Kamis, 13 November 2008

Dilema Madrasah Unggulan

Dilema Madrasah Unggulan
Oleh: Mukodi, M.S.I*


Disampaikan Pada Diskusi Kelas Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta

Memasuki abad 21, kini eksistensi madrasah di Indonesia berada serba dilematis. Di satu sisi, madrasah dituntut untuk adaptif dengan perubahan dan perkembangan zaman. Di sisi lainnya, madrasah dituntut pula untuk tetap menjaga tradisi dan ciri khas ke-madrasaan-nya.
Kedua hal itulah yang menjadikan dilema bagi keberadaan madrasah dewasa ini. Karena pilihan menempuh jalan masing-masing dari keduanya, mengandung kosekuensi logis tersendiri. Memilih menjadikan madrasah yang adaptif dengan perubahan, berarti siap meleburkan madrasah ke dalam modernitas. Imbasnya, nilai-nilai ke-salafiahan madrasah akan segera memuai dan mememudar. Sedangkan kekeh mempertahankan ciri khas madrasah, otomatis rela terhanyut ke dalam tradisi salafiyah yang mabni (konstan). Parahnya, madrasah model ini semakin sulit mendapat tempat dikalangan masyarakat modern.
Dengan demikian, tak berlebihan jika kebanyakan praktisi pendidikan meramalkan kondisi madrasah lambat laun ibarat hidup segan mati pun tak mau. Mengapa demikian? Sebab kondisi madrasah pada umumnya lemah dalam struktur dan infrastrukturnya. Apalagi madrasah yang ditangani secara salaf atau tradisional.
Indikasi keterpurukan madrasah dapat terlihat dengan jelas, dari tahun ke tahun partisipasi masyarakat untuk mengamanahkan anak-anak mereka di madrasah semakin rendah. Masyarakat seolah tak lagi menaruh harapan dari institusi pendidikan Islam. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam baik di jenjang MI, MTs, maupun MA identik menempati kelas nomor dua. Bahkan pemagzulan tersebut, berlanjut sampai di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. STAIN, IAIN dan UIN pun selalu menjadi pilihan terakhir, tatkala calon mahasiswa baru terpental dari PTN.
Reposisi Madrasah
Apa ada yang salah dengan institusi pendidikan Islam? Kalau tidak ada yang salah, kenapa sekarang institusi pendidikan Islam sulit mendapatkan tempat di hati masyarakat? Itulah pertanyaan yang selama ini menggelitik dalam benak penulis. Untuk mendapatkan jawaban yang akurat dari pertanyaan tersebut, tentu membutuhkan penelitian lebih lanjut. Namun bila menengok sejarah awal berdirinya madrasah di Indonesia, kita dapat segera menemukan jawaban sederhananya. Setidaknya, hal itu disebabkan karena pergeseran paradigma masyarakat modern.
Masyarakat modern dewasa ini lebih mengedepankan material oriented dari pada spiritual oriented. Disinyalir pergeseran paradigmatik ini akibat dari derasnya arus globalisasi dan pasar bebas. Sehingga tak mengherankan, jika lembaga pendidikan umum selalu menjadi rebutan, ketimbang lembaga pendidikan Islam. Dengan kata lain, sekolah umum menjadi anak emas dan madrasah selalu jadi anak tiri.
Dengan demikian, masyarakat modern lebih mengedepankan aneka ragam skill dan keahlian yang ditawarkan di lembaga pendidikan umum. Jadi, pilihan-pilihan itu, lantas memihak kepada sekolah-sekolah umum. Mengingat sekolah-sekolah agama (masih) miskin dengan skill keahlian. Sebaliknya, sangat kenyal dengan nilai-nilai religiusitas. Inilah tantangan terberat yang harus dipecahkan oleh para pengelola pendidikan Islam.
Pilihan-pilihan pragmatis tersebut, tentu sangat rasional di tengah himpitan perekonomian dan sulitnya lapangan pekerjaan. Walau harus diakui, tak ada jaminan bahwa tamatan sekolah umum, lebih mudah mendapatkan pekerjaan dibanding tamatan madrasah. Tapi secara jujur dapat dikatakan, bahwa aksesibiltas pendidikan umum lebih terbuka daripada pendidikan agama.
Persoalan ini sejatinya issu klasik, namun hingga kini sulit ditemukan pemecahannya. Fenomena merebaknya madrasah-madrasah salafiah (tradisional) berubah menjadi madrasah modern disejumlah daerah. Mengindikasikan lembaga pendidikan Islam mulai berbenah. Sekaligus mulai memperhitungkan posisi strategis keberadaannya di masyarakat sekitar.
Menjamurnya Pendidikan Islam Terpadu, semisal Madrasah Ibtidaiyyah Islam Terpadu (MIIT/SDIT), Madarasah Tsaniwiyyah Islam Terpadu (MTsIT/SMPIT) dan Madrasah Aliyah Islam Terpadu (MAIT/SMAIT) merupakan kabar gembira bagi dunia pendidikan kita. Namun perlu diingat, pihak pengelola hendaknya tetap konsisten menjaga garis-garis demarkasinya. Idealnya, lembaga pendidikan Islam tersebut, berada ditengah-tengah antara kesalafiahan dan kemodernan. Di sinilah, letak terberat posisi madrasah yang ikut bermetamorfosis mengenakan baju modernitas.
Bahkan Prof. Dr. Zakiah Darajat mengingatkan bahwa sikap madrasah yang terlalu konservatif akan mendorong lembaga itu terasing dan bahkan lenyap dari perkembangan modern. Sebaliknya, sikap akomodatif yang berlebihan terhadap kecenderungan pendidikan modern (sekuler), akan menjerumuskan madrasah ke dalam sistem pendidikan yang lepas dari nilai-nilai keislaman.
Di samping itu, perlu disadari pula perubahan madrasah salafiah menjadi madrasah modern (unggulan), hendaknya tidak lantas meninggikan biaya operasional madrasah. Jika hal itu terjadi, tentu menjadi preseden buruk bagi masyarakat tradisional (urban). Mengingat mayoritas konsumen madrasah adalah mereka yang berada dikalangan ekonomi menengah ke bawah. Sehingga manajemen dagang ala kapitalis, harus dibuang jauh-jauh dari benak para pengelola madrasah unggulan.
Citra Positif
Tak kalah pentingnya, meretasnya madrasah-madrasah unggulan saat ini hendaknya mampu mengayomi masyarakat kecil. Terutama menyangkut dengan pembiayaan pendidikan. Sehingga menetasnya madrasah-madrasah unggulan dari rahim lembaga pendidikan Islam, diharapkan posisinya sebagai anti tesis terhadap sekolah-sekolah unggulan. Yang sejak awal pendiriannya, identik dengan tingginya biaya operasional sekolah. Bukan sekadar dilandasi semangat persaingan 'dagang', agar bisa mematok biaya pendidikan setinggi langit.
Untuk itu, setidaknya ada tiga kiat dapat dipraktekkan para pengelola madrasah unggulan, agar tetap menjadi madrasah unggulan tetapi dengan biaya murah. Pertama, mengenakan kebijakan subsidi silang bagi wali murid yang mampu secara finansial. Kebijakan ini memang sering digembar-gemborkan pihak sekolah-sekolah unggulan, tetapi prakteknya belum maksimal. Dengan begitu, bagi wali murid yang mempunyai kecukupan finansial dikenakan beban operasional madrasah lebih tinggi. Sebaliknya, para wali murid yang berada diwilayah zona kritis, alias status ekonomi menengah ke bawah mereka diberi keringanan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Apalagi, trend yang berkembang mengindikasikan bahwa keberadaan madrasah-madrasah yang dikelola secara profesional, mulai dilirik oleh para pejabat, pengusaha-pengusaha muslim dan golongan-gologan high cllas, terutama bagi mereka yang tidak sempat lagi mengajarkan pendidikan agama di rumah. Dilevel inilah, kebijakan subsidi silang akan terasa lebih efektif manfaatnya.
Kedua, memberlakukan kebijakan orang tua asuh. Kebijakan ini menjadi menarik, mengingat masih banyak golongan elit--yang mempuyai kecukupan ekonomi--tapi tidak tahu bagaimana caranya mentasarufkan harta bendanya. Di sinilah pentingnya kerjasama antara pihak pengelola lembaga pendidikan Islam dengan instansi-instansi terkait. Semisal Rumah Zakat, BMT dan lembaga lain sejenisnya.
Ketiga, mengelola dan menjaga networking (jaringan) dengan baik. Sudah menjadi rahasia umum, jika eksistensi lembaga pendidikan Islam salah satunya ditopang oleh para donator (dermawan/aghniya'). Untuk itu, menjadi keniscahyaan apabila para pengelola madrasah unggulan, meningkatkan manajemen networkingnya secara akuntabel dan profesional.
Akhirnya, lahirnya madrasah-madrasah unggulan di pelbagai daerah saat ini tentu bisa menjadi rahmat, ditengah mahalnya biaya pendidikan. Lagi-lagi, kita berharap-harap cemas, mampukah madrasah-madrasah unggulan berani memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang memihak kepada kaum papa. Selain itu, kita berharap secara akademik agar madrasah-madrasah unggulan dapat sejajar dengan sekolah unggulan lainnya.

*Penulis adalah peneliti senior pada Madrasah Riset and Development Forum (Mardef) Yogyakarta .

Tidak ada komentar: