Kamis, 03 April 2008

Pendidikan Sastra Ala 'Ayat-Ayat Cinta"

Pendidikan sastra ala 'Ayat-ayat Cinta'
Oleh: Mukodi, S.Pd.I*
Dilansir dari Koran Sore Wawasan, 2 April 2008

BELAKANGAN ini, sebagian besar kaum muda kita baru terjangkit gejala demam. Demam yang pada mulanya mewabah di kalangan para remaja, kini mulai menular ke kalangan anak-anak, bahkan tak sedikit orang dewasa dan kaum tua pun ikut tertular. Ya, ’’demam Ayat- Ayat Cinta,” demikianlah, barangkali simiotik bahasa membahasakannya. Bahkan layaknya virus, sindrom AAC menyebar secara cepat seantero nusantara.
Tak dipungkiri, novel Ayat-Ayat Cinta karangan Habiburrahman El Shirazy yang kemudian difilmkan besutan sutradara Hanung Bramantyo seakan menjadi obat penghibur, di tengah kejenuhan publik akan tontonan film-film religius yang digarap secara berlebih. Bagi sebagian siswa, film AAC seolah menjadi media penyegar (refresh). Mengingat persiapan Ujian Nasional (UN) baik di tingkat SD (UASBN), SMP maupun SMA di bulan Mei mendatang, banyak menguras energi mereka.
Tak mengherankan, jika sebagian besar peserta didik saat ini sangat antusias untuk menyaksikan film AAC. Tentunya, dengan motif dan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang sekadar ingin mencocokkan isi novel dengan ilustrasi film AAC, sebagain lainnya hanya penasaran dan ada pula yang murni ingin menghilangkan kepenatan rutinitas belajar. Jelasnya, film AAC bagi para peserta didik bisa menjadi asupan gizi yang menyehatkan.
Di sisi yang sama, bagi sebagian kalangan dewasa, orang tua, dan masyarakat pada umumnya, hadirnya film AAC ini seakan menjadi obat generik. Pelipur lara di saat bahan sembako beralih harga, dari ’’hampir terjangkau” menjadi ’’tak terjangkau.” Sulit dan mahalnya minyak tanah, minimnya lahan kerja, bencana banjir, tanah longgsor yang datang silihberganti, dan keluh kesah semacamnya. Singkatnya, masyarakat kian terhibur dan sejenak melupakan beragam persoalan kehidupan yang semakin mengimpit.
Meledaknya film AAC menjadi film favorit dikalangan anak-anak, remaja bahkan kaum tua seolah menggambarkan apresiasi yang tinggi masyarakat akan dunia per-filman. Sekaligus menjadi pertanda, mulai bangkitnya karya sastra di kalangan remaja, khususnya para peserta didik. Terbukti predikat novel AAC menjadi novel yang paling dicari di kalangan remaja, alias novel best seller di tokotoko buku.
Realitas tersebut, tentunya sangat membanggakan bagi dunia pendidikan kita. Sebab streotip yang berkembang selama ini menyebutkan bahwa budaya baca sastra di kalangan peserta didik sangat lemah. Dengan demikian, fenomena ’’demamnya” kaum muda terhadap novel AAC bisa menjadi titik tolak bangkitnya dunia sastra. Sekadar mengingatkan, sesungguhnya masih banyak karya sastra bermutu tinggi, tapi sekian lama terabaikan.
Novel Sitti Nurbaya misalnya, yang menceritakan kawin paksa di daerah Minangkabau. Abdul Moeis dengan novelnya Salah Asuhan yang mengajukan gambaran anak muda didikan Eropa yang hendak bebas dan kebaratbaratan (baca: menjadi barat). Selain itu, Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dengan sajak terkenal Menuju ke Laut. Mochtar Lubis, dengan karya fenomenalnya berjudul, Jalan Tak Ada Ujung dan masih banyak karya sastra besar lainnya. Baik di masa periode pra kemerdekaan hingga periode era modern yang patut dijadikan referensi bacaan.
Apa yang ingin saya katakan di sini, tak lain adalah tingginya animo para peserta didik (kaum muda) membaca novel AAC hendaknya bisa dijadikan momentum yang tepat oleh para pendidik. Terlebih untuk mempopulerkan karya-karya sastra di lingkungan sekolah. Persoalannya kemudian, sejauhmana komitmen pihak sekolah memopulerkan karyakarya sastra tersebut? Sejauhmana pula upaya sekolah untuk membangkitkan minat baca sastra di sekolah?
Tantangan sekolah Pertanyaan-pertanyaan tersebut, merupakan suatu kewajaran mengingat tak banyak peserta didik yang suka terhadap karya sastra. Rendahnya peserta didik mengenal, selanjutnya mencintai karya sastra disinyalisasi akibat dari kurang cakapnya seorang pendidik dalam menyampaikan pelajaran sastra.
Diperparah pula, dengan minimnya bahan bacaan pendidik mengenai karya sastra. Sehingga proses belajar mengajar karya sastra, yang dibungkus Mapel Bahasa Indonesia menjadi monoton dan kering dengan analisis. Apalagi sampai pada kritik pendidik terhadap sebuah teks sastra, hampir dipastikan tidak ditemukan.
Di samping itu, padatnya materi yang harus disampaikan kepada peserta didik membuat pelajaran sastra terasa hambar dan kaku. Padahal, semestinya pelajaran sastra merupakan pelajaran yang sangat menarik dan menyenangkan. Sebab pelajaran sastra, tidak saja melatih keterampilan para peserta didik bagaimana caranya menulis, mengarang dan mengkritisi tulisan secara baik dan benar. Di sana pula, dikisahkan pelbagai pemikiran para tokoh, sastrawan dan bujangga meretas karya-karyanya.
Setidaknya ada tiga solusi alternatif dapat dilakukan pihak sekolah untuk memopulerkan karya sastra di kalangan pelajar. Pertama, dibutuhkannya tenaga pendidik yang benar-benar profesional di bidang sastra. Hadirnya pendidik yang kompeten di bidang sastra menjadi kata kunci. Mengapa demikian? Sebab tak sulit dijumpai dibeberapa sekolah, masih menggunakan jasa pendidik yang mismatch di Mapel Bahasa Indonesia.
Dengan kata lain, para pendidik yang mengampu Mapel Bahasa Indonesia tidak mempunyai basic keilmuan yang sesuai. Akibatnya, proses belajar mengajar Bahasa Indonesia disampaikan dengan strategi ’’asal jalan” dan metode ’’otoriter.” Pola pendidikan seperti ini hendaknya segera diubah oleh pihak sekolah, karena hal ini akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan dunia pendidikan sastra kita. Sastra akan kehilangan ruh nilai-nilai adiluhungnya, bahkan lambat laun peserta didik pun akan semakin terasing dengan karya sastra.
Kedua, diperlukan kebijakan gemar membaca sastra di sekolah. Solusi ini memang terkesan klasik, acapkali diperbincangkan dipelbagai forum. Namun jarang dijalankan ’kalau tidak dikatakan’ tidak pernah dijalankan. Kebijakan gemar membaca sastra menjadi sangat penting. Seiring semakin redupnya budaya baca sastra di kalangan kaum muda. Kebijakan ini diharapkan bisa menjadi pemicu minat baca di kalangan peserta didik sejak dini. Untuk itu, perpustakaan sekolah harus tersedia referensi sastra yang cukup.
Ketiga, perlunya muatan lokal (mulok) atau ekstrakulikuler (ekskul) sastra. Kebijakan ini merupakan strategi sekolah untuk menyiasati minimnya alokasi waktu Mapel Bahasa Indonesia. Mulok/ekskul sastra juga dapat dijadikan wadah/komunitas bagi peserta didik untuk mengasah kecerdasan sastra. Sehingga kurikulum mulok/ekskul sastra hendaknya difokuskan untuk mem-back-up proses KBM Mapel Bahasa Indonesia, di samping sebagai proses pengkayaan. kurikulumnya, bisa berfariasi di antaranya; cara tulis-menulis cerpen, novel dan esai, forum kritik sastra, dan ajang baca sastra.
Dengan begitu, diharapkan kaum muda kita bisa mengenal, dan mencintai kekayaan adiluhung sastra. Bukankah novel AAC merupakan bagian kecil dari sastra kita? hf

Penulis adalah Pegiat Sastra Indonesia, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: