Senin, 28 September 2009

Mudik, Meretas Kearifan Kultural

Mudik, Meretas Kearifan Kultural
Oleh: Mukodi, M.S.I*

Diposting dari Kabar Indonesia Online.com.

Bulan puasa identik dengan bulannya para pemudik. Para perantau dimana pun ia berada, berhasrat untuk mudik. Tak ayal, tradisi mudik lebaran bak ritual magis. Beragam orang, mulai dari elit politik, pengusaha, birokrat sampai pekerja kasar di rantau berburu mudik.
Di indonesia, tradisi mudik lebaran sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Boleh dibilang, sudah menjadi warisan para leluhur. Tak aneh, jika lebaran terasa hambar, andai mudik tak dilakukan.
Imbasnya, para memudik tak berfikir panjang. Walau mudik umumnya harus mengeluarkan ongkos super ekstra, akibat melonjaknya biaya transportasi. Tapi, mereka tetap tak peduli. Mudik harus dijalankan, bagaimana pun caranya.
Di area inilah, mudik lebaran kerap dimanfaatkan oleh oknum-okum makelar tiket. Para calo ini pun menaikkan tiket transportasi berlipat-lipat. Padahal, diprediksikan tahun 2009 akan terjadi lonjakan pemudik besar-besaran. Kenaikannya akan mencapai 16,25 juta orang, dari sebelumnya hanya 15,3 juta orang di 2008 (Detikcom, 24/8/2009). Dapat dibayangkan, pundi-pundi makelar pun akan melimpah ruah.
Anehnya, walau keberadaan mereka terlarang. Tapi dari tahun ke tahun, praktek makelar tiket kian tumbuh subur. Kalau sudah begini, pemudiklah pihak yang paling dirugikan. Ironinya, tak semua pemudik membawa bekal yang lebih. Disinilah semestinya aparat berwenang harus bertindak tegas, agar praktek mafia tiket menjadi jera.
Tradisi Islam
Kata mudik sejatinya berasal dari kata "udik." Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sungai di sebelah atas (arah dekat sumber) atau (daerah) di hulu sungai. Kata itu mengandung makna positif, yaitu bagian atas sungai atau bagian kepala sungai yang dekat sumber mata air, sehingga jernih dan belum terkena polusi.
Namun, ada makna kedua dalam KBBI, yaitu desa, dusun, kampung (lawan dari kota). Kesan yang berkembang di masyarakat cenderung ke arah konotasi negatif, karena "orang udik" atau orang "dusun" sering dikaitkan dengan kebodohan dan kurang tahu sopan santun.
Dalam pandangan Islam, istilah mudik mengacu pada makna idul fitri. Idul fitri berarti kembali suci, atau lebaran dari dosa. Maka istilah idul fitri lebih populer disebut, hari raya lebaran. Hari kemenangan yang dilaksanakan selepas menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Selain takbiran dan salat 'id, dalam lebaran ada tradisi halal bi halal, nyadran (ziarah ke kubur), dan mudik.
Seiring pergeseran makna, maka waktu lebaran pun tak hanya pada 1 dan 2 Syawal saja, tetapi sepanjang bulan. Bahkan bisa berlangsung sampai dibulan berikutnya. Dalam waktu yang relatif panjang itulah umat Islam di Indonesia berlebaran; berhalal bi halal atau bersilatur-rahmi ke tetangga, sanak-famili, dan handai-tolan sambil saling meminta /memberi maaf, serta melaksanakan ziarah ke kuburan para leluhur dan anggota keluarga yang sudah lebih dahulu menghadap Tuhannya.
Orang-orang kota yang berasal dari udik, tentu saja merasa tidak afdal jika kegiatan halal bi halal dan nyadran itu hanya dilakukan di kota, karena sebagian besar sanak-keluarga dan kuburan leluhurnya ada di udik. Mudik menjadi satu keharusan dan menjadi bagian dari tradisi lebaran di negeri ini. Suatu tradisi yang cukup unik, hanya menjadi milik umat Muslim Indonesia.
Kearifan Budaya
Tentu banyak alasan, mengapa orang mudik lebaran. Alasan yang paling lazim, seperti yang banyak terdengar dari orang-orang yang mudik, adalah untuk berhalal bi halal dan nyadran di kampung halaman. Dari perspektif teologis, jelas bahwa kedua tradisi ini memiliki dasar doktrinal yang jelas dalam Islam. Halal bi halal dalam arti bersilaturahmi untuk saling meminta/ memberi maaf adalah bagian dari akhlak Islam.
Halal bi halal merupakan satu upaya untuk mengeliminir dosa-dosa antar sesama manusia. Di samping, sebagai media untuk memperkuat tali persaudaraan antar sesama muslim. Apalagi, terhadap orang-tua dan mereka yang masih memiliki hubungan darah di kampung.
Demikian juga kegiatan ziarah kubur, pada dasarnya adalah suatu kegiatan keagamaan yang dapat mengingatkan pada kematian (Baca, hadist nabi). Hal ini menjadi penting, mengingat dengan ritual ini kita dapat mempertebal keimanan. Terutama sebagai bekal menuju kematian. Lebih-lebih, bagi orang yang sedang bersuka-ria dalam berlebaran.
Di sisi lainnya, menurut Dr. Sunyoto Usman yang juga sosiolog dari UGM bahwa efek positif tradisi mudik akan dapat menjadi sebuah sistem ekonomi. Ada pergerakan ekonomi, yakni mengalirnya uang dari kota ke desa. Tentu ini merupakan suatu hal yang positif.
Namun, ada sedikit yang disayangkan, karena seringkali "polusi kota" ikut terbawa. Mereka membawa bukti keberhasilan hidup di kota yang penuh persaingan. Bukti itu tak lain adalah polusi pandangan serba material dan individual. Alhasil, spiritualitas pemudik terkikis, kebersahajaan terpupus, dan kesetiakawanan terkoyak.
Padahal, "mudik" mestinya harus dilandasi ghiroh untuk mereguk kembali semangat di udik. Yaitu, nilai-nilai tepa selira, guyup dan rukun dalam kebersamaan di desa. Tepatnya, menagasikan kearifan kultural orang-orang kampung. Inilah sejatinya buah terindah dari budaya mudik itu.
Idealnya, mudik dijadikan momentum yang tepat untuk menggalang solidaritas sosial. Terutama untuk memberdayakan masyarakat desa dari ketidakberdayaan. Baik secara ekonomi, sosial, dan keterbelakangan politik. Sehingga mudik tidak sekadar ritual simbolik tanpa makna, atau pamer kesuksesan di kota, melainkan menjadi mudik yang mensejahterakan. Inilah teologi mudik yang perlu dihayati, sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Dengan begitu, mudik pun menjadi berkah bagi sesama. Akhirnya, kedatangan para pemudik selalu dinanti-nanti masyarakat desa. Layaknya, mereka menanti tamu istemewa bulan puasa. Semoga para pemudik dapat melaksanakannya.[]

*Penulis adalah pemerhati sosial budaya, Kepala LPPM STKIP PGRI Pacitan.

Tidak ada komentar: