Kamis, 13 November 2008

Pendidikan Anti Korupsi

Pendidikan Anti Korupsi
Oleh: Mukodi, M.SI*

Disampaikan Pada Diskusi Kelas Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Paradoksal memang virus korupsi di negeri kita. Korupsi, laiknya drama kolosal. Tiap hari berganti-berganti episode. Pemerannya pun, bermuka-muka. Sebagai penonton, masyarakat seolah dimanjakan. Tinggal mau melihat kasus korupsi yang mana? Mulai dijajaran eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. Semua tersaji secara lengkap.
Realitas tersebut, tentu sangat ironi. Mengingat kebanyakan koruptor adalah kaum cerdik pandai. Bahkan tak sedikit mereka, meyandang gelar doktor dan profesor. Gelar kepakaran, yang semestinya digunakan memberdayakan rakyat. Sebaliknya, malah digunakan memperdayai rakyat.
Apa yang salah dengan pendidikan kita? Barangkali pertanyaan ini yang menghinggap dihati sanubari kita. Ditengah pelbagai kesaksian dan pengakuan para koruptor di televisi.
Pertanyaan itu, menjadi wajar. Karena koruptor terlahir dari rahim institusi pendidikan. Mengurai persoalan pendidikan kita, ibarat mengurai benang kusut. Semakin diurai, semakin runyam (Prof. Mastuhu, 2002). Namun, hal mendasar yang paling merisaukan adalah persoalan kurikulum. Kurikulum pendidikan kita, nampaknya padat isi, tapi miskin refleksi (penghayatan).
Alhasil, siswa dijejali pelbagai disiplin ilmu, tapi minim wahana pengamalan. Jadi, teori sekadar teori. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Idealnya, kurikulum itu sedikit materi, keyal isi (Suparlan Suhartono, Ph.D, 2006). Walau, berganti-ganti kurikulum, nyatanya pendidikan kita masih padat materi. Sehingga pergantian kurikulum, kurang begitu efektif. Apakah hal itu, penyebab korupsi?
Mempertebal Pendidikan Agama
Imbas over load-nya muatan kurikulum kita, menyebabkan Mapel tertentu di sepelekan siswa. Salah satu contohnya adalah pendidikan agama. Kini, pendidikan agama mulai tereliminasi. Ia seakan menjadi Mata Pelajaran pelengkap. Lebih-lebih, nasib pedidikan agama di sekolah umum. Padahal, sejatinya pendidikan agama merupakan pelajaran inti. Karena didalamnya terkandung filsafat moral. Mulai dari penilaian halal-haram, boleh-tidak boleh, baik-buruk, etis-tidak etis, sampai etika lingkungan disajikan.
Jika, hal itu terus dibiarkan, bisa menjadi preseden buruk bagi out-put pendidikan kita. Analoginya sederhana, kalau dulu pendidikan agama mendapat perhatian dari siswa saja, ketika mereka dewasa dan tua tetap "hobi berkorupsi" (baca sekitar). Apalagi belakangan ini, nasib pendidikan agama diremehkan siswa, bisa jadi virus korupsi semakin beranak pinak di bumi pertiwi ini.
Untuk itu, sudah saatnya pendidikan agama dipoulerkan kembali. Mengapa hal ini penting? Sebab mempopulerkan pendidikan agama, berarti membasmi virus korupsi sejak dini. Khususnya, disanubari anak-anak. Mengingat apa pun agamanya, doktrin ajarannya selalu menempatkan korupsi sebagai musuh. Tinggal bagaimana kita mampu memformat pendididikan anti korupsi, menjadi bagian dari pendidikan agama. Itulah, yang perlu dipikirkan?
Tripartit Pendidikan
Menurut hemat saya, untuk melaksanakan pendidikan anti korupsi integral dengan pendidikan agama ada tiga cara. Ketiganya, sering disebut sebagai tripartit pendidikan, alias tri pusat pendidikan. Yaitu, pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Pertama, pendidikan anti korupsi di keluarga. Menipisnya pendidikan di keluarga, disinyalir ikut serta mengingis kepribadian anak (Kartini Kartono, 2004). Apalagi, yang terkikis itu pendidikan agama. Tentu menjadi semakin parah. Semestinya, keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak. Tak mustahil, para koruptor, waktu kecilnya kurang asupan ilmu agama di rumah. Atau mereka tak memahami nilai-nilai luhur pendidikan agamanya.
Parahnya lagi, para orang tua sudah terlanjur mempercayakan pendidikan buah hatinya sepenuhnya ke pihak sekolah. Sehingga pendidikan agama pun jarang sekali--untuk tidak mengatakan--tak pernah lagi diajarkan di keluarga. Praktis, anak-anak pun miskin ilmu agama. Menginjak dewasa, ia pun lantas tak mengenal etika. Untuk itu, pendidikan agama di keluarga harus diperkuat kembali. Harapannya, kelak ia akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang beradap, tak berkorupsi.
Kedua, pendidikan anti korupsi di sekolah. Tentu perwujudannya tak harus dilegalkan dalam bentuk Mapel baru, melainkan bisa dimasukkan dalam sub kurikulum pada pelajaran terkait. Misalnya dimasukkan pada Mapel agama, PPKN, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan sejenisnya. Dengan begitu, akhirnya pendidikan anti korupsi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pelbagai macam pelajaran. Keuntungannya, gerakan melawan korupsi bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bidang studi, melainkan tanggung jawab seluruh guru yang ada di sekolah.
Di samping itu, pendidikan anti korupsi perlu dipraktekkan secara langsung di sekolah. Misalnya, sekolah mengilangkan tradisi menyontek, memberikan penghargaan (reward) bagi siswa-siswi yang jujur dan memberikan hukuman (punishment) terhadap mereka yang berdusta. Sekolah pun perlu mengintensifkan pendidikan di luar kelas, misalnya mengajak siswa-siswi berkunjung ke tempat panti asuhan dan anak-anak jalanan. Tujuannya, agar kelak mereka tumbuh kepekaan sosialnya. Sehingga di kemudian hari, jika mereka menduduki posisi apa pun. Mereka selalu ingat dengan nasip orang-orang yang termajinalkan, alias kaum papa.
Ketiga, pendidikan anti korupsi di masyarakat. Praktiknya, di setiap event kemasyarakatan, ketua RT, RW atau pemuka lainnya hendaknya mengingatkan warganya untuk menjauhi tindak korupsi. Cara ini memang klasik, tapi efektif jika dijalankan. Minimal dapat memperkecil syahwat masyarakat berkorupsi.
Dengan demikian, akhirnya virus korupsi lambat laun akan mejadi kredil dan mati. Bukankah korupsi adalah musuh kemanusiaan yang harus dilawan? Jelasnya, pendidikan anti korupsi dapat menjadi imun terbaik untuk melawan wabah korupsi.

*Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Budaya, tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar: