Minggu, 10 Februari 2008

Fenomena Gengster di Sekolah

Fenomena Gengster di Sekolah
Oleh: Mukodi, S. PdI*


"Fenomena gengster belakangan ini, harus dijadikan sebagai wahana introspeksi bagi lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anaknya."
Fenomena gengster dikalangan anak-anak muda belakangan ini menuai kegelisahan bagi para orang tua, tak terkecuali para pendidik di sekolah. Bagaimana tidak, beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan pemberitaan media massa yang menunjukkan tindakan anarkis anak-anak muda yang tergambung dalam geng motor. Mereka menghajar sembilan remaja yang sedang melihat pemandangan di kota Bandung dari atas jalan layang, hingga babak belur (2/9/2007). Belum lagi hal itu hilang dari ingatan, selang beberapa hari sesudahnya, pihak kepolisian Indonesia berhasil meliput gambar proses perekrutan anggota baru geng motor di kota Bandung.
Alhasil, sungguh diluar perkiraan sebelumnya, ternyata proses perekrutan calon genster baru ini syarat dengan nilai-nilai kekerasan dan menjurus pada tindakan premanisme. Parahnya lagi, kebanyakan anggotanya masih berstatus sebagai pelajar disejumlah sekolah. Mencermati realitas ini, sebagai warga negara yang peduli dengan pendidikan tentunya kita merasa prihatin atas tingkah pola generasi muda ini. Bahkan pelbagai pertanyaan pun akan segera mengemuka dibenak kita, mengapa gengster seolah menjadi trend bagi para pelajar dewasa ini? Apakah tidak ada pilihan yang lebih bijak untuk mengisi masa-masa muda, ketimbang bergabung menjadi anggota gengster? Lantas dimanakah peranan sekolah dalam membimbing peserta didiknya?
Pertanyaan semacam ini menjadi kelaziman di tengah derasnya pemberitaan media massa atas tindakan oknom ''pelajar'' yang berbuat ''ulah''. Sehingga tak sedikit pihak sekolah terkesan sangat "reaksionis" terhadap prilaku para pelajar tersebut. Sekolah yang mendapati siswanya menjadi anggota gengster pun mengambil tindakan, mulai dari pemberian sanksi ringan bahkan sanksi terberat berupa ''pemecatan'' peserta didik dari sekolah tersebut. Namun perlu diingat, keprihatinan dan kekecewaan para pendidik, tidak selayaknya harus menghukum peserta didik dengan cara-cara ''pemecatan'' dari sekolah. Sebab hukuman ini kurang begitu mendidik dan bisa menjadi preseden buruk terhadap perkembangan psikologi seorang anak.
Pembinaan Berkelanjutan
Menurut hemat penulis, pembinaan dan pendampingan secara berkelanjutan bisa dijadikan pilihan bijak oleh pihak sekolah untuk memperbaiki tingkah laku oknum pelajar yang ''nakal''. Pembinaan dan pendampingan ini pun hendaknya melibatkan peran serta orang tua siswa dan masyarakat sekitar. Sinerginitas ketiga komponen ini, yang dalam bahasa Ki Hajar Dewantara disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan harus bisa dioptimalkan. Sehingga para pelajar nantinya dapat dibimbing dan diarahkan di jalur-jalur yang benar, sesuai dengan minat dan potensi yang dimilikinya.
Di sisi yang sama, pihak sekolah pun harus lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didiknya. Terlebih di level SMP dan SMA, sekolah dalam hal ini seluruh stake holder-nya dituntut lebih inovatif, karena masa perkembangan peserta didik di masa-masa inilah tahap yang paling krusial dan menentukan. Bukan tidak mungkin, maraknya geng-geng motor/gengster sejenisnya dipelbagai daerah, akibat dari lemahnya responsibilitas sekolah dalam memenuhi kebutuhan peserta didiknya. Alih kata, minimnya aksesibilitas peserta didik dalam mengaktualisasikan diri di sekolahnya. Ketidakpuasan ini kemudian diekspresikan mereka dengan membentuk kelompok-kelompok/geng-geng, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Sehingga fenomena geng motor/gengster sejenisnya hendaknya bisa dijadikan wahana introspeksi bagi lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anaknya. Sebab hakikat mewaspadai gejala gengster berarti melakukan proses pendidikan secara optimal dan berkelanjutan. Bukankah anak adalah amanah yang harus dilindungi dan diperhatikan hak-haknya? Akhirnya, semoga kita selaku manusia yang lebih dewasa mampu menjadi pendidik yang benar-benar mendidik. Tidakkah anak-anak adalah aset bangsa yang harus dijaga, dirawat, dididik dan ditempatkan sebagai pribadi yang harus dipenuhi hak-hak dan kebutuhannya?

* Penulis adalah pemerhati pendidikan, sedang studi lanjut di S2 UIN Suka Yogyakarta

Tidak ada komentar: