Minggu, 10 Februari 2008

Sertifikasi dan Citra Guru


Sertifikasi dan Citra Guru
Oleh: Mukodi*
Dilansir dari Koran Ternate Post

Hadirnya UU Guru Dan Dosen No. 14 Tahun 2005 merupakan satu terobosan baru bagi dunia pendidikan. Terutama issu akan segera diberlakukannya sertifikasi di semua jenjang pendidikan. Pertanyaannya kemudian, apakah kehadiran UU tersebut bisa memperbaiki benang kusut pendidikan? Apakah dengan sertifikasi guru benar-benar berdampak positif terhadap profesionalitas seorang guru? Mungkinkah sertifikasi bisa mengembalikan citra guru menjadi sosok digugu dan ditiru sekaligus meningkatkan kesejahteraannya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seakan menjadi kewajaran dan acapkali diperbincangkan banyak pakar, dan para guru. Apalagi, ditengah bergulirnya pergantian Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dan rencana pemerintah menaikkan standar ujian nasional tahun 2007 nilai rata-rata 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Sehingga sertifikasi pendidikan bagi tenaga edukatif merupakan suatu keniscayaan yang harus diupayakan pelaksanaannya. Selain itu, sertifikasi juga diharapkan bisa meningkatkan kualitas para guru menjadi guru yang lebih profesional di tengah merosotnya pendidikan nasional. Sekaligus suatu terobosan baru, good will pemerintah untuk mengembalikan “kehormatan guru” yang selama ini “telah hilang”.
Di sisi yang sama, sertifikasi adalah peluang dan tantangan bagi para guru. Peluang untuk melakukan koreksi mandiri dalam proses belajar-mengajar. Tentunya terkait dengan keempat kompetensi yang harus dimilikinya, yaitu: kompetensi kepribadian, paedagogik, profesional dan sosial. Tantangan yang mesti dihadapi adalah guru harus menjadi sosok pribadi teladan yang shaleh, mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas, memiliki pemahaman aplikatif dan metodologik.
Sehingga untuk mengembalikan citra guru menjadi lebih percaya diri (convidence) dengan status sosialnya sebagai guru, maka uji sertifikasi keguruan merupakan suatu keniscayaan. Namun angin segar uji sertifikasi ini bagi sebagian para guru rupanya hanya menjadi mimpi yang sulit diwujudkan. Mengingat sulit terpenuhinya sejumlah syarat yang ditawarkan oleh pemerintah. Misalnya untuk bisa mendaftar uji sertifikasi ditingkat SMP, seorang guru harus: mempunyai golongan IV a; masa kerja 20 tahun; memiliki jumlah jam 24 jam perminggu; pendidikan S1, dan usia maxsimum 55 tahun; dan diprioritaskan bagi guru yang berprestasi (KR, 6 Desember 2006). Kriteria tersebut memunculkan sejumlah pertayaan, bagaimana nasib guru-guru muda yang produktif tapi tidak cukup syarat? Bagaimana nasib guru-guru swasta yang sudah mengabdi selama berpuluh-puluh tahun? Sehingga kriteria lamanya kerja, dan status kepangkatan perlu ditinjau ulang.
Pelbagai polemik tentang sertifikasi haruslah disikapi dengan arif dan bijaksana. Sehingga keberadaan sertifikasi benar-benar bisa menjadi proses menuju keprofesiolan seorang guru. Akhirnya, ketatnya kualifikasi untuk menjadi seorang guru akan berdampak positif terhadap kepribadian seorang guru. Guru akan merasa bangga atas statusnya, dan berdampak positif pula terhadap proses belajar-mengajar di kelas.

* Penulis adalah praktisi pendidikan, studi lanjut di Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: