tejadi di tengah kota seperti di Jakarta, Semarang, Jogjakarta dan di kota lainnya. Namun semua itu, rasanya belum cukup menyadarkan tingkah laku manusia dalam “memperkosa alam”. Alam seakan hanyalah tempat untuk mengeruk kekayaan, meningkatkan kesejahteraan, dan menaikkan privasi manusia yang hidup di dalamnya. Padahal, alam pun juga makhluk Tuhan yang butuh “dimanjakan”, diperhatikan hak-haknya dan dilindungi keberadaannya.
Jangankan “dimanjakan”, diperhatikan, perlindungan terhadap alam pun agaknya sangat sedikit manusia yang mau memperhatikan. Pelbagai kasus seperti ilegal loging, pembakaran lahan hutan atas nama kesejahteraan pertanian dan kemaslahatan, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng bukit, berdirinya proyek-proyek bangunan yang tak ramah linggkungan, penggunaan alat-alat berat yang melebihi kapasitas, dan lain sejenisnya merupakan contoh betapa congkak dan rakusnya manusia mementingkan dirinya sendiri.
Berkaitan dengan itu, guru besar UGM Prof. Dr. Ir. Kabul Basah Suryolelono dalam pidato pengukuhan guru besarnya mengatakan, pelbagai peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan, sebenarnya merupakan fenomena alam. Pada saat itu, alam sedang mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Hal ini diperparah juga dengan ulah penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetapi tetap saja dilakukan. Sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan geomorphologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor. Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan juga tidak memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng bukit. Semua itu menyebabkan permukaan lereng menjadi terbuka tanpa pengaturan sistem tata air (drainase) yang semestinya. Kalau semua ini tidak dihentikan bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsong, erosi, dan sejenisnya akan selalu menghantui bangsa ini. Bahkan diperjelas dengan statement Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Prof Dr. Emil Salim yang mengatakan bahwa, bila penanganan dan perlakuan manusia terhadap bumi tetap seperti sekarang, maka pada tahun 2040 bumi tidak layak lagi untuk ditempati. (Rindang: 1996: 27).
Melihat fenomena rusaknya alam tersebut, setidaknya ada dua hal yang harus segera diupayakan:
Pertama, perlunya pendidikan berwawasan lingkungan dimasukkan dalam kurikulum sekolah sebagai mata pelajaran wajib. Sangat disayangkan hingga kini tak ada satu pelajaran pun yang secara spesifik mengajarkan tentang wawasan lingkungan, paling banter wawasan lingkungan terdapat di teks-teks pelajaran bahasa Indonesia, fisika dan biologi. Itu pun muatan materinya sangat sedikit, belum lagi kalau gurunya “tidak sadar” akan pentingnya sinerginitas ekosistem lingkungan, bisa-bisa penanaman arti pentingnya linggkungan tak disentuh. Padahal, sekolah seharusnya merupakan tempat dimana anak mulai dikenalkan arti pentingnya merawat, menjaga dan melestarikan lingkungan, dunia dimana ia berpijak dan tinggal. Kesalahan ini bukanlah tanggung jawab lembaga pendidikan semata, namun pemerintah pusat pun ikut bersalah dalam hal ini. Bergantinya kurikulum 94 menjadi kurikulum 2004 yang dikenal dengan istilah Kurikulum Berbasis Kopetensi (KBK) di dalamnya pun tidak ditemukan masuknya mata pelajaran lingkungan sebagai mata pelajaran wajib atau muatan lokal. Sehingga jangan disalahkan kalau mentalitas SDM Indonesia sekarang ini lebih cenderung merusak alam dari pada menjaga dan melestarikan. Bahkan boleh dikata, bangsa kita saat ini mempunyai slogan baru yang berbunyai: “dimana bumi dipijak disitulah bumi diperas”.
Kedua, menumbuhkan rasa empati terhadap lingkungan melaui kesadaran diri. Pelbagai peraturan dan per-undang-undangan tak akan bisa berjalan, manakala manusianya tetap tak sadar diri akan penting pemeliharaan alam, walau tak menafikan peran per-undangan Indonesia. Namun yang menjadi titik tekan adalah bagaimana masyarakat bisa mempunyai sikap andarbeni (rasa memeiliki) terhadap lingkungan sekitar. Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan untuk senantiasa mengkampayekan pentingnya memelihara dan melestarikan alam sebagai aset yang tak ternilai harganya. Melaui pelbagai kebijakan, baik yang berupa UU maupun political will diharapkan pemerintah bisa meminimalisir kerusakan alam, bukan malah berpihak pada “komonitas tertentu” yang berusaha mengekplotasi alam tanpa mau bertanggung jawab.
Peran agama
Menilik pelbagai kasus bencana alam, lantas dimanakah peran agama dalam mengantisipasi kerusakan lingkungan? Tak terbantahkan, bahwa tak ada satu ajaran agama mana pun yang membolehkan perusakan, penganiayaan dan pendzaliman pada makhluk Tuhan, termasuk juga terhadap lingkungan sekitar. Agama Islam misalnya, jauh-jauh hari telah memperingatkan manusia tentang bahaya kerusakan lingkungan dan arti pentingnya melestarikan lingkungan hidup, antara lain terdapat dalam: QS. 15: 19-20 /QS 30: 24 /QS. 55: 10 / QS. 11:61 /QS. 67 : 15 / QS. 77: 25-27 /QS. 26 : 7-8 / QS. 88: 17-21 /QS. 30 : 411-412 /QS. 2: 11 / QS. 7: 56 /QS. 28 : 77 / QS. 2: 204-204. (Fuad Amsyari, 1997:194-195).
Persoalannya kemudian adalah bagaimana umat manusia mampu menerjemahkan teks-teks Al-Quran tersebut kedalam tingkah laku kehidupan sehari-hari? Untuk menjembatani “kepincangan peran agama” ini setidaknya ada dua hal yang perlu segera diupayakan oleh ummat Islam:
Pertama, membawa teks ke-konteks kehidupan (demistifikasi) seperti yang digagas budayawan Kuntowijoyo, atau meminjam istilahnya Quraish Syihab membumikan nilai-nilai Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Dengan membawa teks ke-kontek (demistifikasi) maka agama akan kembali menjalin kontak dengan realitas masyarakatnya (Kuntowijoyo, 2005: 10). Alih kata, peran teks-teks agama (Al-Quran) dibawa ke wilayah yang lebih bersifat oprasional di lapangan, ketimbang hanya dalam bentuk dirasah semata. Sehingga hadist nabi yang berbunyi: “kebersihan adalah sebagian dari iman”, bukan hanya menjadi slogan belaka, melainkan bisa menjadi bagian dari kehidupan umat Islam.
Kedua, menumbuhkan kesalehan sosial sejak dini dalam diri individu manusia. Tak terbantahkan lagi, bahwa tugas manusia di samping menjadi abdullah juga menjadi kholifatullah dimuka bumi. Peran ganda inilah yang biasanya hanya dijalankan secara parsial oleh umat manusia. Padahal, secara defakto manusia telah sanggup menerima tugas yang maha berat ini (Baca, Q.S, ). Kesalehan individual berupa ritus penyembahan, seperti; shalat, puasa, dzikir, haji, iktikaf dan sejenisnya sebagai bagian dari sifat abdullah, haruslah diimbangi dengan kesalehan sosial yang merepresentasikan sifat khalifatullah. Sifat yang kedua inilah yang perlu ditumbuhkembangkan dan diberdayakan keberadaannya, sebab sangat sedikit manusia yang sadar akan tanggung jawabnya dilevel ini. Diperparah lagi dengan paham dikotomi ilmu yang masih melekat dibenak umat Islam. Imbasnya pun disamping kemunduran ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu profan), juga rendahnya kesalehan sosial terutama hal-hal yang tidak bersentuhan dengan ritual ibadah secara langsung. Menjaga alam lingkungan sekitar misalnya, adalah sesuatu yang jauh dari ritual ibadah, walau sebenarnya merupakan nilai subtansial ibadah itu sendiri. Logika sederhananya begini, manusia (umat Islam) akan merasa terpanggil melaksanakan shalat lima waktu dalam kondisi apapun dan dimana pun tempatnya, tidak menafikan mereka yang terpaksa menjalankannya. Tetapi, amat sedikit manusia (umat Islam) yang merasa terpanggil untuk tidak membuang sampah disembarang tempat dalam kondisi dan situasi apapun. Sehingga fenomena longsornya tumpukan sampah yang terjadi di Jawa Barat beberapa waktu yang lalu, bukan tidak mungkin terulang disuatu hari. Di sinilah betapa pentingnya menumbuhkan kepekaan sosial sejak dini terutama dalam meminimalisir kerusakan lingkungan, sebagai bagian dari tanggung jawab kita sebagai wakil Tuhan dimuka bumi (khalifatullah fil ardh).
Sudah semestinya bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam harus bisa menjaga kelestarian alam sekitar, sebab Allah SWT telah memerintahkan manusia agar senantisa menjaga dan melestarikan ekosistem alam seisinya. Untuk itulah, para ulama sebagai pemegang kendali umat juga harus ikut menghimbau umatnya agar mau memelihara lingkungan melalui pelbagai pengajian dan ceramah kerohanian lainnya. Melaui kearifan dan kepedulian semua pihak inilah kerusakan lingkungan, bencana alam akan bisa diminimalisir.
Yang perlu diingat, kalau tidak kita siapa lagi yang mau merawat dan melestarikan alam Indonesia yang dulu hijau non indah, hari ini tampak pucat dan kusam.Terakhir, dalam hening ku berdoa, Tuhan….! teduhkanlah bumiku yang kian memanas, segarkanlah udaraku yang semakin kotor berdebu, hijaukanlah hutanku yang semakin tak berpohon, alirkanlah hutanku yang semakin tak berair, Tuhan pun lalu berbisik, seraya menjawab: “Damaikanlah hatimu, bumi pun kan lestari”

* Penulis adalah pemerhati sosial, sedang studi di S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar: