Kamis, 13 November 2008

Katasrofa Pendidikan Kita?

Katasrofa Pendidikan Kita?
Oleh: Mukodi, M.S.I*


Dimuat di Majalah CANDRA Dinas Pendidikan Yogyakarta.
Belum hilang dari ingatan kita, pemberitaan media massa yang mempertontonkan tinju bebas ala smackdown anak-anak muda yang tergambung dalam geng motor Bandung. Mereka menghajar sembilan remaja yang sedang melihat pemandangan dari atas jalan layang, hingga babak belur (Kompas, 2/9/2007).
Beberapa hari sesudahnya, pihak kepolisian pun berhasil meliput adegan kriminalitas sejenis. Yakni prosesi perekrutan anggota baru geng motor di kota Bandung. Kini, ingatan itu menguat kembali. Pemicunya juga sama, beredarnya video adegan premanisme geng Nero di Kota Pati. Tragisnya, anggotanya ternyata adalah para siswi di sejumlah sekolah wilayah Pati.
Kasus gengster yang terakhir ini, seolah memacu detak jantung kita lebih keras. Terutama bagi para pendidik, pemerhati pendidikan, pemerhati sosial, dan sejumlah orang tua. Pasalnya, kaum hawa (remaja putri) yang biasanya berbalutkan kain kelembutan, kasih sayang dan kemolekan budi malah merias diri mereka dengan busana kekerasan.
Padahal, Pati adalah kota kecil, kota yang dikenal ramah, kental nilai-nilai budaya jawa perdesaaan dan dikelilingi pondok pesantren salafiah. Logika sederhananya, jika di Pati saja seperti itu lantas bagaimana dengan kota-kota besar lainnya? Wajar kiranya, opini publik tergiring pada wacana bahwa sejatinya geng-geng ABG telah mengakar urat di komunitas-komunitas remaja. Hanya saja, kelompok-kelompok tersebut tak terekspos oleh media atau belum berani unjuk kebolehan.
Budaya Ngegeng
Dalam pandangan teori psikologi, terbangunnya geng-geng, klub-klub, komunitas-komunitas sebaya diantara para remaja sesungguhnya merupakan pertanda ditabuhnya masa remaja (adolesence) (Irwanto, 2002). Jadi, kasus munculnya geng motor di Bandung dan geng Nero di Pati Jawa Tengah tentu menjadi kewajaran. Permasalahan baru muncul, tatkala geng-geng tersebut, bergeser dari geng-geng lokal yang santun berafeliasi menjadi geng-geng preman-radikal.
Aksi-aksi premanisme peserta didik yang tergabung dalam geng motor tersebut, mengingatkan kita terhadap aksi-aksi serupa oleh sejumlah ormas dan organisasi akhir-akhir ini. Sebut saja, berita teranyar kasus berdarah FPI atas AKKBP pada 1 Juni di Monas, kekerasan aparat keamanan atas mahasiswa ke Universitas Nasional (Unas), tindakan barbar simpatisan partai tertentu akibat kekalahan Cagub-Cawagub dalam Pilkada di sejumlah daerah, dan tindak kekerasan lainnya.
Barangkali tindakan kekerasan para gengster ABG tersebut, sebagai pantulan atas tindakan seniornya (manusia dewasa). Karena masa remaja adalah masa-masa imitasi dan pencarian jati diri (Kartini Kartono, 1990). Ironisnya, budaya yang dipertontonkan orang dewasa saat ini adalah budaya barbar; tawuran, pertikaian, premanisme dan perselingkuhan. Salahkah, jika para remaja, menyontoh apa yang mereka saksikan sehari-hari?
Walau demikian, sebagai warga negara tentunya kita merasa prihatin dan berduka. Mungkin tergelitik pertanyaan dibenak kita, mengapa geng seolah menjadi trend di sekolah? Apakah tidak ada pilihan yang lebih bijak untuk mengisi masa-masa muda, ketimbang bergabung menjadi anggota geng? Lantas dimanakah peranan sekolah dalam membimbing peserta didiknya?
Pertanyaan semacam itu menjadi kelaziman, di tengah derasnya pemberitaan media massa atas tindakan oknom peserta didik yang berbuat ulah. Bahkan tak sedikit pihak sekolah terkesan sangat reaksionis. Sekolah yang mendapati peserta didiknya menjadi anggota geng pun mengambil tindakan. Mulai dari pemberian sanksi ringan, hingga sanksi terberat berupa pemecatan. Padahal, keprihatinan dan kekecewaan, tak harus dilakukan dengan pengusiran. Sebab hukuman ini kurang mendidik dan bisa menjadi preseden buruk terhadap perkembangan psikologi peserta didik.
Membuka Dialog
Dalam konteks ini, menurut hemat saya, pembinaan secara berkelanjutan bisa dijadikan pilihan bijak. Terutama untuk memperbaiki tingkah laku peserta didik yang nakal. Pembinaan ini tidak saja melibatkan guru, melainkan juga dari pihak orang tua siswa dan masyarakat. Sehingga sinerginitas Tri Pusat Pendidikan ini--meminjam bahasa Ki Hajar Dewantara--nantinya bisa efektif untuk mengarahkan peserta didik.
Selain itu, pihak sekolah pun harus lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan potensi peserta didiknya. Lebih-lebih di level SMP dan SMA. Karena dimasa-masa inilah tahap yang paling krusial dan menentukan. Bukan tidak mungkin, maraknya geng-geng motor dipelbagai daerah, akibat dari lemahnya responsibilitas sekolah. Minimnya aksesibilitas peserta didik dalam mengaktualisasikan diri di sekolah. Kemudian diekspresikan dengan membentuk tongrongan-tongrongan baru.
Untuk itu, mewabahnya komunitas geng-geng ABG akhir-akhir ini, hendaknya dijadikan ajang introspeksi sistemik. Khususnya bagi lembaga pendidikan, orang tua dan masyarakat. Di samping itu, sebagai wahana untuk mengoptimalkan organisasi-organisasi kepemudaan yang ada. Sehingga tatkala para peserta didik (remaja) terpuaskan olehnya, maka bentukan geng-geng baru akan menjadi minimal.
Namun, jika geng-geng baru terlanjur ditetaskan dari rahim komunitas ABG. Tentu tidaklah bijak, jika kita (manusia dewasa) mebuihkannya. Apalagi sampai memberangusnya. Tepat kiranya, jika kita malah melarutkan diri ke dalam komunitas-komunitas tersebut. Disinyalir sikap itu, akan membuka ruang dialog antara remaja, orang dewasa dan orang tua. Sehingga kondisi ini akan mendorong kedekatan emosional yang positif.
Dengan begitu, hubungan antar ketiganya akan menjadi harmonis. Imbasnya, para ABG akan selalu terpantau secara sosial, komunal, dan kultural. Akhirnya, pelbagai tindak negatif yang dilahirkan gengster pun dapat tereduksi. Bukan tidak mungkin aksi-aksi premanisme geng-geng ABG yang ada. Bermula dari ketidakharmonisan dan ketegangan antar generasi. Tidakkah itu, sangat disayangkan? []

* Penulis adalah Direktur L-PaS (Lembaga Pendidikan, Agama, dan Sosial) Yogyakarta. Peneliti utama CDASC Yogayakarta.

Tidak ada komentar: