Minggu, 10 Februari 2008

Mengejar Mimpi Pendidikan

Mengejar Mimpi Pendidikan
Oleh: Mukodi *

Dilansir dari Banjarmasin Post
Layaknya jamur di musim hujan, seiring datangnya tahun ajaran baru pelbagai sekolah pun mempromosikan lembaganya. Mulai dari sekolah TK, SD, SMP, SMA, hingga PTN/PTS berebut mencari simpati pelanggannya (masyarakat/konsumennya). Sehingga tak heran jika masing-masing lembaga pendidikan memasarkan menu terbaik yang dimilikinya. Pertanyaannya kemudian apa bedanya sekolah dengan supermarket/swalayan? Bukankah keduanya sama-sama menawarkan menu terbaik dan produk unggulan?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seakan menjadi kewajaran dan acapkali diperbincangkan masyarakat diakar rumput (grass root). Apalagi, ditengah bergulirnya pelbagai kebijakan pendidikan. Mulai dari kenaikan standar UN, pergantian Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pelaksanaan serifikasi dan sebagainya.
Tak terbantahkan, bahwa pendidikan merukan salah satu tangga menuju perbaikan hidup yang lebih baik. keTanggal 2 Mei yang lalu bangsa kita memperingati hari Pendidikan Nasional. Tanggal dimana Bapak Pendidikan Nasional dilahirkan, pendiri Taman Siswa yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Sungguh merupakan suatu keniscayaan apabila di bulan yang bersejarah ini, kita berkontemplasi dan berinstropeksi sejenak akan pendidikan kita. Sebab diakui atau tidak kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan—kalau tidak dikatakan berjalan di tempat.
Ada dua asumsi pendukung dari statmen di atas. Pertama, semakin terpuruknya kualitas pendidikan kita di kancah internasional. Hal ini tercermin dari laporan yang diterbitkan oleh Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS: 2003) yang menempatkan para siswa SLTP kelas dua di Indonesia berada diposisi ke 34, jauh dibawah Singapura dan Malaysia yang masing-masing menempati urutan pertama dan kesepuluh. Bukankah ini merupakan indikasi betapa rendahnya kualitas siswa kita secara komunal dibanding kualitas anak-anak di negara lainnya?
Realitas yang memukul dunia pendidikan kita ini, menjadi semakin lengkap, apabila kita kaitkan juga dengan laporan dari UNDP yang telah dipublikasikan. Dimana berdasarkan laporan program HDI (Human Development Index) tahun 2006. Negara kita hanya mampu menempati peringkat ke 108 dari 175 negara. Jauh tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Singapura (25), Brunei (34), Malaysia (61), Thailand (74), dan Filipina (84). (Baca, Human Developmen Report 2006).
Kedua, sampai hari ini negara kita belum mampu memenuhi kewajibannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Sehingga tidaklah sulit mencari anak-anak di usia sekolah yang menjadi pekerja pabrik, pedagang asongan, kernet-kernet bus, kuli bangunan, pengamen, bahkan sampai menjadi pelayan-pelayan lelaki hidung belang. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar 1945, dengan tegas disebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dan diperkuat pula dengan ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Dampak dari ketidakmampuan negara dalam mencerdaskan anak bangsa, bisa kita lihat, mengacu pada data Education for All (EFA) Global Monitoring Report tahun 2005. Indonesia adalah negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia, yakni sekitar 18,4 juta orang buta huruf di Indonesia. Yang mayoritasnya adalah orang miskin yang tinggal di pelosok-pelosok dan pegunungan. Hal ini semakin mempertegas bahwa pendidikan kita “telah gagal” dalam mengemban misinya sebagai wadah untuk mencerdaskan anak bangsa.
Dengan demikian, secara sederhana pendidikan kita mempunyai dua tugas besar. Disatu pihak negara bertanggung jawab mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan dilevel internasional. Dipihak lainnya, negara harus memenuhi kewajibannya, mencerdaskan anak bangsa.
Pendidikan Berkualitas
“Banyak jalan menuju roma.” Itulah kata pepatah yang cukup representatif mengambarkan betapa banyaknya cara menuju pendidikan berkualitas. Pendidikan berkualitas tidaklah harus mahal, meskipun kita tidak menutup mata terwujudnya pendidikan berkualitas membutuhkan sumber dana yang cukup. Namun demikian, kualitas pendidikan tidak hanya diukur dengan mahalnya biaya pendidikan. Alih kata, terwujudnya kualitas pendidikan bukan hanya ditentukan dan dicipta melalui tingginya biaya pendidikan an-sich.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga kata kunci dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pertama, hadirnya pendidik (guru) yang berkualitas. Pendidik yang berkualitas merupakan keniscayaan di tengah keterpurukan kualitas pendidikan dewasa ini. Sebab ditangan pendidik yang profesionallah keterbatasan sarana-prasana bisa disulap menjadi kelebihan yang luar biasa. Sehingga tak heran, jika ungkapan the man behind the gun dialamatkan padanya.
Ungkapan di atas tersebut, menggambarkan bahwa keahlian dan kepiawaian seseorang menggunakan dan memegang senjata, sangat menentukan keunggulan dan kedahsyatan sebuah senjata. Pengajar dalam hal ini pendidik adalah the man yang akan menentukan keberhasilan dan kualitas pendidikan, melalui sarana dan prasarana (the gun) yang dimiliki sekolah. Bergulirnya wacana sertifikasi pendidikan bagi tenaga edukatif membuka sedikit angin segar akan terwujudnya tenaga pendidik yang berkualitas.
Kedua, adanya kurikulum pendidikan yang berbasis realitas. Tak dipungkiri, bahwa kurikulum yang baik adalah kurikulum yang relevan dengan kebutuhan ummat. Namun realitas berbicara lain, kurikulum di negeri ini bagaikan menara gading, yang sangat jauh dari realitas kebutuhan masyarakat (grass root). Hal ini bisa dilihat betapa banyaknya masyarakat yang bodoh dan tidak berdaya (terutama melihat potensi daerah/lokal). Lahirnya kurikulum KBK dan KTSP akhir-akhir ini setidaknya bisa menjadi awal dari pemberdayaan ummat.
Ketiga, lembaga pendidikan harus senantiasa memperluas relasi dan networking. Relasi dan networking merupakan dua entitas yang sangat menentukan dalam lapangan kerja. Diakui atau tidak, dunia pendidikan sekarang ini mau tidak mau harus mengikuti logika “pasar”. Apalagi jika mengacu pada konsep Total Quality Management (TQM), jelas sekali disebutkan bahwa persekolahan harus memperhatikan apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan oleh pelanggan atau pengguna jasa pendidikan. Sehingga semakin banyak relasi dan networking sebuah lembaga pendidikan akan senantiasa bisa suvive. Di sinilah man action (para leader) memegang peranan penting untuk melakukan interkoneksitas dengan pengguna jasa pendidikan
Pendidikan Berkeadilan
Tak dipungkiri, dewasa ini masih banyak anak-anak di usia sekolah yang belum mengenyam pendidikan secara semestinya. Terutama bagi anak-anak yang berasal dari kalangan papa (kaum miskin). Mereka hanya bisa menyaksikan teman-temannya menjinjing tas dan masuk ke gedung-gedung yang dikelilingi pagar—yang lazim disebut sekolah. Kemiskinan dan lemahnya perekonomian keluarga acapkali menjadi alasan kenapa anak-anak tersebut tidak bisa mengakses pendidikan.
Data Bank Bunia pun, menunjukkan bahwa hampir separo penduduk Indonesia atau 108,78 juta (49%) masuk kategori miskin dan rentan miskin (Desember 2006). Sehingga sangatlah logis apabila lemahnya perekonomian keluarga menjadi akar pangkal dari ketidak berpihakan anak-anak untuk bersekolah. Untuk itu, pemerintah harus segera merealisasikan 20 % anggaran pendidikan seperti yang termuat dalam UUD 45 pasal 31 ayat 1. Agar semua kalangan bisa merasakan enaknya bangkau sekolah.
Dengan demikian, terpenuhinya anggaran pendidikan menjadi 20 % merupakan langkah awal menuju perubahan. Perubahan dari pendidikan eksklusif menuju pendidikan inklusif dan populis. Pendidikan yang hanya milik kalangan elit “berkemakmuran.” Menjadi pendidikan yang memihak kepada rakyat kecil, bagi kaum papa, dan bagi anak-anak yang tersisihkan dari kemewahan. Keberpihakan pendidikan ini akan melahirkan pendidikan murah menuju pendidikan gratis. Sehingga diperlukan adanya komitmen dan iktikad baik (good will) pemerintah, khususnya untuk segera merealisasikan anggaran pendidikan sebagaimana amanat Undang-Undangan Dasar 1945.
Akhirnya, semoga dengan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan, kaum papa bisa menikmati bangkau sekolah. Menuju terciptanya generasi yang tangguh, berkualitas, dan berkarakter. Semoga bangsa ini bisa bermartabat dan berdaulat dipentas internasional sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Penulis adalah kordinator diskusi Ikatan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana (IKMP) UIN Su-Ka Yogyakarta.

Tidak ada komentar: