Minggu, 10 Februari 2008

Pendidikan Pelipur Lara


Pendidikan Pelipur Lara
Oleh: Mukodi*

"Nenek saya ingin saya memperoleh pendidikan, karenanya, ia tidak mengizinkan saya sekolah," demikian Everett Reimer mengutip kalimat Margaret Mead ketika menulis bagian pendahuluan bukunya School is Dead (Everret Reimer, 1971). Kritik Reimer ini seolah sangat sesuai dengan kondisi pendidikan di Indonesia dewasa ini.
Bagaimana tidak? Sekolah di negeri ini hanya milik kalangan elit semata. Bukan milik mereka kaum papa, yang tak berpenghasilan. Sekolah bagi kaum papa hanyalah sebatas "melihat" tembok-tembok tinggi, pagar-pagar besi yang membentengi bangunan "segi panjang," yang biasa di sebut sekolah. Apa boleh dikata, walau kemerdekaan telah lebih dari setengah abad lamanya. Namun nyatanya, banyak masyarakat kita yang tidak bisa merasakan indahnya bersekolah.
Alih-alih kaum papa bisa merasakan bangku sekolah, bisa makan saja di esok hari, mereka sudah beruntung. Apalagi belakangan ini bahan sembako beralih harga, dari "hampir terjangkau" menjadi "sangat tak terjangkau." Kelangkaan minyak tanah, kebijakan konversi minyak tanah ke kompor gas, melambungnya harga tahu-tempe, rentetan bencana alam yang datang silih-berganti, seakan lengkaplah sudah penderitaan masyarakat kecil.
Barangkali, kalau kita boleh berkata jujur, sekarang rakyat kecil mulai terjangkit wabah "penyakit prostasi." Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang berkepanjangan adalah penyebab utama dari penyakit ini. Padahal, dalam kaca mata kaum sosialis, penyakit semacam ini merupakan penyakit yang sangat mengerikan. Lama-kelamaan penyakit ini akan melahirkan, pudarnya sikap nasionalis, berujung pada hilangnya kepercayaan terhadap eksistensi suatu negara. Meminjam bahasanya Gus Dur, bisa melahirkan terjadinya revolusi sosial. Kalau hal ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin revolusi sosial akan benar-benar terjadi.
Semestinya pemerintah harus segera mengerti bahwa batas kesabaran masyarakat kita, tak sekokoh masa lalu, yang hanya diam menunggu dan menggerutu. Masyarakat sekarang sudah mulai cerdas, bagaimana semestinya bertindak dan bersikap. Sungguh merupakan suatu keniscayaan, apabila pemerintah mulai menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya, yaitu menyejahterakan rakyatnya. Masyarakat sebetulnya tidak menuntut yang neko-neko, alias yang aneh-aneh. Mereka hanya butuh, pangan, papan dan sandang. Karena kebutuhan ini adalah kebutuhan dasar yang harus mereka miliki. Tapi apa yang terjadi? Sampai hari ini kebutuhan dasar tersebut, belum sepenuhnya terwujud. Kemudian apa yang seharusnya dilakukan oleh negara?
Berbagi Pendidikan
Itulah salah satu langkah yang perlu segera diupayakan. Ya Pendidikan murah bahkan gratis. Mengingat pendidikan adalah media terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan suatu bangsa. Tak berlebihan kiranya, apabila bangsa kita segera bercermin ke Jepang. Bangsa yang secara konsisten menjadikan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan. Perlu diingat, bercermin bukanlah studi banding laiknya DPR dan pejabat--yang hanya menghabiskan devisa negara--melainkan meniru semangat dan komitmen suatu negara. Komitmen untuk mencerdaskan dan memberdayakan rakyatnya dari belenggu kebodohan.
Mengulang pertanyaan Raja Jepang, tatkala The Little Boy dan The Fat Man, dua bom atom AS, membubungkan cendawan merah di langit Hiroshima dan Nagasaki 63 tahun yang silam. "Berapa guru yang meninggal?" Itulah pertanyaan pertama kali yang diajukan oleh sang Raja kepada pengawalnya. Setidaknya ada dua hepotesis kenapa Raja Jepang melontarkan pertanyaan ini. Hepotesis pertama, ibu kandung kemakmuran suatu bangsa adalah pendidikan. Lalu, kedua “pendidik” adalah ibu kandung pendidikan itu sendiri. Rupanya pertanyaan Raja Jepang tersebut tak berlebihan, manakala kita menyaksikan kemegahan dan kemakmuran Jepang saat ini. Bagaimana dengan bangsa kita?
Paradoksal memang apa yang terjadi di Jepang dengan realitas bangsa kita, pendidikan yang semestinya dapat dinikmati oleh khalayak umum. Di negeri seribu etnis ini hanya bisa dinikmati segelintir orang. Padahal, dalam pembukaan UUD 1945 dengan jelas mengamanatkan bahwa pemerintah bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Apa jadinya, kira-kira apabila di UUD 1945 tidak tercantum amanat yang demikian? Yang jelas, ada amanat konstitusi saja, pendidikan tidak memihak kepada rakyat kecil, apalagi tidak ada amanat?
Sepatutnyalah pemerintah harus segera mencanangkan kebijakan baru. Kebijakan yang benar-benar memihak kepada rakyat kecil. Khususnya terkait dengan pendidikan, misalnya mencanangkan kebijakan pendidikan untuk semua (Education for All). Tak disangkal, kebijakan ini adalah isu lama, acapkali didengung-dengungkan, akan tetapi eksistensinya tak pernah terwujud. Terlebih ditengah sulitnya ekonomi yang menghimpit masyarakat, diperparah adanya rentetan musibah yang melandah. Kebijakan education for all pun bisa menjadi pelipur lara, semacam obat generik yang bisa menenangkan, walau hanya sejenak.
Terakhir, sudah saatnya negeri ini bangkit dari pelbagai keterpurukan. Membenahi pendidikan, tentunya bisa dijadikan langkah awal dalam meningkatkan kualitas kemanusiaan. Di samping, memperbaiki kemakmuran. Seperti halnya Jepang, yang menggunakan strategi pendidikan untuk bangkit dari kehancuran. Persoalannya kemudian adalah apakah pemerintah mampu dan mau merealisasikannya? Mengingat, sudah terlampau lama rakyat kecil menunggu dan dibohongi. Namun, sebagai warga masyarakat yang baik, tentunya kita berharap agar hal itu bisa segera terwujud. Bukankah hanya itu yang dapat kita lakukan?

*Esais, Pegiat Komunitas Aksara Jepara.

Tidak ada komentar: